Selasa, 15 April 2014

Candra Mawa 

                                                                                           edohaput 


32

Giyem menerangi ruang tamu rumahya  dengan cahaya lampu minyak lebih dari biasanya. Lampu dinyalakan lebih terang. sengaja pintu rumah tidak ditutup rapat. Sehingga cahaya terang dapat menerobos keluar melalui celah terbuka dan menerangi sebagian halaman rumah Giyem. Giyem sangat hafal dengan tabiat Tumenggung Suro Blasah. Tadi siang Tumenggung Suro Blasah menginginkan malam ini dirinya menunggu kedatangannya. Suro Blasah pasti datang. Setiap kali datang Suro Blasah mendatangkan kepingan - kepingan emas. Dan yang lebih penting lagi Suro Blasah selalu bercerita tentang isi kepatihan. Giyem bisa menjadi tahu segala kegiatan yang sudah dan yang akan dilakukan kepatihan. Sebagai mata - mata yang disewa oleh Bardan, Giyem selalu siaga mendapatkan hal - hal yang perlu diketahui oleh Bardan. Termasuk keberadaan kakek tua yang disebutnya Ki Poleng oleh Suro Blasah, harus diketahui Giyem. Mengapa guru Tumenggung Suro Blasah ini berada di Kepatihan. Giyem yang berpengalaman mengamati orang, Kakek tua ini pun tidak lepas dari perkiraannya. Ki Poleng pasti bukan orang sembarang. Ia ada di kepatihan pasti bukan sekedar datang. Pasti ada rencana hebat sedang dibuat oleh Kepatihan. Giyem harus tahu ini. Giyem harus bisa mengorek banyak tentang orang tua ini. Seperti kata Tumenggung Suro Blasah tadi siang, malam ini dirinya akan dipertemukan dengan Ki Poleng. Ini kesempatan besar bagi Giyem untuk mengorek maksud kedatangan Ki Poleng di Kepatihan. Giyem tahu dan sangat sadar kalau dirinya pasti akan diperdaya oleh kakek tua yang tubuhnya masih nampak sangat kekar itu. Giyem tidak perduli dengan tubuhnya. Yang penting dapat apa yang diinginkannya. Tetapi juga tidak kurang seringnya ketika tubuhnya diperdaya justru memperoleh kenikmatan yang jarang dirasakan. Giyem sudah membayangkan tangan kakek tua yang masih berotot ini akan kuat meremas tubuhnya. Janggut panjang ki poleng yang berjuntai pasti akan membuat geli dadanya. Belum lagi tubuh ki Poleng yang kekar tinggi besar ini pasti akan dengan kuat menindihnya. Belum - belum Giyem sudah merinding membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Tanpa mengetuk  Tumenggung Suro Blasah mendorong pintu rumah Giyem. Diikuti Ki Poleng Suro Blasah tanpa ragu - ragu langsung duduk di kursi panjang kayu di ruangan tamu rumah Giyem. Giyem yang tahu kedua tamunya dalam perjalanan ke rumahnya kejatuhan air gerimis sudah menyediakan kain lap untuk mengeringkan rambut dan kain mereka. Sigap Giyem segera menyajikan teh panas manis untuk kedua tamunya. Mata Ki poleng terus mengawasi polah tingkah Giyem. Kadang terbeliak, kadang terpincing mata Ki Poleng menelusuri lekuk tubuh bahenol Giyem yang terbungkus kain longgar. Cangkir cubung yang berisi air teh kental manis panas bahkan terkadang tumpah di rimbun janggutnya karena mata dan pikirannya sudah kacau karena langkah - langkah Giyem yang dibuat - buat dan mengundang hasrat. Ki Poleng menjadi semakin tidak tahan dan tidak sabar. " Suro aku sudah tidak sabar ... cepat kamu suruh Giyem menyiapkan kamar untukku ... " Bisik Ki Poleng ke telingan Tumenggung Suro Blasah. " Ya ... ya ... Ki ... Ki Poleng masuk saja ke ruang dalam. Pasti Giyem sudah menunggu. " Jawab Suro Blasah dengan berbisik pula takut didengar Giyem yang berada di ruang dalam rumahnya. Tanpa menunggu nanti Ki poleng segera mengangkat pantatnya dari kursi dan melangkah melewati pintu antara ruang tamu dengan ruang tengah dan segera mendapati Giyem yang sedang sibuk menata pisang goreng di piring yang akan segera disajikan untuk tamunya. " Yem ... itu nanti saja. Ayo layani aku dulu. Pisang gorengnya nanti saja..." Suara parau Ki Poleng yang sudah sangat dekat dengan telingannya ini membuatnya merinding. Apalagi tangan tua Ki Poleng yang masih kokoh tiba - tiba mencengkeram pundaknya dan membalikkan tubuhnya yang tadi berdiri memunggungi Ki Poleng. Sigap tangan Ki Poleng segera mengulurkan kantong kecil berisi kepingan uang emas ke tangan Giyem. " Yem ... kamu cantik ... ayo yem layani aku ... " Kalimat Ki Poleng ini disertai dengus napasnya yang menjadi berdebur karena hasratnya. Tanpa kata Giyem segera membalikkan badan berjalan menuju rumah belakang diikuti langkah Ki Poleng yang matanya tak lepas memandang dan mengamati Rumah Giyem. Langkah Giyem berhenti di depan kamar yang pintunya  terbuat dari kayu. Giyem segera membuka pintu kamar. Dan Keduanya segera ditelan pintu kamar. Giyem sengaja memilih kamar di ujung rumah belakangnya agar apa yang akan dilakukan bersama Ki Poleng tidak di dengar Suro Blasah yang duduk di ruang depan. 
Di dalam kamar yang diterangi lampu minyak yang bercahaya redup, Ki Poleng yang sudah tidak sabar segera melepasi kain jubah hitamnya tanpa tersisa. Giyem terkesima menyaksikan tubuh kakek yang tinggi besar ini masih sangat kokoh, berotot dan nampak sangat kuat. Dari mulai dada bidang Ki poleng mata Giyem menelusur turun ke bawah pusar Ki Poleng yang telah bulat telanjang. Giyem melihat tombak Ki Poleng yang besar, panjang dan ada tonjolan - tonjolan otot yang bergitu kentara. Giyem belum pernah melihat yang seperti ini. Bahkan tombak milik Tumenggung Suro Blasah yang pernah dilihat dan dirasakan sodokkannya dan sudah dianggapnya paling besar diantara yang pernah dilihatnya, masih kalah besar dan panjangnya dengan milik Ki Poleng kakek tua yang kekar berotot ini. Giyem mempunyai rencana. Dengan cepat disambarnya tombak Ki Poleng dengan tangan lembutnya yang hangat. Digenggam dan sedikit dipelintir. Ki Poleng berjingkat, sampai jinjit dan meringis : Aduh Yem ... enak banget ... " Sambil terus memijat - mijat dan meremas tombak Ki Poleng, Giyem melancarkan rencananya. " Ki ... Ki Poleng ini menurut cerita Raden Tumenggung Suro Blasah adalah orang yang sangat sakti mandraguna. Lha kok tiba - tiba ada di kepatihan ... ada apa to ...Ki ?" Ki Poleng tidak menjawab. Giyem menghentikan kegiatan tangannya. " Ayo Yem ... terus ... enak banget, Yem. Kenapa brenti ... " Ki Poleng merajuk. " Jawab dulu Ki ... nanti tak bikin lebih enak ... " Jawab Giyem sambil manja. Ki Poleng yang ingin menikmati keenakaannya tanpa pikir panjang jujur kepada Giyem. " Yem ... ah ... enak ... aku diminta Ki Patih untuk menangkap Bardan si pecundang itu dan menghabisi Nyi dan Ki Tambi orang tua Bardan itu, ayo yem sudah ku jawab ... remas Yem ... " Giyem kaget setengah mati mendengar kejujuran Ki Poleng. Tangannya tanpa sadar meremas kuat tombak Ki Poleng. Ki Poleng menggelinjang kuat dan segera menerkam dengan mulutnya payudara Giyem yang telah menyeruak dari kainnya. Giyem segera ditelentangkan, dilolosi kainnya. Milik giyem yang ada di selangkangan segera menjadi mainan tangan Ki Poleng, sementara mulut Ki Poleng terus menggigiti pucung susu Giyem. Giyem hanya bisa polah dan merintih. Giyem melayang lupa segalanya karena kepiawian Ki Poleng yang memainkan milik Giyem. Suara jatuhnya butiran hujan mampu mengalahkan rintihan dan jeritan Giyem dan geraman - geraman Ki Poleng yang menggemasi Giyem. Ki Poleng yang semakin tidak tahan karena remasan tangan Giyem di tombaknya semakin nekat, segera melebarkan kangkangan Giyem. Ki Poleng segera minindihnya. Yang terdengan kemudian dari mulut Giyem : " aaaauuuuhhh ... aaahhhh .... " Dan derit balai - balai pun menjadi semakin tidak beraturan.

masih ada kelanjutannya ............





Senin, 07 April 2014

Candra Mawa 

                                                                                        edohaput


31

Giyem memasang mata dan telingannya. Keberadaan Ki Poleng di Kepatihan tidak lepas dari pengamatan Giyem. Ki Poleng orang tua yang nampak sombong bisa leluasa keluar masuk pintu Kepatihan, seolah tidak ada yang bisa melarangnya, membuat Giyem curiga. Tidak pernah ada orang asing yang dengan mudah bisa keluar masuk pintu Kepatihan. Kini tiba - tiba ada orang yang belum pernah dilihatnya dengan mudahnya melewati prajurit penjaga regol - regol kepatihan. Di pikiran Giyem pasti orang tua berambut dan berjanggut putih ini adalah orang penting. Kalau tidak pasti tidak akan sebebas itu berada di Kepatihan. Giyem menjadi sangat tergoda untuk mengetahuinya. Mengapa orang tua berjubah hitam dengan ikat kepala yang juga hitam itu matanya jelalatan ketika melihat perawan - perawan yang melewati halaman Kepatihan. Dan ketika para perawan telah berlalu dari pandangannya orang tua itu tampak gelisah. Kedua tangannya meraba - raba yang ada di balik kain bawahnya. Lalu menyeringai dan mendesah. Orang tua ini sangat menarik perhatian Giyem. Matanya yang genit. Senyumannya yang menampakkan giginya yang hitam lataran banyak makan sirih, nampak begitu menginginkan perawan - perawan yang nampak di matanya. Giyem sangat berkeinginan menggoda orang ini. Hanya dengan dekat dengan orang tua sombong dan bersikap menggelikan ketika melihat perawan ini, dirinya akan tahu banyak tentangnya. Beberapa hari belakangan Giyem memang menjadi geregetan dengan sikap orang tua yang sangat sering duduk - duduk di beranda Kepatihan bersama dengan Tumenggung Suro Blasah. Di mata Giyem kedua orang ini nampak sangat akrab. Dan yang paling membuat Giyem geram adalah orang tua yang tangannya berotot dan dipergelangan tangannya ada semacam gelang yang terbuat dari akar ini selalu tertawa terbahak ketika ada perawan - perawan yang melewati di mana dirinya dan Suro Blasah duduk - duduk.
Sore cerah. Setelah bersolek Giyem mengintip keadaan beranda kepatihan. Seperti biasanya Giyem memperoleh pemandangan yang diharapkan. Orang tua berjanggut putih dan punya mata tajam itu sedang duduk - duduk menikmati cerahnya sore bersama Tumenggung Suro Blasah.  " Kena kamu kakek tuek tak tahu diri !" Pekik Giyem dalam hati.
Giyem yang mengenakan kain agak ketat segera menjalankan aksinya. Melangkah melewati regol, melintasi jalan batu candi. Giyem sengaja membusungkan dadanya dan pantatnya yang memang jendul dibahenol - bahenolkan. Ketika melewati Kakek Tuek Poleng dan Suro Blasah sengaja langkahnya diperlambat dan dibuat - buat. Yang dimaksudkan pun bersambut. Suro Blasah meloncat dari beranda dan langsung mendapati Giyem. " Kemana yem ?" Sergah Suro Blasah sambil cepat menyambar tangan Giyem. Giyem tidak menjawab pertanyaan Suro Blasah. " Yem nanti malam aku ke rumahmu. Tu ... Ki Poleng mau omong - omong sama kamu". Suara Soro Blasah menjadi parau lantaran genggaman tangannya merasakan halus dan hangatnya tangan Gi yem. Suro Blasah yang berangasan dan mudah terangsang inipun segera mendengus. Giyem tertawa dalam hati. " Ya yem ya ... tunggu aku. Kamu pasti dapat hadiah dari Ki Poleng itu. Ki Poleng itu guruku yem." Suro Blasah mengencangkan gamitan tangannya di tangan Giyem. " Ah ... Raden Tumenggung ini ada - ada saja." Giyem merontakan tangannya dari genggaman Suro Blasah dan melangkah berlalu dari depan beranda yang dilewatinya. " Kena kamu kakek tuek ... !" Teriak Giyem dalam batin. Seiring langkah Giyem yang menjauhi dirinya Suro Blasah sempat berteriak : " Tunggu ya Yem ... !" Giyem hanya bisa geli di hati mendengar teriakan Tumenggung Suro Blasah.
Ki Poleng yang matanya juga tidak lepas mengamati Giyem dari kejauhan, kerongkongannya serasa tersekat menyaksikan lenggak - lenggok langkah Giyem yang mempermainkan pantatnya yang bahenol. " Perempuan itu siapa, Suro ..ha ...?" Tanya Ki Poleng setelah Suro Blasah kembali duduk di dekatnya. " Giyem Ki ... nanti malam Ki Poleng saya antar ke rumahnya." Jawab Suro Blasah sambil tertawa menyeringai membuat kumis tebalnya bergerak - gerak. " Siapa itu Giyem, Suro ... ?" Ki Poleng menyelidik. " Dulu abdi dalem Kepatihan, Ki ... tapi sekarang tidak. Sekarang cuma kalau ada perhelatan saja Giyem dipanggil untuk bantu - bantu. O .. ya ... Ki .. asal ada kepingan, Giyem pasti mau melayani." Suro Blasah kembali menyeringai. Ki Poleng manggut - manggut sambil mengelus - elus janggut putihnya yang menjuntai sampai ke dada. Terbayang di benak Ki Poleng, dada Giyem yang membusung. Pantat yang bahenol megal - megol. Tubuh Sintal Giyem tiba - tiba merasuki seluruh benaknya. Ki poleng menjadi tidak sabar menunggu malam.
Gerimis kecil menyambut datangnya malam. Suro Blasah dengan payung motho hitam besar meneduhi tubuh Ki Poleng yang melangkah cepat menuju rumah Giyem. Mengambil jalan melingkar agar tidak banyak ketemu orang, Suro Blasah dan Ki Poleng menyusuri jalanan Gelap. Kelap - kelipnya lampu minyak di depan rumah - rumah tidak mampu menembus gelapnya malam. Langkah Ki Poleng cepat. Seolah sudah tidak sabar ingin segera mengetuk pintu rumah Giyem. Kepingan - kepingan uang yang ada di kantong saling beradu dan gemerincing mengiringi langkah - langkah tergesa. Kepingan - kepingan itu akan segera di jejalkan di dada Giyem. Dan dibayangan Ki Poleng Giyem pasti akan melayaninya dengan penuh gairah. Giyem pasti akan menuruti apa yang dimintanya. Ki Poleng sudah tidak sabar untuk meremas pantat Giyem dan meggemasi pipi Giyem yang sedikit tembem karena Giyem berwajah bulat. Kaki Ki Poleng bertambah cepat melangkah.

masih ada kelanjutannya .................

Rabu, 22 Januari 2014


Candra Mawa

                                                                                              edohaput


30

Ki Patih Danureja duduk di singgasana. Kursi kebesaran tempat duduk Ki Patih saat - saat menerima tamu penting. Ki Poleng yang datang menghadap bersama Tumenggung Suro Blasah oleh Ki Patih Danureja dianggap sebagai tamu penting. " Jadi kamu sanggup merangket Bardan, Poleng ?" Tanya Ki Patih sambil menatap Ki Poleng yang tetap menunduk tidak berani menengadahkan wajah melihat wajah Ki Patih. Ki Poleng yang duduk di lantai marmer bersebelahan dengan Suro Blasah mengantupkan telapak tangannya di depan hidung menyembah Ki Patih : " Benar Ki Patih. Kalau hamba yang sudah renta ini diberikan tugas merangket Bardan, mudah - mudahan hanya dengan mudah segera bisa menghadapkan jasad Bardan di depan Ki Patih." Selesai dengan kalimat ini kembali Ki Poleng menyembah - nyembah Ki Patih. Dan tetap menunduk tidak berani menengadahkan wajah. Ki Patih Danureja tertawa lepas : " Aku gembira, Poleng. Dan aku percaya kepadamu. Aku sudah tahu banyak tentang dirimu dari mulut Suro Blasah. Tetapi caranya bagaimana, Poleng ? Bardan itu seperti setan. Datang tiba - tiba dan pergi secepat kilat." Pertanyaan Ki Patih ini mengagetkan pikiran Suro Blasah. Karena Suro Blasah memang tidak punya cara bagaimana caranya menangkap Bardan. Tetapi pertanyaan Ki Patih tidak menganggetkan Ki Poleng. Sambil kembali menyembah Ki Poleng mengutarakan rencananya : " Hamba akan merangket Ki Tambi dan Nyi Tambi terlebih dahulu, Ki Patih. Ki Tambi dan Nyi Tambi setelah dirangket dipenjarakan di Kepatihan. Pasti Bardan akan muncul. Kemunculan Bardan ini akan menjadi tugas hamba untuk merangketnya. Percayakan kepada hamba Ki Patih, pasti Bardan akan segera hamba hadapkan hidup atau mati." Kesombongan Ki Poleng muncul. Dadanya di tegakkan, tetapi tetap wajah tidak berani menengadah. " Hem ... aku percaya Poleng. Dan aku sangat senang. Dan yang harus kamu perhatikan, hadapkan kepadaku Daruni tanpa ada luka serambutpun. Daruni harus juga dirangket. Tetapi jangan serambutpun Daruni ada luka dan cela. Aku sudah  dengar Daruni sangat cantik. Dirinya tidak pantas ada di Tambi. Dirinya harus hidup bahagia di Kepatihan. Perhatikan itu, Poleng !" Ki Patih menatap tajam Ki Poleng. Yang ditatap tajam tidak melihat. Mendengar nama Daruni disebut - sebut oleh Ki Patih, dan Ki Patih meminta agar Daruni juga dirangket dan tidak boleh ada luka, dan Daruni harus hidup bahagia di Kepatihan, kalimat ini membuat kepala Suro Blasah bagai disambar petir. Betapa tidak. Di kepala Suro Blasah begitu Ki Poleng bisa melumpuhkan Ki dan Nyi Tambi, dirinya akan segera memperdaya Daruni. Daruni akan segera ditangkapnya. Dan segera dinaikkan di punggung kudanya dan dibawa lari sejauh mungkin dari Tambi. Entah kemana. Yang penting Daruni sudah ada di pelukannya. Di kepala Tumenggung Suro Blasah ketika nanti rencana perangketan Ki dan Ki Tambi sudah matang direncanakan oleh Ki Poleng, Suro Blasah akan dengan segera menyari tempat yang aman tersembunyi, dan jauh dari Tambi juga jauh dari Mataram. Dirinya akan mempersiapkan tempat yang baik. Yang nyaman. Yang menyenangkan. Dirinya akan meminta para begundalnya mempersiapkan tempat itu. Dan disitulah Daruni akan disembunyikannya. Dan tempat itu adalah pantai Petanahan. Disana para begundalnya akan membuatkan rumah mungil yang sangat jauh dari keramaian. Disitulah pulalah dirinya akan menikmati keindahan tubuh Daruni. Disitulah Daruni akan dirayu - rayu. Dinikmati dengan matanya. Keindahan tubuhnya yang tiada cela. Keayuan parasnya yang tiada tanding. Lekuk - lekuk tubuhnya yang sempurna. Dan dirinya akan bersabar - sabar agar dengan rela Daruni mau melayaninya. Dan jika kesabarannya habis karena Daruni tetap tidak menyediakan keindahan tubuhnya untuk dirinya. Dirinya akan memaksanya. Akan dengan kasar melepasi semua kain yang dikenakan Daruni. Akan membiarkan Daruni yang seluruh lekuk tubuhnya tanpa tertutup sehelai benangpun. Akan ditatapnya tubuh Daruni yang indah sempurna. Tidak peduli apa yang dirasakan Daruni. Betapa takutnya. Begitu ngerinya terhadap dirinya yang akan memperlakukannya dengan garang. Dirinya tidak akan kasihan lagi terhadap Daruni. Daruni akan dipaksanya. Ditubruknya, dipeluknya dengan penuh nafsu. Diremasnya dengan penuh kegemasannya. Tiba - tiba suara Ki Patih Danureja membuyarkan sesuatu yang sedang berkecamuk di kepalanya. Dan sekali lagi membuat kaget jantungnya. " Dan kamu Suro Blasah. Kamulah Suro yang akan mengawal, menandu dengan hati - hati agar Daruni tanpa cela bisa sampai di Kepatihan. Jika ada sesuatu terjadi pada Daruni, lehermu taruhannya, Suro !" Kalimat ini diucapkan oleh Ki Patih dengan nada keras bagai memarahi. Untuk kedua kalinya kepala Tumenggung Suro Blasah bagai tersambar petir. Jika saja dirinya tidak sedang menghadap Ki Patih Danureja yang amat ditakutinya, pasti dirinya sudah berteriak membedah langit menggemuruh. Seperti perasaannya dan keinginannya yang sangat ingin menikmati tubuh Daruni.


masih ada kelanjutannya ............................