Selasa, 03 September 2013

Candra Mawa 

                                                                                               edohaput 

14 

Bardan menyebarangi sungai Progo berjalan ke arah utara. Langkah Bardan menuju Gunungpring. Bardan tahu karena pernah singgah disana. Di lereng sisi timur Gunungpring, berada di tepian sungai Blongkeng, tinggal Ki Surojoyo. Ki Surojoyo adalah salah satu gurunya yang telah banyak mengajarkan ilmu jaya kawijayan terhadap dirinya. Ki Surojoyo juga salah satu pembantu setia dari Pangeran Diponegoro. Paska perang dan paska ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Belanda, Ki Surojoyo juga lari dari Mataram karena juga dikejar - kejar pasukan Belanda dan prajurit kepatihan. Ki Surojoyo kemudian bersembunyi di lereng Gunungpring di pinggiran sungai Blongkeng yang banyak ditutupi oleh pohon - pohon besar, di tengah rimbunnya pohon bambu dan dari Mataram sangat sulit dijangkau karena sebelum sampai di Gunungpring harus menerabas hutan Gunungsari. Sejak berada di Gunungpring Ki Surojoyo tidak pernah lagi ke Mataram. Ki Surojoyo sudah merasa aman dan tentram di Gunungpring. Ki Surijoyo berniat mendito, meninggalkan keduniawian dan ingin tentram sebagai manusia uzur yang ditunggu kubur. 
Langkah Bardan terhenti di dekat Candi Ngawen. Sekitar Bangunan Candi yang sebagian telah tertutup tanah pasir luapan dari Sungai Blongkeng yang berhulu dari gunung Merapi tampak sepi. Bangunan candi nampak tidak terawat. Disana - sini batu - batu candi runtuh. Arca - arca ambruk. Nampak candi sudah tidak lagi dipergunakan untuk kegiatan ritual keagamaan. Di sekitar candi hanya ada satu bangunan rumah kayu. Suara dari dalam rumah kayu itulah yang membuat langkah Bardan terhenti. Bardan mendengar erangan perempuan yang memanggil - manggil nama. Erangan sambil mengaduh semakin jelas di telinga Bardan. Bardan mendekati sumber suara. Bardan berada di depan pintu rumah. Bardan mengintip ke dalam. Dilihatnya oleh mata Bardan ada perempuan terlentang di lantai rumah dan hanya beralas tikar sedang berjuang untuk melahirkan anaknya. Dimana gerangan orang lain. Dimana pula suaminya. Sampai - sampai tidak menunggui isterinya yang sedang akan melahirkan anaknya. Bardan ragu. Akankah dirinya masuk ke rumah dan menolong perempuan yang sedang berjuang ini. Bisakah dirinya membantu orang yang akan melahirkan anak. Bardan mengambil keputusan masuk rumah. Setidaknya dirinya akan menemani perempuan ini. Begitu pintu terbuka dan Bardan nampak di mata perempuan ini : " Kang ... kang Diman ... aduh ... kang tolong kang ... sakit kang !" Tangan perempuan yang sedang menghadapi perjuangan ini menggapai - gapai. Bardan segera berjongkok di samping perempuan. Dan perempuan ini kaget karena orang yang disangkanya suaminya ternyata bukan. " Kang Diman suami mbakyu, ya ?" Bardan memegangi tangan perempuan ini. " Benar dik ... benar ... aduh dik sakit, tolong ! Sampean siapa ? Tolong ... aduh ... !" Perempuan ini semakin kuat mencengkeram tangan Bardan. Tanpa ragu Bardan segera mengendorkan kain yang meliliti perempuan ini. Bardan kemudian menekuk kedua lutut perempuan dan mengangkangkan pahanya. Mata Bardan bisa melihat perut perempuan sampai pada yang ada di antara kedua pahanya. Air ketuban yang telah pecah membasahi tikar. " Ambil napas panjang mbakyu, dan dorong kuat ! Ayo Yu dorong !" Bardan mengamati jalan yang akan dilewati bayi. Mulai membuka. Perempuan mengedan dan mengerang dengan keras. Bardan melihat kepala bayi mulai nongol. " Dorong lagi kuat -  kuat mbakyu . Dorong !" Bardan melihat tubuh bayi sudah keluar separo. Perempuan semakin mengedan. Dan Broool ... tubuh bayi lahir dari rahim ibunya diikuti keluarnya tali pusar dan ari - ari. Tangis bayi keras menutup erangan ibunya yang mendorongnya keluar. Bardan bingung apa yang akan dilakukan kemudian. Untung saja Bardan ingat cerita - cerita mboknya tentang kelahirannya. Tentang memotong tali pusarnya. Tanpa pikir panjang lagi Bardan segara menghunus pedang dari sarungnya dan memotong tali pusar si jabang bayi. Apalagi yang harus dilakukan. Kembali Bardan bingung. " Dik sampean tolong ambil air di sumur belakang rumah. Mandikan anakku." Lemah perempuan yang  telah lepas dari perjuangannya ini meminta Bardan. 
Bardan memandikan bayi. Menghangatkannya dengan kain. Mengangkat tubuh ibu bayi dan ditempatkan di amben. Membersihkan ibu bayi dengan air sumur. Memberikan bayi untuk dipeluk ibunya. Membungkus ari - ari. Menggulung tikar tempat ibu bayi melahirkan anaknya dan menanamnya di pekarangan rumah. 
Matahari segera akan turun dan hilang di balik perbukitan Menoreh. Tidak ada tanda - tanda orang datang. Bardan hanya bisa tertegun. Ternyata rumah kayu sebelah juga kosong. Suasana dalam rumah semakin gelap. Bardan menyulut lampu untuk menerangi ruangan. Ibu bayi menyusui. Bardan melihat lahapnya si bayi laki - laki lahap menyedot puting susu ibunya. Sang ibu tidak malu - malu membuka kantung susu anaknya yang tadi sebelum disusu anaknya telah dilap - lap oleh orang yang baru dikenalnya. Bahkan tangan Bardan tadi sempat menyentuh - nyentuh kantung susu milik si bayi. 
" Terima kasih dik. Sampean telah menolong saya. Saya tidak bisa membalas kebaikan sampean. Sebenarnya sampean ini siapa, dik ?" Sambil memindahkan mulut bayinya ke puting susu lainnya. " Saya Bardan, mbakyu." Bardan yang duduk agak jauh dari ibu dan bayinya  menjawab jujur. Bardan menatap ibu bayi dengan seksama. Mata Bardan yang tidak diterangi lampu sangat tidak kentara kalau sedang menatap dan mengawasi. Ibu bayi ini cantik. Muda layaknya perawan. Sebenarnya tidak sepatutnya dirinya menyebut ibu bayi ini dengan sebutan mbakyu. Bardan percaya kalau ibu bayi ini lebih muda beberapa tahun darinya. Hanya karena sudah punya suami Bardan memanggil dengan sebutan mbakyu. " Kang Diman suami mbakyu kemana ?" Bardan terus menatap wajah ibu bayi. Bardan melihat seraut wajah yang nampak bukan raut wajah orang kebanyakan. Berdan menangkap raut wajah yang cantik. Dan ada sesuatu yang membedakan dengan raut wajah orang kebanyakan. Ibu bayi tidak segera menjawab. Matanya mengarah ke Bardan yang duduk tidak diterangi lampu. Bardan melihat mata ibu bayi menitikkan air mata. Bibirnya tampak bergetar. Bardan mengerti ibu bayi ini sedih. Tetapi Bardan tidak bisa menerka mengapa Diman meninggalkan isterinya. Sampai - sampai saat isterinya melahirkan tidak ditungguinya. Siapa Diman ini sehingga tega meninggalkan isterinya yang ternyata cantik. Setelah beberapa saat terisak dan kembali ibu bayi bisa mengendalikan diri kalimatnya tertahannya muncul dan tetap dengan nada terbata - bata : " Namaku Sekarturi, dik Bardan. Aku  anak Demang Godean. Aku dan kang Diman melarikan diri dari kademangan Godean. Aku dan kang Diman sudah satu kata untuk hidup bersama. Tetapi Raden Tumenggung Suro Blasah menginginkan aku untuk dibawanya ke Kepatihan untuk dijadikan bedinde Walanda di tangsi." Kembali Sekarturi tidak bisa menahan tangisnya. Kali ini malah sesenggukan. Bardan terdiam. Giginya beradu gemeretak. Rasanya Bardan ingin segera lari ke Mataran menyari Tumenggung Suro Blasah dan menghajarnya. Memenggal kepalanya. Menyincang - nyincang tubuhnya. Tumenggung Suro Blasah tidak boleh dibiarkan. Tumenggung Suro Blasah harus dihabisi. " Tolong dik, bawa aku dan anakku kemana saja. Karena Kang Diman sudah tidak mungkin kembali ke rumah ini. Kang Diman telah dirangket oleh prajurit Kepatihan yang terus menyari. Untung saja aku bisa bersembunyi di tengah hutan bambu. Jika tidak aku juga pasti sudah ikut di rangket, dik Bardan. Tolong ... aku ... tolong dik Bardan." Kembali Sekarturi sesenggukan sambil memeluk bayinya yang belum punya nama. 

masih ada kelanjutannya ..................




Tidak ada komentar:

Posting Komentar