Minggu, 15 September 2013

Candra Mawa 

                                                                                                     edohaput


17

Mendengar laporan Legino dan Mijan, Ki Demang Sawang Argo sangat gembira. Ternyata anaknya semata wayang masih hidup dan dalam keadaan tidak cidera. Di balik kegembiraannya ada rasa kawatir yang sangat menghantui. Jika laporan Legino dan Mijan ini didengar Tumenggung Suro Blasah pasti Daruni akan dijemput paksa oleh Tumenggung Suro Blasah. Lalu apa yang akan terjadi selanjutnya pada diri Daruni. Di dakam hati kecilnya Ki Demang Sawang Argo ingin Daruni tetap berada di pondok Nyi Tambi. Ki Demang percaya Daruni akan mendapat perlakuan yang baik dan perawatan yang semestinya di Tambi. Ki Demang sudah sangat sering mendengar kabar kalau Ki Tambi dan Nyi Tambi adalah orang baik. Orang yang mau banyak memberi pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan. Walaupun Ki Demang belum pernah bertemu dengan Ki dan Nyi Tambi tetapi Ki Demang Sawang Argo sangat percaya kalau Daruni pasti mendapatkan perlindungan dari Ki dan Nyi Tambi. Tetapi kalau kabar ini tidak diberitahukannya kepada Tumenggung Suro Blasah, dan Temunggung Suro Blasah yang ahkirnya tahu kalau dirinya berbohong, maka lehernyalah yang menjadi taruhannya. Keberadaan Daruni tidak diberitahukan ke Tumenggung Suro Blasah dirinya terancam dianiaya Tumenggung, tetapi jika diberitahukan pasti Daruni akan dijemput paksa dan dibawa ke Kepatihan dan Daruni akan menjadi sangat menderita. Ki Demang bertemu dengan buah si malakama. Dimakan mati tidak dimakanpun mati. Ki Demang tidak mempunyai pilihan. Air  mata Nyi Demang yang terus membasahi pipinya juga membuat perasaan Ki Demang menjadi semakin gundah. " Menurut pikiran saya, Ki Demang beritahukan saja keberadaan Daruni ini kepada Raden Tumenggung." Kata Legino memecah kebekuan suasana. " Dan Ki Demang memohon kepada Raden Tumenggung agar Daruni bisa dibawa pulang ke kademangan. Dan Ki Demang juga memohon agar Raden Tumenggung mau membatalkan niatnya membawa Runi ke Kepatihan." Legino kemudian mengambil napas panjang dan menghempaskannya untuk melepaskan beban di dadanya. Legino sangat ingin Daruni tetap berada di Kademangan. Dengan begitu siapa tahu dirinyalah nantinya yang beruntung mempersunting Daruni. Ki Demang tidak menjawab usul Legino. Mata malah berkaca - kaca dan menerawang menembus langit - langit pendopo kademangan. Mijan yang sedari tadi hanya tertunduk dan sedih memikirkan nasib yang akan terjadi terhadap Demangnya dan Daruni, ikut membenarkan usul Legino : " Benar Ki. Usul kang Legino patut dicoba. Siapa tahu Raden Tumenggung Suro Blasah masih memiliki rasa iba terhadap Ki Demang dan Daruni." Kata - kata Mijan ini juga sangat didengarkan oleh Ki Demang. Tetapi Demang Sawang Argo tetap diam. Duduk terpaku dan pandangan matanya tetap menerawang. Terbayang penderitaan Daruni jika dibawa Tumenggung Suro Blasah. Terbayang pula penyiksaan yang akan menimpa dirinya yang akan dilakukan oleh Tumenggung Suro Blasah. " Baiklah aku akan pikirkan bersama Nyi Demang. Trima kasih atas usaha kalian bisa menemukan Runi." Ki Demang beranjak dari duduk dan menggandeng tangan Nyi Demang meninggalkan Legino dan Mijan.
Melihat Ki Demang dan Nyi Demang sudah masuk dan menutup pintu rumah induk, Sumirah yang mendengar kabar kalau Legino telah pulang ke kademangan dan sedang menghadap Ki Demang, segera menuju samping pendopo dan bersembunyi di balik pohon, bergegas lari ke pendopo untuk mendapati Legino. Legino yang beranjak dari duduk bersila dan belum sempat berdiri sempurna telah ditubruk Sumirah. Legino sempoyongan dan tetap diruket Sumirah. " Kang aku kangen banget, kang. Aku kangen ... kang !" Sumirah memeluk tubuh Legino. Mijan yang menyaksikan adegan ini hanya bisa tersenyum dan segera ngeloyor pergi. Mijan sudah bisa membayangkan apa yang akan terjadi antara Legino dan Sumirah. Mereka pasti akan segera pergi ketempat dimana mereka sering melewatkan hari - hari menyenangkannya. 
Malam mulai menyelimuti Kademangan Sawang Argo. Rembulan yang muncul di ufuk timur berwarna merah. Pelataran Kademangan Sawang Argo ramai dengan celoteh anak - anak yang bermain petak umpet. Berlarian dan saling mengejar, saling bersembunyi di balik pohon - pohon besar di halaman kademangan. Di sudut halaman di bawah pohon beringin kurung duduk Mijan dikerumuni perawan - perawan kademangan. Para perawan asyik mendengarkan cerita Mijan dalam perjalanannya sampai bisa menemukan Daruni. " Trus Daruni mau pulang  ke kademangan tidak ya, kang ?" Tanya Painah yang sedari tadi duduknya merapat ke Mijan. " Wah kalau soal itu aku tidak tahu, Nah. Ya sana tanya sendiri sama Daruni !" Jawaban Mijan ini mengundang tawa para perawan kecuali Painah yang malah jadi memberengut dan menyubit lengan Mijan. " Kasihan ya Daruni. Di rumah enak - enak harus melarikan diri jauh dari rumah." Sambung Giyuk yang gemuk dan berhidung pesek pipi tembem. " Ah ya enak lari, yuk ! Kalau tetap di kedemangan ya dibawa sama Raden Tumenggung yang berangsasan itu !" Warliyem menjawab tanpa diminta oleh Giyuk. " Kalau aku mau lho dibawa sama Raden Tumenggung itu, yem. Coba kalau Raden Tumenggung sudah lihat aku. Pasti aku dikejar pula." Kalimat ini oleh Giyuk diahkiri dengan tertawanya yang renyah. " Betul Yuk. Pasti raden Tumenggung akan sangat terpesona sama hidungmu yang mlesek dan pipimu yang tembem." Mendengar jawaban Mijan ini semua perawan tertawa renyah termasuk Giyuk. " Tidak hanya pipiku yang tembem lho kang Mijan. Punyaku juga tembem. Kalau Raden Tumenggung melihatnya pasti kemecer ingin .... " Kalimat Giyuk ini semakin meledakkan tawa para perawan. " Dasar kamu yuk ... yuk ... wong edan ... " Warliyem menyambung. 
Rembulan semakin meninggi. Suara celoteh anak - anak telah hilang. Para perawanpun satu - satu meninggalkan Mijan. Ketika Painah juga akan meninggalkan Mijan, buru - buru Mijan menggamit tangan Painah. " Mau kemanah, Nah ?" Mijan menatap wajah Painah yang disinari rembulan. Painah yang berhdung kecil dan mancung serta berbibir tipis ini juga membalas tatapan Mijan. " Ya mau pulang ta kang. Sudah malam." Painah pura - pura meronta mau melepaskan gamitan tangan Mijan. Painah sudah sejak lama menaruh hati kepada Mijan. Begitu juga Mijan yang tahu kalau dirinya disukai Painah sebenarnya menyambut kehadiran Painah di hatinya. Ketika mereka pada saat - saat tertentu berdekatan, dirasakan oleh Mijan maupun oleh Painah ada getaran mesra di hati mereka masing. Ketika suatu saat mata mereka tertumbuk Painah hanya bisa tertunduk malu, dan Mijan tersenyum. Keduanya sebenarnya saling jatuh hati. Hanya saja belum memperoleh kesempatan untuk saling mengungkapkannya. Mijan berharap malam ini bisa berdekat - dekat dengan Painah. " Kita pindah duduk di sana ya, Nah ." Mijan menunjuk ke arah timur dan ujung jari telunjuknya menunjuk batu besar di bawah pohon beringin yang daunnya sangat rimbun. " Disana gelap kang. Sepi." jawab Painah namun tidak menolak ketika tangannya digandeng Mijan melangkah menuju tempat yang ditunjuk. 
Rembulan yang semakin meninggi membuat tempat duduk Mijan dan Painah menjadi semakin gelap lantaran sinarnya terhalang rimbunnya daun pohon beringin. Painah yang telah berada di pelukan Mijan merasa hangat dan tentram. Jantungnya terus berdegup semakin kencang karena Mijan mulai mendekatkan bibirnya di bibirnya. Napas hangat Mijan sudah sangat dirasakan Painah di sekitar hudung dan bibirnya. Dan tidak ada perbuatan lain yang dilakukan Painah kecuali sedikit membuka bibirnya untuk menerima ciuman Mijan yang tadi telah mengungkapkan isi hatinya. Painah kemudian hanya bisa memejamkan matanya ketika bibirnya telah beradu dengan bibir Mijan. Dirasakannya hangat basah lembut bergerak penuh rasa cinta. Rasa hangat di bibir menjalar ke seluruh tubuh. Sampai - sampai Painah tidak menyadari kalau gunung kembarnya telah di remas tangan Mijan yang telah berhasil membuka kancing kain yang menututpi dadanya. Painah semakin pasrah seiring semakin nikmatnya rasa di tubuh. Ciuman Mijan berubah menjadi ciuman panas ketika tidak sengaja tangan Painah menyentuh senjata Mijan yang telah menggeliat berontah ingin keluar dari sarangnya. Painah yang tidak sengaja menyentuh senjata Mijanpun malah tidak menarik tangannya dari dekatnya dengan senjata Mijan. Painah malah tertarik untuk mengelusnya. Painah nekat mengelus. Mijan menjadi menggila. Ciumannya menjadi semakin liar. Remasan - remasanny di gunung kembar Painah tidak terkendali. Napas Mijan bagai napas banteng marah. Tangan Mijan pun semakin melorot ingin membalas Painah yang telah juga nekat meremas - remas senjatanya. Dan kain Painahpun segera kendor oleh tangan Mijan yang telah hilang kesabarannya. Mijan segera menemukan milik Painah. Mereka segera saling melenguh, mendesah, menggelinjang. Tidak lama kemudian mereka saling mengerang. Tangan Painah basah oleh cairan kental senjata Mijan, dan tangan Mijan kebanjiran air kenikmatan yang diesemburkan milik Painah.


masih ada kelanjutannya ................
Candra Mawa 

                                                                                                     edohaput

16

Pengakuan dua penjaga pintu penjara Kepatihan membuat Giyem ditangkap dan dipenjarakan. Giyem dianggap menjadi penyebab kaburnya Diman dari penjara Kepatihan. Tumenggung Suro Blasah menyimpulkan Giyem bekerja karena disuruh orang untuk mengelabuhi penjaga. Giyem bekerja untuk membuat lalai penjaga. Malam itu Giyem pasti bekerja dengan baik. Kalau tidak mana mungkin dengan mudahnya Diman bisa dibawa pergi oleh sang penolongnya. Tumenggung Suro Blasah juga bisa menerka jika yang menjemput Diman ini bukan orang sembarang. 
Di dalam penjara Giyem tersiksa. Setiap malam menjadi santapan prajurit - prajurit yang diperintah untuk mengintrogasinya. Giyem banyak tutup mulut. Prajurit - prajurit yang gemas dan jengkel ahkirnya menelajangi Giyem dan menggarapnya bersama - sama. Giyem tersiksa. Giyem jijik. Tetapi Giyem juga menikmatinya. Giyem yang sudah lama menjanda karena ditinggal mati suaminya yang berjuang bersama Pangeran Diponegoro, malah selalu menikmati perkosaan yang dilakukan prajurit - prajurit kepatihan yang menanyainya. Malam demi malam Giyem tetap bungkam. Karena dengan tetap bungkam prajurit menjadi gemas dan jengkel dan ahkirnya memperkosanya. Dan Giyem senang, karena memperoleh kenikmatan. Tidak ada prajurit yang menyakitinya. Paling - paling mengancam mau membunuhnya. Tetapi yang dilakukan kemudian malah memberinya kenikmatan. 
Karena para prajurit yang diperintahnya tidak mampu mengorek keterangan dari Giyem, Tumenggung Suro Blasa turun tangan sendiri. Giyem harus membuka mulutnya. Giyem harus mengaku. Tumenggung Suro Blasah tanpa diikuti begundalnya masuk ke penjara dimana ada Giyem dan menutup pintu penjara rapat - rapat agar tidak ada orang yang bisa masuk. Jika mulut Giyem tidak mau mengaku Tumenggung Suro Blasah berniat menyiksa Giyem habis - habisnya. Bahkan kalau perlu menghabisi nyawanya. 
Melihat Tumenggung Suro Blasah masuk di penjaranya, Giyem yang sore tadi memperoleh makanan enak dan juga memperoleh kesempatan mandi sangat kaget melihat Tumenggung Suro Blasah datang dengan membawa pedang telanjang ke penjaranya. Giyem yang duduk di sudut ruangan penjara mendadak sontak langsung berdiri surut semakin ke pojok ruangan penjara yang sempit. Kedua telapak tangannya segera dirapat satu sama lain dan diposisikan di depan hidungnya sambil membungku - bungkuk. Giyem menyembah - nyembah Tumenggung Suro Blasah yang tinggi besar, berkumis tebal dan bermata tajam bagai mata singa galak. Giyem tidak berani menatap wajah Tumenggung Suro Blasah. Yang dilakukan Giyem kemudin berlutut di depan Suro Blasah sambil tetap menyembah - nyembah. " Berdiri ... !" Bentak Suro Blasah menggelegar di telinga Giyem. Giyem perlahan berdiri sambil tetap telapak tangangnya mengatup di depan hidung. " Lepasi semua kain yang kamu kenakan ... !" Bentak Suro Blasah lagi. Giyem ragu - ragu. Dan kedua telapak tangannya tetap mengatup di depan hidungnya. " Lepasi ... !!" Bentak Suro Blasah Semakin keras. Giyem lambat menurunkan tangan dan dengan lambat pula melepasi kancing kancing kain yang menutupi tubuh bagian atasnya. " Cepaaat ... !!" Suro Blasah menggelegarkan suaranya. Giyem takut. Giyem mempercepat kegiatannya melepas kain atasnya dan manjatuhkan kainnya di dekat kakinya. Giyem telanjang dari pundak sampai di atas pusarnya. Tangan Giyem sedekap menutupi gunung kembarnya. " Buka tanganmu ... Giyem ... !!" Lagi - lagi Suro Blasah membentak. Giyem menyingkirkan tangannya dari gunung kembarnya. Mata Suro Blasah membelalak menatap Gunung kembar yang berputing merah milik Giyem. Tumenggung Suro Blasah menelan ludah. Ternyata payudara milik janda muda ini masih seperti milik perawan. Kencang dan tegak menggunung. Payudara yang tidak besar tetapi juga tidak kecil. Tiba - tiba aliran darah di tubuh Suro Blasah menjadi semakin cepat kerana jantung berdegup semakin cepat, dan membuat napasnya memburu. Napas birahi memburu terdengar di telinga Giyem. Giyem menjadi tersenyum dalam hati. Kena kau Suro Blasah pikir Giyem. Tumenggung Suro Blasah mengangkat pedangnya yang terhunus dan menempelkan di payudara Giyem. Ada rasa dingin dirasakan Giyem karena pedang tajam menempel di buah dadanya yang telanjang. " Katakan Yem. Siapa yang menyuruhmu mengelabuhi penjaga pintu penjara. Katakan ... !!" Suro Blasah serak membentak karena napasnya semakin memburu melihat dada Giyem. " Jika kamu tidak katakan penthilmu ini akan kuiris - iris. Cepat katakan !" Bentak Suro Blasah parau sambil mengelus - eluskan dengan hati - hati pedang di penthil Giyem. Giyem bungkam. Giyem tahu kalau Suro Blasah tidak akan menebas penthilnya dengan pedangnya. Suro Blasah hanya mengancam seperti yang lainnya. Justru nanti Suro Blasah malah akan menimang - nimang penthilnya. " Katakan Yem ... !" Suara Suro Blasah bergetar. Marah. Giyem tetap bungkam. Tiba - tiba Suro Blasah menjauhkan mata pedang dari gunung kembar Giyem dan mengayunkan pedang dengan cepat da berkelebat. Giyem kaget dan menjerit. Braaakk ... . Pedang tajam Suro basah menghantam juruji penjara yang terbuat dari kayu dan mematahkannya. Kayu berantakan di lantai penjara. " Edan kamu Yem. Berani mati kamu ya ...!" Suara Suro blasah semakin parau dan napasnya semakin ngos - ngosan. Suro Blasah sudah dirasuki birashi. Tombaknya yang ada di dalam celana menggeliat. " Lepaskan kain bawahmu Giyem ... !" Suro Blasah lagi - lagi membentak dan sambil meletakkan mata tajam pedang di pundak Giyem yang telanjang, seolah - olah mau memenggal leher Giyem yang jenjang.  " Cepaaaat !" Suara Suro Blasah tertahan. Kain bawah Giyem melotrok ke bawah. Berjuntai di telapak kakinya. Giyem bulat telanjang. Mata Suro Blasah terbeliak melihat milik Giyem yang ternyata menonjol tembem dan di atasnya ada rambut rambut yang tidak begitu lebat. Sehingga belahan bibirnya yang masih rapi terlihat oleh mata Suro Blasah yang semakin membeliak. " Katakan Yem ... kalau tidak lehermu akan putus ... !" Suro Blasah memainkan mata pedang di leher Giyem dengan hati - hati. Giyem tetap bungkam. Giyem percaya Suro Blasah tidak akan memenggal lehernya. Justru nanti pasti akan mencupang - cupangnya dengan bibirnya yang tebal. Suro Blasah menarik mata pedang dari leher Giyem yang jenjang telanjang dan mengayunkannya kuat - kuat. Sekali lagi Giyem menjerit. Pedang tajam Suro Blasah kembali menghantam jeruji penjara. Braaak ... . Patah berhamburan jeruji penjara. Kemudian dengan kuatnya Suro Blasah mebanting pedangnya dan terpental keluar ruangan menimbulkan suaran gemerincing. Tangan Suro Blasah beralih mencopot obor yang menancap di pagar penjara. Dipegangnya obor yang api berkilat - kilat tertiup angin malam yang menerobos masuk ruangan penjara. " Kangkang ... !" Suro Blasah minta Giyem berdiri sambil ngangkang. Giyem tidak tahu maksud Suro Blasah. Yang ada di pikiran Giyem pasti lelaki bertubuh tinggi besar ini akan menjamah miliknya. Ternyata tidak. Suro blasah menempatkan api obor di bawah selangkangannya. Giyem merasakan selangkangannya hangat oleh api obor. " Yem ... jika kamu tidak mau mengaku ... akan aku brongot milik kamu !" Suro blasah pelan - pelan mendekatkan api obor ke tengah selakangan Giyem. Karena diobori bentuk indah milik Giyem justru semakin mempesona Suro Blasah. Napas Suro Blasah semakin terengah - engah. Giyem tetap bungkam. Giyem percaya Suro Blasah tidak akan membakar miliknya. Justru nanti akan mengelus - elusnya. Mengiliknya, dan meneroboskan jari tengahnya yang besar dan panjang di lubang kenikmatan miliknya. " Katakan yem ... !" Suro Blasah semakin mendekatkan api obor ke milik Giyem di tengah selangkangan. Giyem tidak lagi hanya merasakan hangatnya api, tetapi rasa panas mulai dirasakan. " Cepat Yem katakan ... sebelum aku membrongot milikmu ... !" Suro Blasah nekat mendekatkan api obor ke milik Giyem. Panas api semakin dirasakan Giyem di miliknya. Suro Blasah semakin mendekatkan api obor ke milik Giyem. Panasnya api obor yang semakin mendekat ke miliknya yang ada di tengah selangkangannya membuat Giyem tidak tahan. Selangkannya serasa terbakar. Giyem menjerit dan minta ampun. " Ampun den Tumenggung ampun ... ampun den ..." Giyem menggelinjang dan mau menutup selangkanganya, tetapi kaki kuat suro Blasah menahannya dan semakin mendekatkan api obornya ke milik Giyem. " Katakan Yem ... katakan ... sebelum aku nekat membrongot milikmu !" Sambil tangan Suro Blasah yang lain mencengkeram pundak Giyem. Ajkirnya jebol juga yang dipertahankan Giyem. " Den Bardan, den ... den Bardan .... den Tumenggung ... !" Giyem menjerit kepanasan. Mendengar pengakuan Giyem, Suro Blasah segera membuang obor jauh dari tubuh Giyem. Segera ditariknya tubuh Giyem. Suro Blasah yang sejak tadi sudah tidak tahan segera membanting tubuh Giyem di lantai penjara yang hanya beralas jerami. Dan setelah melepas celana keprajuritannya Tumenggung Suro Blasah segera menubruk tubuh Giyem. Bagai singa lapar seluruh tubuh Giyem menjadi santapan mulut Suro Blasah yang terus mengeluarkan air liurnya. Kecipak mulut Suro Blasah saling menutup dengan suara jeritan, rintihan dan desahan mulut Giyem. Giyem tertus meronta, menggelinjang dan polah tidak karuan. Lebih - lebih ketika dirasakannya miliknya disodok benda besar panjang kaku namum hangat dan lembut, yang terus melesak masuk dan mengaduk - aduk kedalaman miliknya.  Dan yang dirasakan Giyem kemudian hanya tubuhnya serasa melambung - lambung dan ada kenikmatan yang tiada taranya di sekujur tubuhnya. 

masih ada kelanjutannya ................

Selasa, 03 September 2013

Candra Mawa 

                                                                                               edohaput 

15
Bardan membawa Sekarsari ke Gunungpring. Dirinya tidak mungkin meninggalkan Sekasari sendirian. Di hari lain prajurit Kepatihan dan Suro Blasah pasti akan kembali ke tempat Diman ditemukan. Suro Blasah tidak mungkin tidak kembali untuk menemukan Sekarsari. Bardan harus membawa Sekarsari. Tujuan Bardan adalah akan menitipkan Sekarsari dan bayinya di tempat persembunyian Ki Surojoyo. Bardan percaya di dekat Ki Surojoyo Sekarsari dan bayinya akan terlindungi. Membawa Sekarsari ke Tambi untuk dititipkan di pondok mboknya terlalu jauh menempuh perjalanan. Sekarsari yang baru saja melahirkan tidak mungkin diajak berjalan sejauh itu. Ki Surojoyolah harapan satu - satunya yang bisa sementara melindungi Sekarsari dan bayinya. 
Setelah melewati tempuran sungai Lamat dan sungai Blongkeng dan menghindari bertemunya dengan orang - orang, tengah hari Bardan sampai di pondok kecil Ki Surojoyo. Pondok kecil yang sangat sederhana. Pondok kecil yang berada di tengah - tengah rimbunya rumpun bambu. Hanya Bardan yang mengetahui pondok ini. Tidak biasanya Bardan datang mampir di pondok Ki Surojoyo ini pada siang bolong. Baru sekali ini dirinya datang ke pondok persembunyian Ki Surojoyo ketika matahari masih nampak. Jika saja tidak karena mengantar Sekarsari tidak mungkin Bardan mendatangi Ki Surojoyo pada siang hari. Bardan sangat tidak ingin tempat persembunyian Ki Surojoyo ini diketahui orang. Ki Surojoyo adalah orang yang sangat dicari para prajurit Belanda dan prajurit Kepatihan. Ki Surojoyo yang sudah sangat diketahui malang - melintangnya ketika perang Diponegoro terjadi, dan banyak menyedarai bahkan banyak menghabisi prajurit Belanda, prajurit Keraton Mataram, dan prajurit Kepatihan masih sangat dianggap sebagai ancaman. Bahkan penangkapan terhadap Ki Surojoyo dan Bardan pernah pula disayembarakan. Bagi siapa saja yang bisa menangkap hidup - hidup atau mati Ki Surojoyo dan Bardan akan mendapatkan penghargaan sekantung besar kepingan emas dari Kepatihan Mataram. Bardan tahu kalau sayembara ini telah tersebar ke seantero wilayah Keraton Mataram. Bardan juga tahu kalau sudah ada orang - orang yang terus menyoba menyari keberadaan Ki Surojoyo dan keberadaan dirinya. " Apa rencanamu selanjutnya Bardan ?" Ki Surojoyo sambil mengamati bayi di pangkuan Sekarsari lelap tertidur. Bardan tidak menjawab pertanyaan Ki Surojoyo dan pandangan matanya melirik ke Sekarsari yang duduk di dekatnya. " Sebaiknya kamu beristirahat di belakang Sari, kasihan bayimu. Itu masih ada singkong rebus. Makan saja untuk mengisi perutmu." Ki Surojoyo minta Sekarsari istirahat di rumah belakang yang segera tanpa diminta ulang Sekarsari bersama bayinya segera beranjak dan menyingkir dari Ki Surojoyo dan Bardan yang akan berbicara rahasia yang dirinya tidak boleh tahu. Sekarsari tahu diri. Ketika dirinya dilirik mata oleh Bardan, dan Bardan tidak segera menjawab pertanyaan Ki Surojoyo, Sekarsari tahu kalau dirinya tidak boleh mendengar apa yang akan dipercakapkan mereka. " Saya harus membebaskan Diman suami Sekarsari, Ki. Diman saat ini pasti ditawan di penjara Kepatihan." Bardan menjawab pertanyaan Ki Bardan dengan lirih agar Sekarsari tidak mendengarnya. " Aku percaya kamu bisa melakukannya, Bardan. Tetapi waspada dan hati - hati. Jangan menyedarai prajurit bahkan menghabisinya jika tidak sangat terpaksa, Bardan. Kita sekarang sudah tidak lagi berada di jaman peperangan." Ki Bardan menatap tajam mata Bardan. Bardan memaknai tatapan tajam Ki Surojoyo yang juga salah satu gurunya ini sebagai satu peringatan. Bardan ingat di tahun - tahun peperangan, jika saja tidak karena dicegah oleh gurunya ini dirinya pasti sudah lebih banyak menghabisi prajurit Belanda dan prajurit Kepatihan yang dijumpainya dan dihadapinya di peperangan. Pedangnya selalu mengayun dan menebas tanpa ampun. Siapa saja yang berada di hadapannya tidak perduli prajurit Kepatihan, tidak perduli prajurit Belanda selalu dengan mudah dicederainya. " Kapan Bardan kamu melaksanakannya, Bardan ?" Ki Surojoyo tetap menatap tajam mata Bardan. " Malam nanti Ki. Maka sebelum matahari miring, saya pamit. Restu Ki Suro saya minta." Bardan menunduk dan kemudian bersujud di hadapan Ki Surojoyo duduk.
Tanpa berpamitan dengan Sekarsari, Bardan segera meninggalkan Ki Surojoyo yang mengantarkan sampai di depan pintu pondok. Bardan segera lenyap dari pandangan Ki Surojoyo karena rimbunya rumpun bambu. Bardan segera menyebarang sungai blongkeng melompat ke tebing sungai dan segera menerabas hutan gunungsari. Setengah berlari dan bahkan kadang - kadang melompat dari tempat yang satu ke tempat yang lain, bahkan tidak jarang pula harus bergelayutan di dahan pohon supaya tubuhnya bisa terlempar jauh ke depan. Sebelum matahari di telan bumi Bardan harus sudah sampai di dekat Kepatihan. 
Menunggu semakin larutnya malam Bardan bersembunyi di dahan pohon sawo di belakang benteng Kepatihan. Pohon sawo kecik yang sangat rimbun melindung Bardan dari mata orang. Dan memang tidak akan ada orang mengira akan ada orang bersembunyi disana. Mata Berdan terus mengawasi ke bawah. mengawasi benteng  Kepatihan yang di setiap pintu masuk ada dua prajurit yang berjaga. Sisi belakang benteng Kepatihan Sepi. Di depan pintu kayu yang tertutup rapat berdiri dua prajurit Kepatihan. Pintu belakang benteng Kepatihan ini sudah sangat dihafali Bardan. Pintu ini menghubungkan dengan lorong yang berhubungan dengan penjara. Malam semakin merangkak jauh. Bardan melihat Giyem dengan obor kecil mendatangi dua prajurit penjaga. Mereka segera terlibat pembicaraan. Bardan tidak mendengar apa yang dibicarakan. Tetapi sebentar kemudian Giyem melangkah ke tempat yang jauh dari cahaya lampu dan diikuti dua prajurit penjaga pintu. Di bawah pohon beringin dan di atas batu ceper Giyem segera didudukan dan dipegangi oleh dua prajurit penjaga yang masing - masing tangannya segera sibuk di tubuh Giyem. Bardan sempat mendengar Giyem minta agar prajurit penjaga tidak tergesa. " Alon - alon saja kang. Pelan - pelan saja biar enak. Aku emoh kalau kakang - kakang kasar. Nah gitu kang yang halus. Aaaahh ... jangan kesitu dulu kang. Jangan langsung. Aku dipeluk dulu. Diciumi dulu. Yang lama ya kang. Biar aku marem." Kalimat dari Giyem ini masih sempat samar - samar di dengar Bardan. Bardan hanya bisa tersenyum geli. Dan matanya samar - samar menangkap pula dua prajurit penjaga yang mulai mengendorkan kain yang dikenakan Giyem. Satu prajurit segera menyiumi pipi dan bibir Giyem, satu prajurit yang lain memasukkan tangannya di balik kain yang menutupi dada Giyem dan sambil berusaha mengeluarkan tombaknya agar bisa dipegangi dan diremas - remas oleh tangan lembut Giyem. Prajurit yang menyiumi pipi dan bibir Giyem tangannya mulai merogoh menyelusup ke kain bawah. Bardan masih sempat pula melihat Giyem menggeliat dan terdengar desahnya. Bardan tidak mau berlama - lama melihat adegan ini. Bagai melayang tubuh Bardan meluncur ke bawah dari atas pohon sawo. Dan bagai kapas jatuh sama sekali tidak menimbulkan suara kaki Bardan menginjak tanah. Ringan Bardan melompat ke pintu yang tadi dijaga dua prajurit. Setelah melawati lorong gelap yang hanya diterangi lampu - lampu minyak yang menyala kecil, dengan mudah Bardan menemukan Diman yang berada di dalam sel dengan jeruji kayu. Ciri - ciri Diman yang disebutkan Sekarsari memudahkan Bardan mengenali Diman. Setelah dengan mudah dan tanpa banyak menimbulkan suara gaduh Bardan bisa dengan mudah mematahkan jeriji sel, segera membangunkan Diman yang terlelap tidur. " Sekarsari isterimu dan anakmu sudah aman, sekarang ayo kita keluar !" Bisik Bardan di telinga Diman. Diman yang sempat kaget, bingung dan ragu segera tersadar dan segera mengikuti langkah Bardan dengan hati - hati. Sampai di depan pintu beteng Bardan sempat melihat dua prajurit yang sedang bersama Giyem. Satu prajurit menindih Giyem yang mengangkang dan satu prajurit lagi sedang berdiri sambil memegangi tombaknya yang segera akan mendapat giliran menancap di milik Giyem. Bardan tersenyum geli. Dan senyuman Bardan ini tidak terlihat oleh mata Diman yang memandangi ke segala arah tanda bingung. Bardan segera menggandeng tangan Diman dan segera meninggalkan tempat dengan langkah yang setengah berlari. Setelah  cukup jauh melangkah Bardan berhenti dan menghampiri sebuah rumah. Menyelipkan kantong hitam kecil yang berisi beberapa kepingan perak dan emas. Dan kantong ini nanti akan diambil Giyem setelah selesai dengan dua prajurit penjaga.

masih ada kelanjutannya ..................




Candra Mawa 

                                                                                               edohaput 

14 

Bardan menyebarangi sungai Progo berjalan ke arah utara. Langkah Bardan menuju Gunungpring. Bardan tahu karena pernah singgah disana. Di lereng sisi timur Gunungpring, berada di tepian sungai Blongkeng, tinggal Ki Surojoyo. Ki Surojoyo adalah salah satu gurunya yang telah banyak mengajarkan ilmu jaya kawijayan terhadap dirinya. Ki Surojoyo juga salah satu pembantu setia dari Pangeran Diponegoro. Paska perang dan paska ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Belanda, Ki Surojoyo juga lari dari Mataram karena juga dikejar - kejar pasukan Belanda dan prajurit kepatihan. Ki Surojoyo kemudian bersembunyi di lereng Gunungpring di pinggiran sungai Blongkeng yang banyak ditutupi oleh pohon - pohon besar, di tengah rimbunnya pohon bambu dan dari Mataram sangat sulit dijangkau karena sebelum sampai di Gunungpring harus menerabas hutan Gunungsari. Sejak berada di Gunungpring Ki Surojoyo tidak pernah lagi ke Mataram. Ki Surojoyo sudah merasa aman dan tentram di Gunungpring. Ki Surijoyo berniat mendito, meninggalkan keduniawian dan ingin tentram sebagai manusia uzur yang ditunggu kubur. 
Langkah Bardan terhenti di dekat Candi Ngawen. Sekitar Bangunan Candi yang sebagian telah tertutup tanah pasir luapan dari Sungai Blongkeng yang berhulu dari gunung Merapi tampak sepi. Bangunan candi nampak tidak terawat. Disana - sini batu - batu candi runtuh. Arca - arca ambruk. Nampak candi sudah tidak lagi dipergunakan untuk kegiatan ritual keagamaan. Di sekitar candi hanya ada satu bangunan rumah kayu. Suara dari dalam rumah kayu itulah yang membuat langkah Bardan terhenti. Bardan mendengar erangan perempuan yang memanggil - manggil nama. Erangan sambil mengaduh semakin jelas di telinga Bardan. Bardan mendekati sumber suara. Bardan berada di depan pintu rumah. Bardan mengintip ke dalam. Dilihatnya oleh mata Bardan ada perempuan terlentang di lantai rumah dan hanya beralas tikar sedang berjuang untuk melahirkan anaknya. Dimana gerangan orang lain. Dimana pula suaminya. Sampai - sampai tidak menunggui isterinya yang sedang akan melahirkan anaknya. Bardan ragu. Akankah dirinya masuk ke rumah dan menolong perempuan yang sedang berjuang ini. Bisakah dirinya membantu orang yang akan melahirkan anak. Bardan mengambil keputusan masuk rumah. Setidaknya dirinya akan menemani perempuan ini. Begitu pintu terbuka dan Bardan nampak di mata perempuan ini : " Kang ... kang Diman ... aduh ... kang tolong kang ... sakit kang !" Tangan perempuan yang sedang menghadapi perjuangan ini menggapai - gapai. Bardan segera berjongkok di samping perempuan. Dan perempuan ini kaget karena orang yang disangkanya suaminya ternyata bukan. " Kang Diman suami mbakyu, ya ?" Bardan memegangi tangan perempuan ini. " Benar dik ... benar ... aduh dik sakit, tolong ! Sampean siapa ? Tolong ... aduh ... !" Perempuan ini semakin kuat mencengkeram tangan Bardan. Tanpa ragu Bardan segera mengendorkan kain yang meliliti perempuan ini. Bardan kemudian menekuk kedua lutut perempuan dan mengangkangkan pahanya. Mata Bardan bisa melihat perut perempuan sampai pada yang ada di antara kedua pahanya. Air ketuban yang telah pecah membasahi tikar. " Ambil napas panjang mbakyu, dan dorong kuat ! Ayo Yu dorong !" Bardan mengamati jalan yang akan dilewati bayi. Mulai membuka. Perempuan mengedan dan mengerang dengan keras. Bardan melihat kepala bayi mulai nongol. " Dorong lagi kuat -  kuat mbakyu . Dorong !" Bardan melihat tubuh bayi sudah keluar separo. Perempuan semakin mengedan. Dan Broool ... tubuh bayi lahir dari rahim ibunya diikuti keluarnya tali pusar dan ari - ari. Tangis bayi keras menutup erangan ibunya yang mendorongnya keluar. Bardan bingung apa yang akan dilakukan kemudian. Untung saja Bardan ingat cerita - cerita mboknya tentang kelahirannya. Tentang memotong tali pusarnya. Tanpa pikir panjang lagi Bardan segara menghunus pedang dari sarungnya dan memotong tali pusar si jabang bayi. Apalagi yang harus dilakukan. Kembali Bardan bingung. " Dik sampean tolong ambil air di sumur belakang rumah. Mandikan anakku." Lemah perempuan yang  telah lepas dari perjuangannya ini meminta Bardan. 
Bardan memandikan bayi. Menghangatkannya dengan kain. Mengangkat tubuh ibu bayi dan ditempatkan di amben. Membersihkan ibu bayi dengan air sumur. Memberikan bayi untuk dipeluk ibunya. Membungkus ari - ari. Menggulung tikar tempat ibu bayi melahirkan anaknya dan menanamnya di pekarangan rumah. 
Matahari segera akan turun dan hilang di balik perbukitan Menoreh. Tidak ada tanda - tanda orang datang. Bardan hanya bisa tertegun. Ternyata rumah kayu sebelah juga kosong. Suasana dalam rumah semakin gelap. Bardan menyulut lampu untuk menerangi ruangan. Ibu bayi menyusui. Bardan melihat lahapnya si bayi laki - laki lahap menyedot puting susu ibunya. Sang ibu tidak malu - malu membuka kantung susu anaknya yang tadi sebelum disusu anaknya telah dilap - lap oleh orang yang baru dikenalnya. Bahkan tangan Bardan tadi sempat menyentuh - nyentuh kantung susu milik si bayi. 
" Terima kasih dik. Sampean telah menolong saya. Saya tidak bisa membalas kebaikan sampean. Sebenarnya sampean ini siapa, dik ?" Sambil memindahkan mulut bayinya ke puting susu lainnya. " Saya Bardan, mbakyu." Bardan yang duduk agak jauh dari ibu dan bayinya  menjawab jujur. Bardan menatap ibu bayi dengan seksama. Mata Bardan yang tidak diterangi lampu sangat tidak kentara kalau sedang menatap dan mengawasi. Ibu bayi ini cantik. Muda layaknya perawan. Sebenarnya tidak sepatutnya dirinya menyebut ibu bayi ini dengan sebutan mbakyu. Bardan percaya kalau ibu bayi ini lebih muda beberapa tahun darinya. Hanya karena sudah punya suami Bardan memanggil dengan sebutan mbakyu. " Kang Diman suami mbakyu kemana ?" Bardan terus menatap wajah ibu bayi. Bardan melihat seraut wajah yang nampak bukan raut wajah orang kebanyakan. Berdan menangkap raut wajah yang cantik. Dan ada sesuatu yang membedakan dengan raut wajah orang kebanyakan. Ibu bayi tidak segera menjawab. Matanya mengarah ke Bardan yang duduk tidak diterangi lampu. Bardan melihat mata ibu bayi menitikkan air mata. Bibirnya tampak bergetar. Bardan mengerti ibu bayi ini sedih. Tetapi Bardan tidak bisa menerka mengapa Diman meninggalkan isterinya. Sampai - sampai saat isterinya melahirkan tidak ditungguinya. Siapa Diman ini sehingga tega meninggalkan isterinya yang ternyata cantik. Setelah beberapa saat terisak dan kembali ibu bayi bisa mengendalikan diri kalimatnya tertahannya muncul dan tetap dengan nada terbata - bata : " Namaku Sekarturi, dik Bardan. Aku  anak Demang Godean. Aku dan kang Diman melarikan diri dari kademangan Godean. Aku dan kang Diman sudah satu kata untuk hidup bersama. Tetapi Raden Tumenggung Suro Blasah menginginkan aku untuk dibawanya ke Kepatihan untuk dijadikan bedinde Walanda di tangsi." Kembali Sekarturi tidak bisa menahan tangisnya. Kali ini malah sesenggukan. Bardan terdiam. Giginya beradu gemeretak. Rasanya Bardan ingin segera lari ke Mataran menyari Tumenggung Suro Blasah dan menghajarnya. Memenggal kepalanya. Menyincang - nyincang tubuhnya. Tumenggung Suro Blasah tidak boleh dibiarkan. Tumenggung Suro Blasah harus dihabisi. " Tolong dik, bawa aku dan anakku kemana saja. Karena Kang Diman sudah tidak mungkin kembali ke rumah ini. Kang Diman telah dirangket oleh prajurit Kepatihan yang terus menyari. Untung saja aku bisa bersembunyi di tengah hutan bambu. Jika tidak aku juga pasti sudah ikut di rangket, dik Bardan. Tolong ... aku ... tolong dik Bardan." Kembali Sekarturi sesenggukan sambil memeluk bayinya yang belum punya nama. 

masih ada kelanjutannya ..................