Sabtu, 07 Maret 2015

Candra Mawa 

                                                                                          edohaput


33

Daruni melepasi kainnya satu - satu. Tinggal kain basahannya yang membelit tubuh di bawah dadanya. Air tenang di gentong besar mencerminkan wajah ayunya. Tonjolan di dadanya yang menggunung tidak menggantung. Ranum dengan puting yang memerah. Daruni mengamati bayangannya di air gentong. Diam - diam Daruni mengagumi kecantikan dirinya. Pikirannya melayang ke Bardan. Bardan yang tidak mau menyentuh miliknya yang ranum menempel di dadanya, walaupun dirinya telah menyedia - menyediakannya. Bahkan ketika dirinya sudah nekat menyedia - menyediakan, justru Bardan malah beranjak meninggalkannya. Daruni tidak habis pikir. Mengapa Bardan selalu menampik menyentuh - nyentuh bagian - bagian tubuhnya yang dirinya ingin sekali disentuh.
Daruni menaburkan kembang di air gentong dan membuat bayangan cantiknya di air gontong buyar. Menjadi kebiasaan Daruni setiap malam Jumat selalu mandi air kembang. Air kembang yang menempel di tubuhnya akan membuat kulitnya menjadi segar, halus dan wangi. Kembang yang ditaburkan di air dipilih kembang - kembang seperti mawar, melati, kenanga, keningkir, dan lain - lain bunga yang mempunyai aroma wangi sedap. Bahkan tidak jarang Daruni menaburkan daun sirih yang sudah diremas - remas. Daun sirih ini akan sangat sedap terbaui dan membuat lekuk - lekuk kewanitaan dirinya menjadi sangat bersih dan memiliki aroma yang menyenangkan. Dengan gayung siwur Daruni mengguyurkan air kembang di tubuhnya. Rasa dingin segar dan wangi merasuki tubuhnya. Suara guyuran air dari dalam kamar mandi yang hanya berdinding gedhek didengar oleh telinga Jambul yang memang sedari tadi menyoba menyari tahu kapan Daruni mandi. Maksud hatinya Jambul akan mengendap dan mengintip. Mendengar air diguyurkan dan bau wangi menyebar ke seantero sekitar kamar mandi dan sampai di lubang hidungnya, Jambul terkesima. Pikirannya melayang. Daruni telanjang di pinggir gentong besar dan mengguyur - guyurkan air di tubuhnya. Menggosok - gosok setiap lekuk tubuhnya dengan tangannya. Tangannya menelusur dari mulai muka, leher, dada, perut dan di bawah pusarnya. Di khayalan Jambul, Daruni menggosok - gosok dadanya berlama - lama. Melumuri dadanya dengan sambun lulur. Mengelusnya, menggosoknya dan meremasnya. Dan Daruni mendongakkan wajah dan mengangakan mulutnya sambil merintih. Jambul tidak tahan, dan segera melangkah jinjit - jinjit mendekati gedhek dinding kamar mandi dimana di dalamnya sedang ada Daruni yang sedang menikmati air kembang. Jambul nekat menempelkan matanya di dinding kamar mandi. Nafas jambul memburu ketika dari lubang celah dinding bambu pandangan matanya menumbuk tubuh telanjang yang sedang disabuni. Jantungnya berdegup keras. Kakinya tiba - tiba gemetaran. Tidak terasa tombak yang ada di dalam celana kolornya menjadi sangat kaku. Ketika Daruni membungkuk tangan menyiduk air, Jambul melihat pantat Daruni yang nungging. Ketika nungging itulah mata Jambul bisa melihat milik Daruni yang ada di celah pantatnya. Sangat ingin rasanya tangan Jambul meraba yang ada di celah pantat Daruni. Nampak sangat lembut dengan ditumbuhi bulu halus. Basah dan ada busa sabun. Tangan Jambul yang sangat ingin meraba milik Daruni ternyata malah tertuntun ke arah celananya dan Jambul meraba milik sendiri yang sudah sangat kaku. Jambul meremasnya. Jambul menemukan kenikmatan. Tidak terasa dan tanpa dipikir, refleks tangan Jambul telah berada di dalam celananya. Meremas miliknya. Telapak tangannya bergerak maju mundur dengan posisi menggenggam. Matanya tidak berkedip. Daruni yang sedang agak mengakang dan telapak tangannya berada di tengah kangkangan pahanya dan bergerak - gerak membuat Jambul semakin meremas miliknya. Satu telapak tangan Daruni di payudaranya yang ranum kencang, telapak tangan yang lain ada di selangkangannya dan jari - jarinya mengelus - elus yang berambut tipis dan dipenuhi busa sabun.  Jantung jambul berdetak semakin keras. Yang diremas tangannya serasa akan meledak.
Tiba - tiba Jambul mendengar langkah kaki menuju kearahnya. Jambul menoleh, matanya tertumbuk pada orang yang harus sangat dihormatinya, Nyi Tambi. Tanpa pikir panjang, Jambul segera beranjak dan menjauh dari dinding kamar mandi. Jambul menjadi sangat takut. Perbuatannya dilihat Nyi Tambi. Satu saat dirinya pasti akan kena marah. Jambul sangat menyesal. Jambul segera berlari melewati pintu belakang. Jambul menuju gerumbul semak belukar yang tumbuh liar di belakang pondok. Dituntun oleh birahinya Jambul segera berjongkok dan mengeluarkan tombaknya yang sangat kaku dari dalam celananya. Mencuat dan dan mendongak. Jambul menggenggamnya dan segera telapak tangannya bergerak maju mundur di tombaknya. Bayangan Daruni di benaknya menjadi - jadi. Daruni yang telanjang. Yang tubuhnya dipenuhi busa sabun. Daruni yang mengelus miliknya. Daruni yang meremas payudaranya sendiri. Daruni yang menungging dan di celah belahan pantatnya terlihat milikknya yang berbulu halus dan sedang kena busa sabun. Jambul semakin cepat memaju mundurkan genggamannya di tombaknya. Dan tiba - tiba jambul melenguh keras dan telapak tangannya menjadi basah oleh sesuatu yang licin yang muncrat menyemprot dari tombaknya. Tidak terasa Jambul terjengkang. Jambul ambruk dengan nafas yang tersengal. Jambul menemukan kepuasan.
Sementara itu Bardan yang sejak pagi memacu lari kudanya meninggalkan Kepangeranan Tegalreja menuju tambi telah melewati candi Borobudur dan telah sampai di jalan menanjak alas Kali Abu. Bardan tidak ingin mengistirahatkan kudanya. Pikirannya ingin segera sampai di Tambi untuk menemui bapak dan mboknya serta Daruni yang telah cukup lama ditinggalkannya. Rasa kangennya terhadap Daruni membuatnya terus memacu kudanya agar segera sampai di Tambi. Malam nanti Bardan berniat akan memeluk Daruni. Mencium pipi Daruni. Bardan akan memenuhi permintaan Daruni yang selama ini selalu ditolaknya.

masih ada kelanjutannya ...............


Selasa, 15 April 2014

Candra Mawa 

                                                                                           edohaput 


32

Giyem menerangi ruang tamu rumahya  dengan cahaya lampu minyak lebih dari biasanya. Lampu dinyalakan lebih terang. sengaja pintu rumah tidak ditutup rapat. Sehingga cahaya terang dapat menerobos keluar melalui celah terbuka dan menerangi sebagian halaman rumah Giyem. Giyem sangat hafal dengan tabiat Tumenggung Suro Blasah. Tadi siang Tumenggung Suro Blasah menginginkan malam ini dirinya menunggu kedatangannya. Suro Blasah pasti datang. Setiap kali datang Suro Blasah mendatangkan kepingan - kepingan emas. Dan yang lebih penting lagi Suro Blasah selalu bercerita tentang isi kepatihan. Giyem bisa menjadi tahu segala kegiatan yang sudah dan yang akan dilakukan kepatihan. Sebagai mata - mata yang disewa oleh Bardan, Giyem selalu siaga mendapatkan hal - hal yang perlu diketahui oleh Bardan. Termasuk keberadaan kakek tua yang disebutnya Ki Poleng oleh Suro Blasah, harus diketahui Giyem. Mengapa guru Tumenggung Suro Blasah ini berada di Kepatihan. Giyem yang berpengalaman mengamati orang, Kakek tua ini pun tidak lepas dari perkiraannya. Ki Poleng pasti bukan orang sembarang. Ia ada di kepatihan pasti bukan sekedar datang. Pasti ada rencana hebat sedang dibuat oleh Kepatihan. Giyem harus tahu ini. Giyem harus bisa mengorek banyak tentang orang tua ini. Seperti kata Tumenggung Suro Blasah tadi siang, malam ini dirinya akan dipertemukan dengan Ki Poleng. Ini kesempatan besar bagi Giyem untuk mengorek maksud kedatangan Ki Poleng di Kepatihan. Giyem tahu dan sangat sadar kalau dirinya pasti akan diperdaya oleh kakek tua yang tubuhnya masih nampak sangat kekar itu. Giyem tidak perduli dengan tubuhnya. Yang penting dapat apa yang diinginkannya. Tetapi juga tidak kurang seringnya ketika tubuhnya diperdaya justru memperoleh kenikmatan yang jarang dirasakan. Giyem sudah membayangkan tangan kakek tua yang masih berotot ini akan kuat meremas tubuhnya. Janggut panjang ki poleng yang berjuntai pasti akan membuat geli dadanya. Belum lagi tubuh ki Poleng yang kekar tinggi besar ini pasti akan dengan kuat menindihnya. Belum - belum Giyem sudah merinding membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya.
Tanpa mengetuk  Tumenggung Suro Blasah mendorong pintu rumah Giyem. Diikuti Ki Poleng Suro Blasah tanpa ragu - ragu langsung duduk di kursi panjang kayu di ruangan tamu rumah Giyem. Giyem yang tahu kedua tamunya dalam perjalanan ke rumahnya kejatuhan air gerimis sudah menyediakan kain lap untuk mengeringkan rambut dan kain mereka. Sigap Giyem segera menyajikan teh panas manis untuk kedua tamunya. Mata Ki poleng terus mengawasi polah tingkah Giyem. Kadang terbeliak, kadang terpincing mata Ki Poleng menelusuri lekuk tubuh bahenol Giyem yang terbungkus kain longgar. Cangkir cubung yang berisi air teh kental manis panas bahkan terkadang tumpah di rimbun janggutnya karena mata dan pikirannya sudah kacau karena langkah - langkah Giyem yang dibuat - buat dan mengundang hasrat. Ki Poleng menjadi semakin tidak tahan dan tidak sabar. " Suro aku sudah tidak sabar ... cepat kamu suruh Giyem menyiapkan kamar untukku ... " Bisik Ki Poleng ke telingan Tumenggung Suro Blasah. " Ya ... ya ... Ki ... Ki Poleng masuk saja ke ruang dalam. Pasti Giyem sudah menunggu. " Jawab Suro Blasah dengan berbisik pula takut didengar Giyem yang berada di ruang dalam rumahnya. Tanpa menunggu nanti Ki poleng segera mengangkat pantatnya dari kursi dan melangkah melewati pintu antara ruang tamu dengan ruang tengah dan segera mendapati Giyem yang sedang sibuk menata pisang goreng di piring yang akan segera disajikan untuk tamunya. " Yem ... itu nanti saja. Ayo layani aku dulu. Pisang gorengnya nanti saja..." Suara parau Ki Poleng yang sudah sangat dekat dengan telingannya ini membuatnya merinding. Apalagi tangan tua Ki Poleng yang masih kokoh tiba - tiba mencengkeram pundaknya dan membalikkan tubuhnya yang tadi berdiri memunggungi Ki Poleng. Sigap tangan Ki Poleng segera mengulurkan kantong kecil berisi kepingan uang emas ke tangan Giyem. " Yem ... kamu cantik ... ayo yem layani aku ... " Kalimat Ki Poleng ini disertai dengus napasnya yang menjadi berdebur karena hasratnya. Tanpa kata Giyem segera membalikkan badan berjalan menuju rumah belakang diikuti langkah Ki Poleng yang matanya tak lepas memandang dan mengamati Rumah Giyem. Langkah Giyem berhenti di depan kamar yang pintunya  terbuat dari kayu. Giyem segera membuka pintu kamar. Dan Keduanya segera ditelan pintu kamar. Giyem sengaja memilih kamar di ujung rumah belakangnya agar apa yang akan dilakukan bersama Ki Poleng tidak di dengar Suro Blasah yang duduk di ruang depan. 
Di dalam kamar yang diterangi lampu minyak yang bercahaya redup, Ki Poleng yang sudah tidak sabar segera melepasi kain jubah hitamnya tanpa tersisa. Giyem terkesima menyaksikan tubuh kakek yang tinggi besar ini masih sangat kokoh, berotot dan nampak sangat kuat. Dari mulai dada bidang Ki poleng mata Giyem menelusur turun ke bawah pusar Ki Poleng yang telah bulat telanjang. Giyem melihat tombak Ki Poleng yang besar, panjang dan ada tonjolan - tonjolan otot yang bergitu kentara. Giyem belum pernah melihat yang seperti ini. Bahkan tombak milik Tumenggung Suro Blasah yang pernah dilihat dan dirasakan sodokkannya dan sudah dianggapnya paling besar diantara yang pernah dilihatnya, masih kalah besar dan panjangnya dengan milik Ki Poleng kakek tua yang kekar berotot ini. Giyem mempunyai rencana. Dengan cepat disambarnya tombak Ki Poleng dengan tangan lembutnya yang hangat. Digenggam dan sedikit dipelintir. Ki Poleng berjingkat, sampai jinjit dan meringis : Aduh Yem ... enak banget ... " Sambil terus memijat - mijat dan meremas tombak Ki Poleng, Giyem melancarkan rencananya. " Ki ... Ki Poleng ini menurut cerita Raden Tumenggung Suro Blasah adalah orang yang sangat sakti mandraguna. Lha kok tiba - tiba ada di kepatihan ... ada apa to ...Ki ?" Ki Poleng tidak menjawab. Giyem menghentikan kegiatan tangannya. " Ayo Yem ... terus ... enak banget, Yem. Kenapa brenti ... " Ki Poleng merajuk. " Jawab dulu Ki ... nanti tak bikin lebih enak ... " Jawab Giyem sambil manja. Ki Poleng yang ingin menikmati keenakaannya tanpa pikir panjang jujur kepada Giyem. " Yem ... ah ... enak ... aku diminta Ki Patih untuk menangkap Bardan si pecundang itu dan menghabisi Nyi dan Ki Tambi orang tua Bardan itu, ayo yem sudah ku jawab ... remas Yem ... " Giyem kaget setengah mati mendengar kejujuran Ki Poleng. Tangannya tanpa sadar meremas kuat tombak Ki Poleng. Ki Poleng menggelinjang kuat dan segera menerkam dengan mulutnya payudara Giyem yang telah menyeruak dari kainnya. Giyem segera ditelentangkan, dilolosi kainnya. Milik giyem yang ada di selangkangan segera menjadi mainan tangan Ki Poleng, sementara mulut Ki Poleng terus menggigiti pucung susu Giyem. Giyem hanya bisa polah dan merintih. Giyem melayang lupa segalanya karena kepiawian Ki Poleng yang memainkan milik Giyem. Suara jatuhnya butiran hujan mampu mengalahkan rintihan dan jeritan Giyem dan geraman - geraman Ki Poleng yang menggemasi Giyem. Ki Poleng yang semakin tidak tahan karena remasan tangan Giyem di tombaknya semakin nekat, segera melebarkan kangkangan Giyem. Ki Poleng segera minindihnya. Yang terdengan kemudian dari mulut Giyem : " aaaauuuuhhh ... aaahhhh .... " Dan derit balai - balai pun menjadi semakin tidak beraturan.

masih ada kelanjutannya ............





Senin, 07 April 2014

Candra Mawa 

                                                                                        edohaput


31

Giyem memasang mata dan telingannya. Keberadaan Ki Poleng di Kepatihan tidak lepas dari pengamatan Giyem. Ki Poleng orang tua yang nampak sombong bisa leluasa keluar masuk pintu Kepatihan, seolah tidak ada yang bisa melarangnya, membuat Giyem curiga. Tidak pernah ada orang asing yang dengan mudah bisa keluar masuk pintu Kepatihan. Kini tiba - tiba ada orang yang belum pernah dilihatnya dengan mudahnya melewati prajurit penjaga regol - regol kepatihan. Di pikiran Giyem pasti orang tua berambut dan berjanggut putih ini adalah orang penting. Kalau tidak pasti tidak akan sebebas itu berada di Kepatihan. Giyem menjadi sangat tergoda untuk mengetahuinya. Mengapa orang tua berjubah hitam dengan ikat kepala yang juga hitam itu matanya jelalatan ketika melihat perawan - perawan yang melewati halaman Kepatihan. Dan ketika para perawan telah berlalu dari pandangannya orang tua itu tampak gelisah. Kedua tangannya meraba - raba yang ada di balik kain bawahnya. Lalu menyeringai dan mendesah. Orang tua ini sangat menarik perhatian Giyem. Matanya yang genit. Senyumannya yang menampakkan giginya yang hitam lataran banyak makan sirih, nampak begitu menginginkan perawan - perawan yang nampak di matanya. Giyem sangat berkeinginan menggoda orang ini. Hanya dengan dekat dengan orang tua sombong dan bersikap menggelikan ketika melihat perawan ini, dirinya akan tahu banyak tentangnya. Beberapa hari belakangan Giyem memang menjadi geregetan dengan sikap orang tua yang sangat sering duduk - duduk di beranda Kepatihan bersama dengan Tumenggung Suro Blasah. Di mata Giyem kedua orang ini nampak sangat akrab. Dan yang paling membuat Giyem geram adalah orang tua yang tangannya berotot dan dipergelangan tangannya ada semacam gelang yang terbuat dari akar ini selalu tertawa terbahak ketika ada perawan - perawan yang melewati di mana dirinya dan Suro Blasah duduk - duduk.
Sore cerah. Setelah bersolek Giyem mengintip keadaan beranda kepatihan. Seperti biasanya Giyem memperoleh pemandangan yang diharapkan. Orang tua berjanggut putih dan punya mata tajam itu sedang duduk - duduk menikmati cerahnya sore bersama Tumenggung Suro Blasah.  " Kena kamu kakek tuek tak tahu diri !" Pekik Giyem dalam hati.
Giyem yang mengenakan kain agak ketat segera menjalankan aksinya. Melangkah melewati regol, melintasi jalan batu candi. Giyem sengaja membusungkan dadanya dan pantatnya yang memang jendul dibahenol - bahenolkan. Ketika melewati Kakek Tuek Poleng dan Suro Blasah sengaja langkahnya diperlambat dan dibuat - buat. Yang dimaksudkan pun bersambut. Suro Blasah meloncat dari beranda dan langsung mendapati Giyem. " Kemana yem ?" Sergah Suro Blasah sambil cepat menyambar tangan Giyem. Giyem tidak menjawab pertanyaan Suro Blasah. " Yem nanti malam aku ke rumahmu. Tu ... Ki Poleng mau omong - omong sama kamu". Suara Soro Blasah menjadi parau lantaran genggaman tangannya merasakan halus dan hangatnya tangan Gi yem. Suro Blasah yang berangasan dan mudah terangsang inipun segera mendengus. Giyem tertawa dalam hati. " Ya yem ya ... tunggu aku. Kamu pasti dapat hadiah dari Ki Poleng itu. Ki Poleng itu guruku yem." Suro Blasah mengencangkan gamitan tangannya di tangan Giyem. " Ah ... Raden Tumenggung ini ada - ada saja." Giyem merontakan tangannya dari genggaman Suro Blasah dan melangkah berlalu dari depan beranda yang dilewatinya. " Kena kamu kakek tuek ... !" Teriak Giyem dalam batin. Seiring langkah Giyem yang menjauhi dirinya Suro Blasah sempat berteriak : " Tunggu ya Yem ... !" Giyem hanya bisa geli di hati mendengar teriakan Tumenggung Suro Blasah.
Ki Poleng yang matanya juga tidak lepas mengamati Giyem dari kejauhan, kerongkongannya serasa tersekat menyaksikan lenggak - lenggok langkah Giyem yang mempermainkan pantatnya yang bahenol. " Perempuan itu siapa, Suro ..ha ...?" Tanya Ki Poleng setelah Suro Blasah kembali duduk di dekatnya. " Giyem Ki ... nanti malam Ki Poleng saya antar ke rumahnya." Jawab Suro Blasah sambil tertawa menyeringai membuat kumis tebalnya bergerak - gerak. " Siapa itu Giyem, Suro ... ?" Ki Poleng menyelidik. " Dulu abdi dalem Kepatihan, Ki ... tapi sekarang tidak. Sekarang cuma kalau ada perhelatan saja Giyem dipanggil untuk bantu - bantu. O .. ya ... Ki .. asal ada kepingan, Giyem pasti mau melayani." Suro Blasah kembali menyeringai. Ki Poleng manggut - manggut sambil mengelus - elus janggut putihnya yang menjuntai sampai ke dada. Terbayang di benak Ki Poleng, dada Giyem yang membusung. Pantat yang bahenol megal - megol. Tubuh Sintal Giyem tiba - tiba merasuki seluruh benaknya. Ki poleng menjadi tidak sabar menunggu malam.
Gerimis kecil menyambut datangnya malam. Suro Blasah dengan payung motho hitam besar meneduhi tubuh Ki Poleng yang melangkah cepat menuju rumah Giyem. Mengambil jalan melingkar agar tidak banyak ketemu orang, Suro Blasah dan Ki Poleng menyusuri jalanan Gelap. Kelap - kelipnya lampu minyak di depan rumah - rumah tidak mampu menembus gelapnya malam. Langkah Ki Poleng cepat. Seolah sudah tidak sabar ingin segera mengetuk pintu rumah Giyem. Kepingan - kepingan uang yang ada di kantong saling beradu dan gemerincing mengiringi langkah - langkah tergesa. Kepingan - kepingan itu akan segera di jejalkan di dada Giyem. Dan dibayangan Ki Poleng Giyem pasti akan melayaninya dengan penuh gairah. Giyem pasti akan menuruti apa yang dimintanya. Ki Poleng sudah tidak sabar untuk meremas pantat Giyem dan meggemasi pipi Giyem yang sedikit tembem karena Giyem berwajah bulat. Kaki Ki Poleng bertambah cepat melangkah.

masih ada kelanjutannya .................

Rabu, 22 Januari 2014


Candra Mawa

                                                                                              edohaput


30

Ki Patih Danureja duduk di singgasana. Kursi kebesaran tempat duduk Ki Patih saat - saat menerima tamu penting. Ki Poleng yang datang menghadap bersama Tumenggung Suro Blasah oleh Ki Patih Danureja dianggap sebagai tamu penting. " Jadi kamu sanggup merangket Bardan, Poleng ?" Tanya Ki Patih sambil menatap Ki Poleng yang tetap menunduk tidak berani menengadahkan wajah melihat wajah Ki Patih. Ki Poleng yang duduk di lantai marmer bersebelahan dengan Suro Blasah mengantupkan telapak tangannya di depan hidung menyembah Ki Patih : " Benar Ki Patih. Kalau hamba yang sudah renta ini diberikan tugas merangket Bardan, mudah - mudahan hanya dengan mudah segera bisa menghadapkan jasad Bardan di depan Ki Patih." Selesai dengan kalimat ini kembali Ki Poleng menyembah - nyembah Ki Patih. Dan tetap menunduk tidak berani menengadahkan wajah. Ki Patih Danureja tertawa lepas : " Aku gembira, Poleng. Dan aku percaya kepadamu. Aku sudah tahu banyak tentang dirimu dari mulut Suro Blasah. Tetapi caranya bagaimana, Poleng ? Bardan itu seperti setan. Datang tiba - tiba dan pergi secepat kilat." Pertanyaan Ki Patih ini mengagetkan pikiran Suro Blasah. Karena Suro Blasah memang tidak punya cara bagaimana caranya menangkap Bardan. Tetapi pertanyaan Ki Patih tidak menganggetkan Ki Poleng. Sambil kembali menyembah Ki Poleng mengutarakan rencananya : " Hamba akan merangket Ki Tambi dan Nyi Tambi terlebih dahulu, Ki Patih. Ki Tambi dan Nyi Tambi setelah dirangket dipenjarakan di Kepatihan. Pasti Bardan akan muncul. Kemunculan Bardan ini akan menjadi tugas hamba untuk merangketnya. Percayakan kepada hamba Ki Patih, pasti Bardan akan segera hamba hadapkan hidup atau mati." Kesombongan Ki Poleng muncul. Dadanya di tegakkan, tetapi tetap wajah tidak berani menengadah. " Hem ... aku percaya Poleng. Dan aku sangat senang. Dan yang harus kamu perhatikan, hadapkan kepadaku Daruni tanpa ada luka serambutpun. Daruni harus juga dirangket. Tetapi jangan serambutpun Daruni ada luka dan cela. Aku sudah  dengar Daruni sangat cantik. Dirinya tidak pantas ada di Tambi. Dirinya harus hidup bahagia di Kepatihan. Perhatikan itu, Poleng !" Ki Patih menatap tajam Ki Poleng. Yang ditatap tajam tidak melihat. Mendengar nama Daruni disebut - sebut oleh Ki Patih, dan Ki Patih meminta agar Daruni juga dirangket dan tidak boleh ada luka, dan Daruni harus hidup bahagia di Kepatihan, kalimat ini membuat kepala Suro Blasah bagai disambar petir. Betapa tidak. Di kepala Suro Blasah begitu Ki Poleng bisa melumpuhkan Ki dan Nyi Tambi, dirinya akan segera memperdaya Daruni. Daruni akan segera ditangkapnya. Dan segera dinaikkan di punggung kudanya dan dibawa lari sejauh mungkin dari Tambi. Entah kemana. Yang penting Daruni sudah ada di pelukannya. Di kepala Tumenggung Suro Blasah ketika nanti rencana perangketan Ki dan Ki Tambi sudah matang direncanakan oleh Ki Poleng, Suro Blasah akan dengan segera menyari tempat yang aman tersembunyi, dan jauh dari Tambi juga jauh dari Mataram. Dirinya akan mempersiapkan tempat yang baik. Yang nyaman. Yang menyenangkan. Dirinya akan meminta para begundalnya mempersiapkan tempat itu. Dan disitulah Daruni akan disembunyikannya. Dan tempat itu adalah pantai Petanahan. Disana para begundalnya akan membuatkan rumah mungil yang sangat jauh dari keramaian. Disitulah pulalah dirinya akan menikmati keindahan tubuh Daruni. Disitulah Daruni akan dirayu - rayu. Dinikmati dengan matanya. Keindahan tubuhnya yang tiada cela. Keayuan parasnya yang tiada tanding. Lekuk - lekuk tubuhnya yang sempurna. Dan dirinya akan bersabar - sabar agar dengan rela Daruni mau melayaninya. Dan jika kesabarannya habis karena Daruni tetap tidak menyediakan keindahan tubuhnya untuk dirinya. Dirinya akan memaksanya. Akan dengan kasar melepasi semua kain yang dikenakan Daruni. Akan membiarkan Daruni yang seluruh lekuk tubuhnya tanpa tertutup sehelai benangpun. Akan ditatapnya tubuh Daruni yang indah sempurna. Tidak peduli apa yang dirasakan Daruni. Betapa takutnya. Begitu ngerinya terhadap dirinya yang akan memperlakukannya dengan garang. Dirinya tidak akan kasihan lagi terhadap Daruni. Daruni akan dipaksanya. Ditubruknya, dipeluknya dengan penuh nafsu. Diremasnya dengan penuh kegemasannya. Tiba - tiba suara Ki Patih Danureja membuyarkan sesuatu yang sedang berkecamuk di kepalanya. Dan sekali lagi membuat kaget jantungnya. " Dan kamu Suro Blasah. Kamulah Suro yang akan mengawal, menandu dengan hati - hati agar Daruni tanpa cela bisa sampai di Kepatihan. Jika ada sesuatu terjadi pada Daruni, lehermu taruhannya, Suro !" Kalimat ini diucapkan oleh Ki Patih dengan nada keras bagai memarahi. Untuk kedua kalinya kepala Tumenggung Suro Blasah bagai tersambar petir. Jika saja dirinya tidak sedang menghadap Ki Patih Danureja yang amat ditakutinya, pasti dirinya sudah berteriak membedah langit menggemuruh. Seperti perasaannya dan keinginannya yang sangat ingin menikmati tubuh Daruni.


masih ada kelanjutannya ............................

Jumat, 13 Desember 2013

Candra Mawa

                                                                                          edohaput


29

Pondok Tambi kembali ramai di kunjungi orang - orang sakit yang perlu mendapat pertolongan. Beberapa waktu setelah digeruduk oleh Tumenggung Suro Blasah bersama para prajurit kepatihan dan para prajurit kademangan Sawang Argo, pondok Tambi sempat mencekam dan sepi dari orang. Mereka pada takut akan adanya serangan dari Suro Blasah dan para prajuritnya. Pondok Tambi kembali damai, sejuk dan membuat kerasan siapa saja yang mendatanginya. Celoteh para cantrik perawan yang tidak pernah berhenti saling ejek, saling poyok, saling melontarkan kata - kata jenaka dengan para cantrik perjaka selalu membuat suasana pondok Tambi ceria. 
Daruni yang sementara waktu diungsikan oleh Bardan juga telah kembali berbinar - binar dan selalu sibuk membantu Nyi Tambi dan Ki Tambi melayani pasien. Daruni juga tidak lepas dari olok - olok para cantrik. Daruni yang diungsikan oleh Bardan beberapa hari entah kemana selalu dipoyok para cantrik. Dan jika poyok - poyok sudah sampai kepada yang menjurus hubungan antara Daruni dan Bardan, Daruni hanya bisa tersipu, pipi memerah dan segera meninggalkan para cantrik yang tertawa renyah. Terkecuali Jambul. Jambul justru memberengut jika para cantrik menggoda Daruni. Dan godaan - godaan itu mengarah kepada hubungannya dengan Bardan. Jambul merasa ada yang sakit dan dongkol di hatinya. Pini yang tahu Jambul kekasihnya ini selalu cemburu jika Daruni di poyok - poyok dengan Bardan, justru semakin menjadi - jadi cara moyoknya Daruni. " Wah , selama mengungsi sama den Bardan jeng Runi pasti ... pasti diapa - apakan sama den Bardan ... ya enggak jeng Runi." Kalimat Pini yang disertai melirikkan mata ke arah Jambul ini, membuat Jambul sangat sakit. Dan Jambulpun segera angkat kaki dari kerumunan para cantrik. Pergi pindah tempat dengan membawa rasa cemburunya yang menyesak di dada.
Menjelang sore. Matahari redup. Daruni nampak kelelahan. Masih ada beberapa pasien yang harus dilayaninya. Keringat yang membasahi keningnya, hanya bisa dilap dengan kain lengan kebayanya karena jari - jari tangannya sibuk menakar obat. Bubuk biji benalu mangga harus ditakar dengan perbandingan yang pas dengan bubuk akar anggrek bulan, bubuk biji buah maja, bubuk akar pegagan dan bubuk daun wora - wari. Ramuan obat yang kemudian akan dicampur dengan madu tawon endhas ini akan segera diberikan kapada pasien yang perutnya membengkak keras. Sambil terus meracik obat, pikiran Daruni terus dan terus melayang ke Bardan. Bardan yang beberapa hari menyembunyikannya di dalam hutan. Bardan membuatkan gubuk yang hangat untuk berlindung. Bardan selalu menjaganya dari binatang buas hutan. Bardan menyarikannya buah - buahan segar untuk makannya. Di kala malam Bardan selalu dekat dengan gubuk yang di dalamnya ada dirinya. Bardan yang menungguinya dengan cara memunggunginya saat di mandi di  sungai. 
Daruni ingat betul bagaimana Bardan memperlakukan dirinya. Daruni yang menyintai Bardan dan sudah beberapa bulan merindukannya, tiba - tiba dibawanya ke hutan untuk bersembunyi, menjadi sangat senang bisa bersama Bardan. Rindu dendamnya memperoleh obat. Hanya saja yang diharapkan Daruni, Bardan memeluknya, menyentuhnya dan menyumbunya tidak terjadi. Dikala sedang membersihkan badan di pancuran yang dibuat Bardan, Daruni nekat melepaskan semua kainnya. Dan berteriak ada ular datang di dekatnya. Bardan yang berdiri agak jauh dan memunggunginya tidak bergeming. Menolehpun tidak. Rupanya Bardan tahu kalau dirinya berbohong. Daruni hanya bisa mendongkol. Bardan tidak mau memperhatikannya. Maksud hati dengan dirinya tanpa busana dan dilihat Bardan, Bardan akan mendekatinya. Kemudian memeluknya. Meraba seluruh tubuhnya. Dan dirinya bisa benar - benar melepas rindu dengan orang yang dicintainya. Dikala malam Daruni selalu merengek agar Bardan masuk ke dalam gubuk dan memeluknya. menghangatinya dari udara dingin yang menerobos masuk ke gubuk. Dan rengekannya tidak pernah digubris Bardan. Daruni ingin sekali Bardan masuk ke dalam gubuk kemudian memeluknya erat. Menyiumi pipi dan bibirnya yang memang sudah sangat disediakan untuk orang yang sangat dirindukannya. Daruni sudah sengaja mengendorkan kain bawahnya. Sudah sengaja membukai kancing kebayanya. Agar ketika Bardan masuk ke gubuk tidak ada kesulitan lagi untuk menggerayangi dirinya. Daruni berharap kenikmatan akan didapatkan dari orang yang dicintainya. Daruni juga berharap bisa memberikan segelanya bagi orang yang telah dengan rela dan tulus menolongnya. Daruni ingin dicengkeram tangan kuat Bardan. Daruni ingin tubuhnya luluh di pelukan orang yang dianggapnya sangat perkasa. Daruni sangat ingin tubuhnya bisa menyenangkan kekasihnya ini. Dirinya takut tubuhnya akan didahului digerayangi oleh orang yang bisa menguasainya. Daruni ingin menyerahkan segala kepada orang yang sangat selalu dirindukannya. Dirinya akan sangat senang bila malam begini ini bisa dinikmati bersama orang yang sangat dibanggakannya. Tubuhnya menjadi sangat kaku. Dan pikirannya menjadi sangat kacau ketika rengekannya tidak digubris. Angan - angannya yang sangat berharap kehangatan segera akan didapat, dan urung terjadi membuat daruni menjadi sangat gelisah. Matanya sulit terpejam. Dadanya terasa panas, keras dan kaku. Ini semua tiba - tiba menuntun tangannya untuk menelusur meraba dadanya. Gundukan gunung kembarnya dirabanya sendiri dan dibayangkan tangan Bardan yang sedang menelusurnya. Kemudian diremasnya sendiri. Dibayangkan tangan Bardan yang meremasnya. Sementara tangan kirinya terus berada di dadanya yang menggunung, tangan yang lain telah menelusur ke bawah. Daruni mendesah karena tubuhnya dirasuki rasa nikmat yang sangat menyenangkan. Terus dan terus Daruni melakukannya dan desahan demi desahan sengaja tidak ditahan agar didengar Bardan yang ada diluar gubuk. Desahan dan rintihan Daruni yang makin keras dan makin nekat ternyata tidak didengar Bardan. Karena begitu sekali mendengar Daruni mendesah dan memanggil namanya Bardan segera melompat ringan ke atas cabang pohon bersar dan segera merebahkan di cabang pohon yang besarnya hampir tiga kali lipat besar tubuhnya. Apa yang diharapkan Daruni sia - sia. Tetapi setidaknya tubuhnya terobati oleh ulahnya sendiri. Dan Daruni segera terlelap karena kelelahannya dan kepuasan tubuhnya yang kembali lemas dan lega. Ketika oleh Bardan dengus lembut napas Daruni terdengar oleh Bardan. Menandakan Daruni telah terlelap, tubuh Bardan meluncur ringan dari pohon dan kemudian beralaskan rumput dan anyaman daun kelapa Bardan merebahkan dirinya didekat gubuk yang di dalamnya ada perawan yang sangat disayanginya. Dan berharap kelak akan menjadi pendamping hidupnya.

masih ada kelanjutannya ................

Kamis, 28 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                            edohaput 

28

Lereng Merapi. Sore. Gerimis kecil turun dari langit. Matahari tertutup mendung. Dingin. Sarminah ada di depan tungku mengatur api agar air yang dijerang segera mendidih. Sarminah tahu jika udara dingin seperti ini Ki Poleng pasti segera akan berteriak minta dibuatkan teh kental manis dan panas. Api tungku yang berkilat - kilat menyilaukan matanya tidak dihiraukan. Matanya seolah tidak melihat api. Yang ada di pelupuk matanya adalah Tilem yang sedang menggelinjang nikmat di pangkuan Ki Poleng yang sedang mempermainkannya. Suara rintihan dan desahan Tilem terdengar jelas dari dapur. Dan seperti biasanya Tilem tidak malu - malu mendesah keras jika sedang menyapai nikmat. Dari suaranya yang terus merintih dan mendesah - desah Sarminah bisa menduga jika Tilem lagi dipangku oleh Ki Poleng dan diraba - raba seluruh lekuk tubuhnya. Sore yang gerimis, dingin,  sangat menyenangkan jika berhangat - hangat dengan tubuh. Sarminah tidak ingin melihat yang sedang terjadi di ruang tengah pondok Ki Poleng. Bagi Sarminah suara - suara sudah cukup. Dan lebih baik pikirannya saja yang membayangkang seiring dengan munculnya suara. Jika suara desahan Tilem keras dan setengah menjerit, dapat dipastikan milik Tilem sedang digerayangi Ki Poleng. Dulu ketika dirinya masih muda juga sudah pernah mengalami hal yang serupa. Apa yang dilakukan Ki Poleng terhadap Tilem sekarang pasti seperti ketika mempermainkan dirinya di waktu dulu. Kini karena dirinya sudah tidak lagi muda Ki Poleng tidak lagi suka dengan dirinya. Hanya ketika dirinya ingin Ki Poleng juga pasti memberinya. Tetapi tidak seperti dulu yang berlama - lama. Ki Poleng hanya sekedar memuaskan dirinya saja. 
Terdorong oleh rasa ingin segera bertemu dengan gurunya dan melaporkan kejadian yang membuat dirinya malu ketika dengan mudah dikalahkan oleh Nyi Tambi,  Tumenggung Suro Blasah tanpa permisi langsung membuka pintu pondok Ki Poleng. Kecuali pondok Ki Poleng adalah tempat yang sudah tidak asing lagi bagi dirinya, dan juga Suro Blasah sudah menganggap pondok Ki Poleng adalah rumah sendiri, maka tidak ragu - ragu Suro Blasah langsung menuju ruang tengah. Kedatangan Suro Blasah yang tiba - tiba sejenak membuat Ki Poleng kaget. Tangannya yang sedang berada di balik kain bawah Tilem ditariknya keluar. Tilem pun nampak kaget melihat Suro Blasah yang sudah tidak asing lagi di matanya. Kekagetan Tilem hanya sejenak. Dan segera kembali melendot di dada Ki Poleng yang memangkunya. Hanya sekilas dipandangnya Suro Blasah dan tanpa menyapanya. Begitu Juga Ki Poleng hanya sekejap saja kekagetannya atas kedatangan Suro Blasah. Kegiatannya dengan Tilempun segera diteruskan. Suro Blasah kemudian duduk di bawah beralas tikar dan matanya sesekali melirik sesuatu yang terjadi di depan matanya. Gurunya yang sudah tua. Berambut panjang beruban dan berjanggut putih. Dengan gigi - giginya yang hitam karena banyak makan sirih, sedang memangku perawan belia. Tilem. Tilem adalah keponakan Sarminah yang telah ditinggal mati kedua orang tuannya yang hanyut oleh lahar Merapi. Tilem kemudian mengikuti Sarminah mengabdi di Pondok Ki Poleng. Tilem  masih sangat belia, belum selayaknya diperlakukan demikian oleh Ki Poleng. Tetapi karena ternyata Tilem menikmati apa yang diperbuat Ki Poleng maka Sarminah membiarkannya. Mata Suro Blasah dengan sangat jelas bisa melihat kain atas Tilem yang sudah tidak sempurna terkenakan. Pundaknya telah tidak tertutup. Dan sebagia payudaranya yang masih kecil nampak sedikit menyembul dan sedang di genggam Ki Poleng. Dan remasan jari - jemari Ki Poleng membuat Tilem Mengejang - ngejangkan kakinya. " Tumben kau datang dengan tergopoh - gopoh, Blasah ... ada apa ?" Sambil menyapa Suro Blasah demikian, tangan Ki Poleng bergerak turun masuk di kain bawah Tilem yang sudah sangat kendor. Sebentar kemudian Tilem tambah mengejang sambil mendesah dan kedua tangannya merangkul leher Ki Poleng. Suro Blasah tidak segera menjawab yang ditanyakan Ki poleng. Malah pikirannya membayangkan tangan dan jari - jari Ki Poleng yang ada di balik kain bawah Tilem. Mulut Suro Blasah menjadi tersekat. Tombaknya menggeliat. Dan Suro Blasah memperbaiki posisi duduknya untuk memberi kesempatan tombak memuai. " Guru, aku benar - benar dipermalukan Nyi Tambi. Tidak aku kira jika perempuan tua itu sangat gesit, tidak bisa digerayang. Baru kali ini aku dipermalukan perempuan, guru. Hatiku sungguh sakit." Suro Blasah terbata - bata menyampaikan kalimat ini. Bukan karena terbata - bata oleh rasa sakit hati dan dendamnya, melainkan napasnya yang memburu menyekat tenggorokannya karena melihat gurunya membukai kain yang menutupi dada Tilem dan menempatkan mulutnya yang berkumis putih tepat di gundukkan dada Tilem. Dan Tilem meronta - ronta, tetapi tetap sambil menyedia - menyediakan buah dadanya disedot - sedot. Suara desahan Tilem seolah menindih suaranya yang terputus - putus. Tiba - tiba Ki Poleng menghentikan kegiatannya. " Sudah lama aku mendengar kalau Poyah ada di Tambi, Blasah. Pantas saja dia bisa mempermalukanmu. Dia bukan tandinganmu, Suro ... Poyah ... Poyah ... " Mengahkiri kalimatnya Kin poleng kembali mendekatkan mulutnya di dada Tilem yang memang sudah menunggu diperbuat. Tilem kembali mendesah, menggelijang dan meronta serta mengejangkan kakinya. Ciuman dan gigitan Ki Poleng di gundukan gunung kembar milik Tilem semakin menjadi. Dan tangan Ki Poleng yang ada di balik kain bawah Tilempun rupanya berkegiatan. Kain bawah Tilem yang sudah sangat kendor tiba - tiba terlepas dan terbuka. Suro Blasah bisa melihat Tilem telanjang bawah. Dan tangan Ki poleng ada di selangkangan Tilem. " Dan yang membuat aku sakit hati sebenarnya bukan karena aku dipermalukan guru, tetapi kata - kata Nyi Tambi yang menyumpahi. Jangankan kamu Blasah ... gurumu saja belum tentu bisa mengalahkan aku." Suro Blasah berbohong. Maksud kata - katanya ini adalah agar gurunya marah dan satu saat melabrak ke Tambi. Mendengar kalimat Suro Blasah ini, tiba - tiba wajah Ki Poleng mendongak menatap tajam ke arah Suro Blasah. Mukanya memerah, matanya melotot. Dan giginya gemeretak. Diangkatnya tubuh mungil Tilem dan dibawanya pergi meninggalkan Suro Blasah yang duduknya tidak tenang karena tombaknya memuai besar. Oleh Ki Poleng Tilem dibawa ke kamar di balik ruang tengah dimana Suro Blasah duduk. Yang terdengar kemudian suara kerengket dan derak ranjang bambu, dan desahan Tilem yang tidak berhenti dan lama - lama menjadi semakin keras. 
Sarminah masuk ke ruang tengah membawa minuman. Sarminah yang kain bawahnya tidak menutupi betisnya dilihat Suro Blasah yang pikirannya sudah sangat kacau. Begitu selesai menaruh minuman di meja Ki Poleng, tubuh Sarminah segera ditarik tangan Suro Blasah. Dan tanpa ampun segera dipeluk dan di gerayangi. " Aduh den ... den Tumenggung ini kenapa ?" Sarminah yang sedari tadi juga sudah terpengarus desahan Tilem, tidak bisa lain kecuali menerima apa yang diperbuat Suro Blasah. Dan tidak baru kali ini saja Suro Blasah meperlakukan dirinya begini. Dulu sudah sangat sering dirinya dan Suro Blasah sembunyi - sembunyi melakukannya jika Ki poleng sedang tidak berada di tempat. Bahkan Sarminah menjadi sangat merindukan jika sang murid Ki Poleng yang satu ini lama tidak mengganggunya. Sarminah menjadi sangat merindukan perlakuan kasar Suro Blasah, ketika Suro Blasah turun gunung dan jarang datang ke lereng Merapi. Sarminah menjadi sering bermimpi digumuli Suro Blasah. Sore ini yang dihiasi gerimis,  dingin kekes, dan basah, Sarminah menemukan yang lama dirindukannya.  Sarminah yang menyediakan dirinyapun segera terlucuti kainnya. Dan keduanya segera berguling - guling di lantai beralas tikar. Suara gaduhpun terdengar dari kamar ki Poleng dan dari ruang tengah dimana Sarminah sedang diperbuat oleh Suro Blasah dengan penuh gelegak.

masih ada kelanjutannya ...........


Selasa, 26 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                               edohaput

 27

Para prajurit dengan pedang tetap terhunus membuat lingkaran mengitari Tumenggung Suro Blasah dan Nyi Tambi. Suro Blasah dengan pedang besar di tangan bersiap untuk membuat Nyi Tambi tidak berdaya. " Baik saudara - saudaraku ... ! Jika aku kalah melawan Tumenggungmu, aku dan Ki Tambi bersedia dirangket. Sebaliknya jika Suro Blasah Tumenggung kalian ini kalah, Kalian harus segera meninggalkan Tambi dan tidak akan lagi mengganggu kehidupan di Tambi. Bagaimana Suro ? Kamu menerima ini ?" mengucapkan ini Nyi Tambi sambil terus menatap tajam Suro Blasah. Nyi Tambi kawatir Tumenggung Suro Blasah akan menyerangnya dengan pedang dengan tiba - tiba sebelum dirinya siap. " Omonganmu tidak berarti bagi aku perempuan gaek ! Hari ini aku mau merangketmu dan membawa kalian ke Mataram untuk dihukum, karena anakmu selalu membuat onar di Mataram ...!" Berkata demikian Suro Blasah sambil menggerak - gerakkan pedangnya dan kakinya bersiap menjejak tanah untuk menyerang Nyi Tambi. Melihat gelagat ini Nyi Tambipun bersiap menerima serangan yang bakal datang. Benar ... tiba - tiba Suro Blasah menjejak tanah tubuhnya segera terlempar ke depan ke arah Nyi Tambi sambil mengayunkan pedang mengarah ke leher Nyi Tambi. Dengan gesit Nyi Tambi surut selangkah ke belakang dan menundukkan kepalanya. Pedang besar tajam Suro Blasah mengenai ruang kosong di atas kepala dan membelah udara menimbulkan suara berdesis. Karena pedangnya yang diayun dengan penuh tenaga kemarahan hanya mengenai ruang kosong membuat tubuh Suro Blasah yang tinggi besar menjadi membungkuk. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Nyi Tambi dengan mengangkat kaki kanan dan dijejakkan tepat di dada Suro Blasah. Dengan kekuatan penuh tumit Nyi Tambi mendorong dada Suro Blasah dengan kuat. Suro Blasah yang tidak mengira Nyi Tambi akan menendangnya kaget dadanya terkena sodokan tumit Nyi Tambi dengan kuat. Suro blasah limbung dan terjerembap di tanah. Dadanya terasa sesak. Malu untuk berlama - lama terjerembab di tanah, walaupun nyeri di dadanya sangat terasa Suro Blasah segera bangun. Melompat dan dengan kekuatan penuh pedangnya di ayun ke arah perut Nyi Tambi. Suro Blasa memperkirakan jika Nyi Tambi menghindari pedangnya dengan membungkuk lagi justru kepalanyalah yang akan kena pedangnya. Dan kepala Nyi Tambi akan terbelah. Dugaan Suro Blasah salah. Melihat pedang Suro Blasah datang ke arah perut, Nyi Tambi dengan ringannya melenting ke atas laksana terbang di udara. Pedang Suro Blasah bersiut lewat di bawah kakinya yang sedang mengambang di udara. Tubuh Suro Blasah yang dengan tenaga penuh mengayun pedang lagi - lagi menjadi terhuyung karena pedangnya hanya membelah udara. Nyi Tambi tidak menyia - nyiakan kakinya yang berada dekat dengan kepala Suro Blasah. Kembali tumit kakinya menjejak, dan kali ini mengenai pelipis kepala Suro Blasah. Suro Blasah limbung dan jatuh di tanah. Kepala terasa sangat pusing. Padangan matanya berkunang - kunang. Rasa pusing di kepalanya dan matanya yang berkunang dikalahkan oleh rasa marah dan rasa malu dengan mudah dipencundangi oleh Nyi Tambi. Kepalanya yang masih sangat pusing dan matanya yang berkunang - kunang dibawanya bangkit dan dengan membabi buta diayun - ayun, ditebas - tebaskannya, serta ditusuk - tusukkannya ke arah tubuh Nyi Tambi. Semua luput. Kecuali karena ngawur juga karena Nyi Tambi terus berkelit dengan gesit dan ringan. Sampai ahkirnya pedang Suro Blasah berpindah di tangan Nyi Tambi dan sekali lagi Suro Blasah bisa kena tendangan kaki Nyi Tambi. Dan tendangan terahkir Nyi Tambi mengenai dagu suro blasah. Membuat Suro Blasah terpental dan jatuh di tanah tidak bisa bangun lagi. Dengan tenang Nyi Tambi memndekati tubuh Suro Blasah yang terlentang jrebabah di tanah halaman pendopo pondok Nyi Tambi. Pedang di tangan Nyim Tambi di sodokkan di leher Suro Blasah. " Saudara - saudaraku para prajurit ! Apakah selayaknya saya menghabisi nyawa Suro Blasah ini ?" Kalimat Nyi Tambi ini didengar semua prajurit. " Jangan Nyi ... ampuni ... Ampuni Tumenggung kami Nyi ...!" Teriak salah satu prajurit, yang kemudian disusul suara gaduh. " Benar ...Nyi ... ampuni kami ... kami akan segera pergi. Ampuni Tumenggung Suro Blasah Nyi ... Maafkan Nyi ... Kami sudah merasa kalah ...!" Teriak para prajurit sambil menyarungkan pedang - pedang mereka di pinggang. Para Prajurit segera memapah tubuh Suro Blasah dan menaikkannya di atas punggung kuda. Dengan segera para prajurit segera memacu kuda - kuda mereka meninggalkan pondok Tambi. Bersamaan dengan ini tiba - tiba ada suara sorak - sorai dari para warga Tambi yang sejak dari tadi melihat peristiwa di halaman pondok dari balik  semak - semak yang ada di dekat halaman pondok Tambi. " Hidup Nyi Tambi ... hidup Nyi Tambi ... Hidup Nyi Tambi ... " Teriak warga sambil muncul dari balik semak - semak. 
Jambul dan para cantrik perjaka dan para cantrik perawan berlarian mendapati Nyi Tambi yang masih berdiri menyaksikan kepergian para prajurit yang membawa Suro Blasah pergi. Pini cantrik perawan pacar Jambul berlari di belakang jambul. Kain bawahnya di angkat tinggi - tinggi sehingga pahanya  bisa dilihat orang dengan jelas. Begitu juga yang dilakukan para cantrik perawan. Yang dilakukan oleh para cantrik perawan menjadi pemandangan indah orang - orang. Para cantrik kemudian mengikuti langkah Nyi dan Ki Tambi menuju pendopo. 
Lain lagi yang ada di pikiran jambul. Di benak Jambul terbayang Daruni. Alangkah senangnya Daruni jika dia ikut menyaksikan peristiwa tadi. Sayangnya Daruni tidak ada. Tiba - tiba rasa cemburunya menyesak di dada. Sedang apa Daruni sekarang. Pergi bersama Bardan. Sedang diapakan Daruni sekarang oleh Bardan. Terbayang pula di benak jambul, Daruni sedang berada di hutan yang sepi bersama Bardan. Daruni sedang peluk Bardan. Di atas rumputan yang terhampar di pinggir hutan Daruni sedang ditindih Bardan. Kain - kain Daruni satu - satu dilucuti Bardan. Daruni malah pasrah dan keduanya segera bergumul di atas rumputan beralas kain yang telah lepas dari tubuh Daruni. Membayangkan ini Jambul menjadi panas hati. Dadanya bagai terbakar bara. Matanya berkaca - kaca dan napasnya memburu. Giginya bergemeretak dan mulutnya berkomat - kamit. " Kang ... ayo kang ... sudah aman ... ayo kang !" Tangan Pini menarik tangan Jambul. Lamunan Jambul jadi membuyar. Jambul tidak sadar ketika tangannya terus ditarik Pini dan langkahnya berahkir di kamar Pini. " Kang ... ayo kang ... aku kepingin ... " Tangan Pini nakal menggerayangi milik Jambul. 

masih ada kelanjutannya ..............