Kamis, 28 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                            edohaput 

28

Lereng Merapi. Sore. Gerimis kecil turun dari langit. Matahari tertutup mendung. Dingin. Sarminah ada di depan tungku mengatur api agar air yang dijerang segera mendidih. Sarminah tahu jika udara dingin seperti ini Ki Poleng pasti segera akan berteriak minta dibuatkan teh kental manis dan panas. Api tungku yang berkilat - kilat menyilaukan matanya tidak dihiraukan. Matanya seolah tidak melihat api. Yang ada di pelupuk matanya adalah Tilem yang sedang menggelinjang nikmat di pangkuan Ki Poleng yang sedang mempermainkannya. Suara rintihan dan desahan Tilem terdengar jelas dari dapur. Dan seperti biasanya Tilem tidak malu - malu mendesah keras jika sedang menyapai nikmat. Dari suaranya yang terus merintih dan mendesah - desah Sarminah bisa menduga jika Tilem lagi dipangku oleh Ki Poleng dan diraba - raba seluruh lekuk tubuhnya. Sore yang gerimis, dingin,  sangat menyenangkan jika berhangat - hangat dengan tubuh. Sarminah tidak ingin melihat yang sedang terjadi di ruang tengah pondok Ki Poleng. Bagi Sarminah suara - suara sudah cukup. Dan lebih baik pikirannya saja yang membayangkang seiring dengan munculnya suara. Jika suara desahan Tilem keras dan setengah menjerit, dapat dipastikan milik Tilem sedang digerayangi Ki Poleng. Dulu ketika dirinya masih muda juga sudah pernah mengalami hal yang serupa. Apa yang dilakukan Ki Poleng terhadap Tilem sekarang pasti seperti ketika mempermainkan dirinya di waktu dulu. Kini karena dirinya sudah tidak lagi muda Ki Poleng tidak lagi suka dengan dirinya. Hanya ketika dirinya ingin Ki Poleng juga pasti memberinya. Tetapi tidak seperti dulu yang berlama - lama. Ki Poleng hanya sekedar memuaskan dirinya saja. 
Terdorong oleh rasa ingin segera bertemu dengan gurunya dan melaporkan kejadian yang membuat dirinya malu ketika dengan mudah dikalahkan oleh Nyi Tambi,  Tumenggung Suro Blasah tanpa permisi langsung membuka pintu pondok Ki Poleng. Kecuali pondok Ki Poleng adalah tempat yang sudah tidak asing lagi bagi dirinya, dan juga Suro Blasah sudah menganggap pondok Ki Poleng adalah rumah sendiri, maka tidak ragu - ragu Suro Blasah langsung menuju ruang tengah. Kedatangan Suro Blasah yang tiba - tiba sejenak membuat Ki Poleng kaget. Tangannya yang sedang berada di balik kain bawah Tilem ditariknya keluar. Tilem pun nampak kaget melihat Suro Blasah yang sudah tidak asing lagi di matanya. Kekagetan Tilem hanya sejenak. Dan segera kembali melendot di dada Ki Poleng yang memangkunya. Hanya sekilas dipandangnya Suro Blasah dan tanpa menyapanya. Begitu Juga Ki Poleng hanya sekejap saja kekagetannya atas kedatangan Suro Blasah. Kegiatannya dengan Tilempun segera diteruskan. Suro Blasah kemudian duduk di bawah beralas tikar dan matanya sesekali melirik sesuatu yang terjadi di depan matanya. Gurunya yang sudah tua. Berambut panjang beruban dan berjanggut putih. Dengan gigi - giginya yang hitam karena banyak makan sirih, sedang memangku perawan belia. Tilem. Tilem adalah keponakan Sarminah yang telah ditinggal mati kedua orang tuannya yang hanyut oleh lahar Merapi. Tilem kemudian mengikuti Sarminah mengabdi di Pondok Ki Poleng. Tilem  masih sangat belia, belum selayaknya diperlakukan demikian oleh Ki Poleng. Tetapi karena ternyata Tilem menikmati apa yang diperbuat Ki Poleng maka Sarminah membiarkannya. Mata Suro Blasah dengan sangat jelas bisa melihat kain atas Tilem yang sudah tidak sempurna terkenakan. Pundaknya telah tidak tertutup. Dan sebagia payudaranya yang masih kecil nampak sedikit menyembul dan sedang di genggam Ki Poleng. Dan remasan jari - jemari Ki Poleng membuat Tilem Mengejang - ngejangkan kakinya. " Tumben kau datang dengan tergopoh - gopoh, Blasah ... ada apa ?" Sambil menyapa Suro Blasah demikian, tangan Ki Poleng bergerak turun masuk di kain bawah Tilem yang sudah sangat kendor. Sebentar kemudian Tilem tambah mengejang sambil mendesah dan kedua tangannya merangkul leher Ki Poleng. Suro Blasah tidak segera menjawab yang ditanyakan Ki poleng. Malah pikirannya membayangkan tangan dan jari - jari Ki Poleng yang ada di balik kain bawah Tilem. Mulut Suro Blasah menjadi tersekat. Tombaknya menggeliat. Dan Suro Blasah memperbaiki posisi duduknya untuk memberi kesempatan tombak memuai. " Guru, aku benar - benar dipermalukan Nyi Tambi. Tidak aku kira jika perempuan tua itu sangat gesit, tidak bisa digerayang. Baru kali ini aku dipermalukan perempuan, guru. Hatiku sungguh sakit." Suro Blasah terbata - bata menyampaikan kalimat ini. Bukan karena terbata - bata oleh rasa sakit hati dan dendamnya, melainkan napasnya yang memburu menyekat tenggorokannya karena melihat gurunya membukai kain yang menutupi dada Tilem dan menempatkan mulutnya yang berkumis putih tepat di gundukkan dada Tilem. Dan Tilem meronta - ronta, tetapi tetap sambil menyedia - menyediakan buah dadanya disedot - sedot. Suara desahan Tilem seolah menindih suaranya yang terputus - putus. Tiba - tiba Ki Poleng menghentikan kegiatannya. " Sudah lama aku mendengar kalau Poyah ada di Tambi, Blasah. Pantas saja dia bisa mempermalukanmu. Dia bukan tandinganmu, Suro ... Poyah ... Poyah ... " Mengahkiri kalimatnya Kin poleng kembali mendekatkan mulutnya di dada Tilem yang memang sudah menunggu diperbuat. Tilem kembali mendesah, menggelijang dan meronta serta mengejangkan kakinya. Ciuman dan gigitan Ki Poleng di gundukan gunung kembar milik Tilem semakin menjadi. Dan tangan Ki Poleng yang ada di balik kain bawah Tilempun rupanya berkegiatan. Kain bawah Tilem yang sudah sangat kendor tiba - tiba terlepas dan terbuka. Suro Blasah bisa melihat Tilem telanjang bawah. Dan tangan Ki poleng ada di selangkangan Tilem. " Dan yang membuat aku sakit hati sebenarnya bukan karena aku dipermalukan guru, tetapi kata - kata Nyi Tambi yang menyumpahi. Jangankan kamu Blasah ... gurumu saja belum tentu bisa mengalahkan aku." Suro Blasah berbohong. Maksud kata - katanya ini adalah agar gurunya marah dan satu saat melabrak ke Tambi. Mendengar kalimat Suro Blasah ini, tiba - tiba wajah Ki Poleng mendongak menatap tajam ke arah Suro Blasah. Mukanya memerah, matanya melotot. Dan giginya gemeretak. Diangkatnya tubuh mungil Tilem dan dibawanya pergi meninggalkan Suro Blasah yang duduknya tidak tenang karena tombaknya memuai besar. Oleh Ki Poleng Tilem dibawa ke kamar di balik ruang tengah dimana Suro Blasah duduk. Yang terdengar kemudian suara kerengket dan derak ranjang bambu, dan desahan Tilem yang tidak berhenti dan lama - lama menjadi semakin keras. 
Sarminah masuk ke ruang tengah membawa minuman. Sarminah yang kain bawahnya tidak menutupi betisnya dilihat Suro Blasah yang pikirannya sudah sangat kacau. Begitu selesai menaruh minuman di meja Ki Poleng, tubuh Sarminah segera ditarik tangan Suro Blasah. Dan tanpa ampun segera dipeluk dan di gerayangi. " Aduh den ... den Tumenggung ini kenapa ?" Sarminah yang sedari tadi juga sudah terpengarus desahan Tilem, tidak bisa lain kecuali menerima apa yang diperbuat Suro Blasah. Dan tidak baru kali ini saja Suro Blasah meperlakukan dirinya begini. Dulu sudah sangat sering dirinya dan Suro Blasah sembunyi - sembunyi melakukannya jika Ki poleng sedang tidak berada di tempat. Bahkan Sarminah menjadi sangat merindukan jika sang murid Ki Poleng yang satu ini lama tidak mengganggunya. Sarminah menjadi sangat merindukan perlakuan kasar Suro Blasah, ketika Suro Blasah turun gunung dan jarang datang ke lereng Merapi. Sarminah menjadi sering bermimpi digumuli Suro Blasah. Sore ini yang dihiasi gerimis,  dingin kekes, dan basah, Sarminah menemukan yang lama dirindukannya.  Sarminah yang menyediakan dirinyapun segera terlucuti kainnya. Dan keduanya segera berguling - guling di lantai beralas tikar. Suara gaduhpun terdengar dari kamar ki Poleng dan dari ruang tengah dimana Sarminah sedang diperbuat oleh Suro Blasah dengan penuh gelegak.

masih ada kelanjutannya ...........


Selasa, 26 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                               edohaput

 27

Para prajurit dengan pedang tetap terhunus membuat lingkaran mengitari Tumenggung Suro Blasah dan Nyi Tambi. Suro Blasah dengan pedang besar di tangan bersiap untuk membuat Nyi Tambi tidak berdaya. " Baik saudara - saudaraku ... ! Jika aku kalah melawan Tumenggungmu, aku dan Ki Tambi bersedia dirangket. Sebaliknya jika Suro Blasah Tumenggung kalian ini kalah, Kalian harus segera meninggalkan Tambi dan tidak akan lagi mengganggu kehidupan di Tambi. Bagaimana Suro ? Kamu menerima ini ?" mengucapkan ini Nyi Tambi sambil terus menatap tajam Suro Blasah. Nyi Tambi kawatir Tumenggung Suro Blasah akan menyerangnya dengan pedang dengan tiba - tiba sebelum dirinya siap. " Omonganmu tidak berarti bagi aku perempuan gaek ! Hari ini aku mau merangketmu dan membawa kalian ke Mataram untuk dihukum, karena anakmu selalu membuat onar di Mataram ...!" Berkata demikian Suro Blasah sambil menggerak - gerakkan pedangnya dan kakinya bersiap menjejak tanah untuk menyerang Nyi Tambi. Melihat gelagat ini Nyi Tambipun bersiap menerima serangan yang bakal datang. Benar ... tiba - tiba Suro Blasah menjejak tanah tubuhnya segera terlempar ke depan ke arah Nyi Tambi sambil mengayunkan pedang mengarah ke leher Nyi Tambi. Dengan gesit Nyi Tambi surut selangkah ke belakang dan menundukkan kepalanya. Pedang besar tajam Suro Blasah mengenai ruang kosong di atas kepala dan membelah udara menimbulkan suara berdesis. Karena pedangnya yang diayun dengan penuh tenaga kemarahan hanya mengenai ruang kosong membuat tubuh Suro Blasah yang tinggi besar menjadi membungkuk. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Nyi Tambi dengan mengangkat kaki kanan dan dijejakkan tepat di dada Suro Blasah. Dengan kekuatan penuh tumit Nyi Tambi mendorong dada Suro Blasah dengan kuat. Suro Blasah yang tidak mengira Nyi Tambi akan menendangnya kaget dadanya terkena sodokan tumit Nyi Tambi dengan kuat. Suro blasah limbung dan terjerembap di tanah. Dadanya terasa sesak. Malu untuk berlama - lama terjerembab di tanah, walaupun nyeri di dadanya sangat terasa Suro Blasah segera bangun. Melompat dan dengan kekuatan penuh pedangnya di ayun ke arah perut Nyi Tambi. Suro Blasa memperkirakan jika Nyi Tambi menghindari pedangnya dengan membungkuk lagi justru kepalanyalah yang akan kena pedangnya. Dan kepala Nyi Tambi akan terbelah. Dugaan Suro Blasah salah. Melihat pedang Suro Blasah datang ke arah perut, Nyi Tambi dengan ringannya melenting ke atas laksana terbang di udara. Pedang Suro Blasah bersiut lewat di bawah kakinya yang sedang mengambang di udara. Tubuh Suro Blasah yang dengan tenaga penuh mengayun pedang lagi - lagi menjadi terhuyung karena pedangnya hanya membelah udara. Nyi Tambi tidak menyia - nyiakan kakinya yang berada dekat dengan kepala Suro Blasah. Kembali tumit kakinya menjejak, dan kali ini mengenai pelipis kepala Suro Blasah. Suro Blasah limbung dan jatuh di tanah. Kepala terasa sangat pusing. Padangan matanya berkunang - kunang. Rasa pusing di kepalanya dan matanya yang berkunang dikalahkan oleh rasa marah dan rasa malu dengan mudah dipencundangi oleh Nyi Tambi. Kepalanya yang masih sangat pusing dan matanya yang berkunang - kunang dibawanya bangkit dan dengan membabi buta diayun - ayun, ditebas - tebaskannya, serta ditusuk - tusukkannya ke arah tubuh Nyi Tambi. Semua luput. Kecuali karena ngawur juga karena Nyi Tambi terus berkelit dengan gesit dan ringan. Sampai ahkirnya pedang Suro Blasah berpindah di tangan Nyi Tambi dan sekali lagi Suro Blasah bisa kena tendangan kaki Nyi Tambi. Dan tendangan terahkir Nyi Tambi mengenai dagu suro blasah. Membuat Suro Blasah terpental dan jatuh di tanah tidak bisa bangun lagi. Dengan tenang Nyi Tambi memndekati tubuh Suro Blasah yang terlentang jrebabah di tanah halaman pendopo pondok Nyi Tambi. Pedang di tangan Nyim Tambi di sodokkan di leher Suro Blasah. " Saudara - saudaraku para prajurit ! Apakah selayaknya saya menghabisi nyawa Suro Blasah ini ?" Kalimat Nyi Tambi ini didengar semua prajurit. " Jangan Nyi ... ampuni ... Ampuni Tumenggung kami Nyi ...!" Teriak salah satu prajurit, yang kemudian disusul suara gaduh. " Benar ...Nyi ... ampuni kami ... kami akan segera pergi. Ampuni Tumenggung Suro Blasah Nyi ... Maafkan Nyi ... Kami sudah merasa kalah ...!" Teriak para prajurit sambil menyarungkan pedang - pedang mereka di pinggang. Para Prajurit segera memapah tubuh Suro Blasah dan menaikkannya di atas punggung kuda. Dengan segera para prajurit segera memacu kuda - kuda mereka meninggalkan pondok Tambi. Bersamaan dengan ini tiba - tiba ada suara sorak - sorai dari para warga Tambi yang sejak dari tadi melihat peristiwa di halaman pondok dari balik  semak - semak yang ada di dekat halaman pondok Tambi. " Hidup Nyi Tambi ... hidup Nyi Tambi ... Hidup Nyi Tambi ... " Teriak warga sambil muncul dari balik semak - semak. 
Jambul dan para cantrik perjaka dan para cantrik perawan berlarian mendapati Nyi Tambi yang masih berdiri menyaksikan kepergian para prajurit yang membawa Suro Blasah pergi. Pini cantrik perawan pacar Jambul berlari di belakang jambul. Kain bawahnya di angkat tinggi - tinggi sehingga pahanya  bisa dilihat orang dengan jelas. Begitu juga yang dilakukan para cantrik perawan. Yang dilakukan oleh para cantrik perawan menjadi pemandangan indah orang - orang. Para cantrik kemudian mengikuti langkah Nyi dan Ki Tambi menuju pendopo. 
Lain lagi yang ada di pikiran jambul. Di benak Jambul terbayang Daruni. Alangkah senangnya Daruni jika dia ikut menyaksikan peristiwa tadi. Sayangnya Daruni tidak ada. Tiba - tiba rasa cemburunya menyesak di dada. Sedang apa Daruni sekarang. Pergi bersama Bardan. Sedang diapakan Daruni sekarang oleh Bardan. Terbayang pula di benak jambul, Daruni sedang berada di hutan yang sepi bersama Bardan. Daruni sedang peluk Bardan. Di atas rumputan yang terhampar di pinggir hutan Daruni sedang ditindih Bardan. Kain - kain Daruni satu - satu dilucuti Bardan. Daruni malah pasrah dan keduanya segera bergumul di atas rumputan beralas kain yang telah lepas dari tubuh Daruni. Membayangkan ini Jambul menjadi panas hati. Dadanya bagai terbakar bara. Matanya berkaca - kaca dan napasnya memburu. Giginya bergemeretak dan mulutnya berkomat - kamit. " Kang ... ayo kang ... sudah aman ... ayo kang !" Tangan Pini menarik tangan Jambul. Lamunan Jambul jadi membuyar. Jambul tidak sadar ketika tangannya terus ditarik Pini dan langkahnya berahkir di kamar Pini. " Kang ... ayo kang ... aku kepingin ... " Tangan Pini nakal menggerayangi milik Jambul. 

masih ada kelanjutannya ..............

Senin, 25 November 2013

Candra Mawa

                                                                                           edohaput

26

Pagi belum sempurna Tambi digegerkan oleh gemuruhnya suara lari kuda di jalanan. Orang - orang hanya bisa kaget dan melongo menyaksikan para prajurit penunggang kuda memacu kuda tunggangannya menuju pondok Tambi. Orang - orang yang berani menghentikan kegiatan di ladangnya dan segera berlari mengikuti kuda - kedu yang berpacu meninggalkan debu.
Sebentar kemudian pondok Nyi Tambi telah terkepung prajurit kepatihan dan prajurit kademangan Sawang Argo. Suasana menjadi sepi. Hanya satu - satu ringkikan kuda yang memecah kesunyian. Pondok Nyi Tambi bagai tidak ada kehidupan. Pendopo sepi. Rumah belakang tidak ada suara. Rumah samping begitu juga. Tumenggung Suro Blasah turun dari punggung kuda dan berjalan mendekati pendopo pondok. Ditatapnya pintu rumah induk di belakang pendopo yang terbuka lebar. Suro Blasah dengan gagahnya menaiki tangga pendopo. Mata tajamnya memperhatikan sekeliling. Sepi. Mengapa sunyi. Menurut cerita pondok Nyi Tambi selalu ramai. Banyak didatangi orang. Banyak cantrik - cantrik melayani pasien. Benarkah pondok sepi. Bersembunyikah mereka. Mengapa pintu sengaja dibuka lebar - lebar. Benarkah hari ini pondok tidak ada kegiatan. Tumenggung Suro Blasah mulai curiga.  Tumenggung Suro Blasah yang sudah tidak sabar untuk bisa melihat dan menangkap Daruni menjadi gusar. " Nyi Tambi ... ! Keluar kau ... !" Dengan urakan sekali Suro Blasah berteriak. Tidak ada sambutan sama sekali. " Ki Tambi .... Nyi Tambi ... keluar kalian ...kalau tidak akan aku robohkan pondok ini ... !" Suro Blasah semakin urakan. " Demange ... !" Suro Blasah mata melotot ke arah Demang Sawang Argo yang masih ada di punggung kuda. " Geledah pondok ini !" Tangan Suro Blasah menunjuk - nunjuk ke arah pintu rumah induk yang terbuka lebar. Demang Sawang Argo segera melompat turun dari kuda dan berlari ke arah pendopo di mana Suro Blasah berdiri. Rasa ayem menyelimuti hati Demang Sawang Argo. Pondok sepi. Berarti Legiman telah berhasil menyampaikan berita kepada Nyi Tambi. Ini artinya Daruni juga sudah dibawa Legiman jauh dari pondok. Daruni akan selamat dari cengkeraman Suro Blasah yang akan menyiksanya. Dalam hati Demang Sawang Argo tertawa gembira. Begitu kaki Demang Sawang Argo menginjak tangga pertama pendopo Tambi, muncul dari pintu yang terbuka lebar Nyi Tambi diikuti Ki Tambi di belakangnya. Langkahnya tenang mendekati Suro Blasah yang berdiri berkacak pinggang. Nyi Tambi yang biasanya berkain dan berkebaya dengan rambut di konde, muncul dengan celana dengan kain dililitkan di pinggang. Kepala diikat dengan ikat kepala agar rambut tidak terurai. Nyi Tambi nampak sebagai prajurit wanita yang siap berlaga. Begitu juga Ki tambi yang biasa berkain dan bagian tubuh atas selalu ditutup kain takuwo, kini muncul dengan celana dengan kain dililitkan di pinggang dan tubuh bagian atas dibiarkan telanjang. Ki Tambi bak petani yang mau turun ke sawah. Tonjolan otot - otot di bawah kulit tuanya nampak sangat nyata. Dengan begini Ki Tambi malah tampak sebagai orang tua yang kekar dan kokoh. Suro Blasah terkesima dengan pemandangan di depannya. Ternyata Nyi dan Ki Tambi sudah siap menghadapinya. Mengapa bisa begini. Seharusnya mereka terkejut dan minta ampun. Bukan malah menyambutnya dengan kain yang melambangkan siap melawan. Mengapa bisa begini. Apakah Nyi Tambi telah tahu akan kedatangannya. Suro Blasah menjadi semakin gusar. Bayangan Daruni yang cantik dan ketakutan ketika dirinya datang tidak terjadi. Rasa inginnya segera mencengkeram Daruni, menaikkan di punggung kudanya dan membawanya lari sambil meremas apa saja yang ada di tubuh Daruni, membuat Suro Blasah kehilangan akal. Pikirannya yang sudah membayangkan Daruni akan dibuka kainnya ketika di atas punggung kuda bersama dirinya. Dan menggerayangi tubuh Daruni di atas punggung kuda yang terus dipacu. Dan Daruni akan dibuatnya pingsan sehingga dengan mudah dirinya menggerayangi lekuk - lekuk tubuh Daruni walau di atas kuda yang lari kencang. Pikirannya ini membuat dirinya menjadi semakin ngawur. " Demange ... geledah pondok ! Cari anakmu ... dan bawa keluar ... !" Tangan Suro Blasah mendorong tubuh Demang Sawang Argo agar masuk ke rumah induk. Demang Sawang Argo yang tubuhnya terdorong ke depan, terhenti ketika tangan Nyi Tambi memberi tandan berhenti. " Jangan lakukan ! ... Jadi kamu Demang Sawang Argo ? ... Ki Demang anakmu sudah tidak berada di pondok ini. Daruni sudah bersama Bardan anakku. Jadi jangan kawatir Daruni akan selamat dari kejahatan ... !" Mengahkiri kalimat ini Nyi Tambi melirik ke Suro Blasah yang sangat kaget. Daruni sudah di bawa Bardan. Bardan lagi. Bardan lagi. Bibir Suro Blasah menjadi bergetar. Amarahnya membuat muka yang sudah merah menjadi semakin merah padam. Bertolak belakang dengan perasaan Demang Sawang Argo menjadi sangat tentram dan ayem. Daruni anaknya berada di tangan orang yang baik.
Suro Blasah yang menjadi sangat tersinggung dengan ucapan terahkir Nyi Tambi menjadi sangat marah. " Prajurit ... rangket Nyi Tambi ... !" Perintah Tumenggung Suro Blasah kepada para prajurit. Dengan sigap para prajurit berlompatan turun dari kuda - kuda tunggangannya dan segera menghunus pedang dang berlari ke arah pendopo dimana Ki dan Nyi Tambi berada. Lagi - lagi tangan Nyi Tambi menghentikan langkah - langkah gegas para prajurit. " Jangan lakukan ... ! ... Silahkan rangket aku dan Ki Tambi. Kalau memang Tumenggungmu ini bisa mengalahkan aku. Aku ingin Tumenggung kalian ini mengalahkan aku. Aku kira itu cukup adil. Begitu bukan Suro Blasah yang gagah berani ?" Kalimat Nyi Tambi ini membuat langkah gegas para prajurit terhenti dan surut mundur. " Bagaimana Suro Blasah ... ha ... !?" Nyi Tambi mengucapkan kalimat ini dengan tersenyum lebar. Suro Blasah yang tidak membayangkan ini bakal terjadi menjadi sangat kaget. Malu rasanya jika dirinya tidak menerima tantangan Nyi Tambi ini. Dimana mukanya mau ditaruh di depan para prajurit jika dirinya menolak tantangan Nyi Tambi. Apalagi Nyi Tambi adalah perempuan tua yang pada umumnya sudah menjadi rapuh. Walaupun di dalam hatinya ragu dan ada rasa kecut,  dengan galaknya diterimanya tantangan Nyi Tambi. " Perempuan tua tidak tahu diri ... apa yang kamu banggakan ... !?" Bentak Suro Blasah dibuat - buat untuk menurunkan keberanian Nyi Tambi. " Silahkan turun ke halaman Tumenggung urakan ... Aku ingin tahu seberapa kesombonganmu ... !" Nyi Tambi minta Suro Blasah turun dari pendopo menuju halaman pondok Tambi yang luas. 

masih ada kelanjutannya .............


Rabu, 13 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                              edohaput 


25

setelah sesiang Bardan memacu kudanya tanpa berhenti,  melewati jalan - jalan pedusunan yang sepi, karena tidak ingin bertemu dengan rombongan prajurit kepatihan yang telah lebih dulu berangkat dari Mataram, Bardan sampai di Tambi. Bardan memperlambat laju lari kudanya. Bardan sempat tertegun. Ternyata di Tambi tidak ada sesuatu yang istimewa. Di kiri kanan jalan menuju Tambi orang dengan tenang bekerja di tegalan. Tidak ada suasana mencurigakan. Bardan berpikir, pasukan dari Kepatihan belum masuk Tambi. Mengalir rasa tentram di perasaan Bardan. Bardan menghentikan kudanya dan turun dari pelana, memberi kesempatan kudanya minum dan menikmati rumput segar di pinggir jalan. Sengaja Bardan tidak segera memasuki desa Tambi. Sambil duduk di pinggir jalan mengawasi kudanya makan, Bardan mengamati suasana desa. Setelah yakin di desa tidak ada terjadi sesuatu, kembali Bardan berada di punggung kudanya dan berjalan memasuki desa. Bardan yang tidak mengenakan kain keprajuritan Kepangeranan, melainkan hanya mengenakan kain layaknya orang pedusunan lagi kepalanya ditutup dengan caping, kedatangannya di Tambi tidak mengundang perhatian warga. 
Di Pondok Tambi Daruni sedang sibuk dengan para pasien yang datang berobat. Daruni yang sibuk membuat tidak perhatian terhadap dirinya. Kain bawahnya yang banyak tersingkap karena banyak berjalan kesana kemari membuat pahanya yang bersih putih terlihat oleh mata orang yang di dekatnya. Untung saja yang berada dekat  Daruni adalah para pasien yang sedang menderita sakit. Seandainya yang di dekat orang - orang yang sedang sehat pasti akan memelototi tanpa berkedip paha Daruni. Juga kancing baju di bagian dada yang terlepas tidak diperhatikan oleh Daruni. Ini membuat keranuman payudara Daruni bisa diintip orang tatkala Daruni membungkuk. Pipi Daruni yang kemerah - merahan karena banyak bergerak menjadikan kecantikan Daruni di siang ini nampak sempurna. Tidak ada orang memperhatikan ini kecuali Jambul yang sedari saat Daruni sibuk selalu menyuri pandang. Jambul yang diminta Daruni membantunya melayani pasien hanya bisa terus deg degan. Jantung berdegup. Napasanya berdebur. Jambul menjadi tidak konsentrasi dan banyak melakukan kesalahan. Diminta membantu mengambil air hangat yang diambil pisau dapur. Diminta menyiapkan tikar untuk pasien berbaring yang disiapkan air dalam panci. Ini membuat Daruni marah. Kemarahan Daruni tidak membuat Jambul kecut, melainkan malah membuat Jambul semakin terpesona. Karena mulut mungil Daruni yang cemberut, dan pipi merah saat marah, serta mata bulat yang semakin membelalak membuat Daruni menjadi semakin nampak cantik saja. Jambul cantrik perjaka yang sudah menjalin cinta dengan Pini cantrik perawan paling cantik di pondok Tambi sejak kedatangan Daruni di pondok matanya tidak pernah mau lepas memandangi Daruni. 
" Mbok, orang itu menderita sesak napas, deg degan jantungnya pelan, kakinya bengkak - bengkak dan wajahnya pucat, dan matanya membasah." Dengan setengah membungkuk Daruni menyampaikan kalimat ini kepada Nyi Tambi yang juga sedang sibuk dengan pasien. Tanpa menoleh ke arah Daruni Nyi Tambi memberitahukan ramuan apa yang mesti diberikan kepada pasien. " Berikan ramuan serbuk benalu mangga, dan serbuk kulit kayu cemara dengan takaran lebih dan campurkan dengan serbuk biji pandan segara dengan takaran biasa. Sedu dengan madu bunga mawar dan air hangat." Sekejap saja Nyi Tambi melirik ke arah Daruni. Sempurna kecantikanmu Daruni. Setiap kali matannya menatap Daruni, Nyi Tambi tidak bisa tidak mengakui kecantikan Daruni yang begitu sempurna. Nyi Tambi bahkan pernah berpikir Daruni adalah bidadari yang sedang didekatkan kepada dirinya. Tanpa menunggu perintah agar dirinya segera pergi menyiapkan ramuan, Daruni segera membalikkan tubuh dan meninggalkan Nyi Tambi. Melangkah dengan tergesa menuju kamar obat, diikuti jambul yang Jambul yang melangkah tergopoh sambil hidungnya menyari - nyari bau wangi tubuh Daruni.
Matahari sudah miring ke barat. Cahayanya tidak lagi menyengat. Sinarnya yang menerobosi rimbunnya daun pepohonan jatuh di halaman pondok Nyi Tambi yang mulai sepi karena pasien yang telah terlayani meninggalkan pendopo pondok. Bardan yang tidak melepas capingnya, menuntun kudanya menuju pondok bagia belakang. Kedatangan Bardan tidak menarik perhatian orang - orang yang ada di pendopo pondok. Orang mengira Bardan adalah juga pasien yang baru datang. Sebentar kemudian terdengar suara gaduh dari rumah pondok belakang. Para cantrik perawan dan para cantrik perjaka ribut saling berteriak. " Den mas Bardan pulang ! Den mas Bardan pulang ! Nyi ... Ki ... Den mas Bardan pulang !" Suara gaduh ini didengar Daruni yang sedang berbenah diri sehabis mandi sore. Daruni menghentikan kegiatan dan telingannya di pasang untuk mendengarkan suara gaduh. Apa yang didengarnya tidak dipercaya oleh pikirannya. Kang Bardan pulang ? Daruni tidak bisa percaya. Tetapi suara gaduh semakin jelas. Daruni menjadi percaya. Daruni percaya kemudian berjingkrak. Kang Bardan pulang. Tanpa meperhatikan kainnya yang dikenakan belum sempurna Daruni segera keluar dari kamar. Dilihatnya oleh matanya yang berada pada antara percaya dan tidak Bardan sedang dikerumuni para cantrik. Daruni menjadi tidak sabar dibawanya tubuhnya berlari dan segera tanpa malu - malu ditubruknya tubuh Bardan. Daruni tidak bisa berkata - kata hanya air mata kegembiraannya yang tampak meleleh di pipinya. Mulutnya yang mungil tersenyum lebar menampakkan barisan giginya yang rapi. Daruni memeluk tubuh Bardan seolah tidak mau lepas. Menyaksikan tingkah Daruni, Jambul memberengut perasaannya tiba - tiba dialiri api yang membara membuat panas di dadanya. Pini cantrik perawan pacar Jambul tersenyum geli melihat Jambul memberengut cemburu. Pini bisa membayangkan betapa panas hatinya Jambul. Pini sangat gembira dengan kedatangan den mas Bardan. Karena dengan kedatangan den mas Bardan, Jambul pacarnya tidak akan lagi berusaha terus mendekati Daruni dan melupakan dirinya. 
Suasana rumah tengah yang merupakan rumah induk pondok tiba - tiba mencekam. Kecuali roman muka Nyi dan Ki Tambi yang tetap tenang, wajah - wajah tegang para cantrik sangat nampak pada hari menjelang petang ini. Tidak terkecuali wajah cantik Daruni yang berubah menjadi wajah yang menggambar kecemasan perasaannya. Selesai menuturkan akan datangnya para prajurit dari kepatihan yang akan merangket Nyi dan Ki Tambi Bardan yang duduk menghadap mbok dan bapaknya,  disampingnya duduk bersimpuh Daruni, dan di deretan belakangnya duduk para cantrik yang wajahnya hanya bisa menunduk, kemudian diam menunggu perintah dari mbok dan bapaknya. Setelah beberapa saat menjadi sunyi karena masing - masing diam. Dan di pikiran berkecamuk membayangkan apa yang bakal terjadi jika para prajurit kepatihan benar - benar datang. " Baik ... ! Bardan, Runi dan para cantrik. Dengarkan, camkan dan laksanakan !" Suara Nyi Tambi memecah keheningan. Suara Nyi Tambi yang terdengar begitu asing di telainga para cantrik. Nyi Tambi tidak pernah bersuara demikian. " Bardan ... Kamu bawa pergi Daruni. Aku percaya kamu bisa ! Jangan cemaskan bapa dan biyungmu ini. Pergilah menjauh dari pondok ! Kamu Jambul dan para cantrik ! Layani para pasien di rumah kalian. Jangan ada orang di pondok ini. Laksanakan sekarang jangan menunggu malam tiba !" Selesai dengan kalimat yang mencengangkan semua yang ada di ruang tengah pondok Tambi ini, Nyi Tambi berdiri dan berjalan menuju kamar diikuti langkah Ki Tambi di belakangnya. 
" Kang ... " Suara Daruni terdengar memelas. " Bungkus kainmu secukupnya. Kita segera pergi, Runi !" Bardan membimbing Daruni ke kamarnya agar segera membungkus beberapa kain. Jambul dan para cantrik segera terlibat dengan kesibukkannya untuk meninggalkan pondok. Pasien yang dirawat inap dipindahkan ke rumah jambul yang hanya berjarak beberapa ratus langkah dari pondok. Tidak ada kata, tidak ada bicara para cantrik sibuk bekerja. Di antara kesibukannya Jambul masih sempat panas hati ketika melihat Daruni dan Bardan di punggung kuda dan segera meninggalkan pondok. Jambul masih sempat melongo ketika disaksikannya di atas punggung kuda Daruni memeluk erat Bardan yang segera menarik kendali untuk memacu lari kudanya. 
Malam telah membuat halaman pondok Nyi Tambi gelap. Pondok begitu sepi setelah ditinggalkan para cantrik. Kedatangan Legiman disambut Nyi dan Ki Tambi di pendopo yang hanya diterangi cahaya redup lampu minyak. Legiman tanpa menunggu napasnya yang masih agak tersengal karena seharian di punggung kuda yang dipacu cepat segera menuturkan maksud kedatangannya. Memberitahu Nyi dan Ki Tambi tentang esuk akan datang prajurit kepatihan yang akan merangket Ki dan Nyi Tambi,  dan membawa Daruni ke kepatihan. Legiman meminta Nyi dan Ki Tambi mengijinkan Daruni akan dibawanya pergi untuk diselamatkan dari kekejaman Tumenggung Suro Blasah. " Trimakasih nak Legiman telah bersusah payah, jauh - jauh dari Sawang Argo datang ke Tambi. Yang benar kami sudah tahu semua. Dan Daruni sudah diungsikan oleh Bardan. Nak Legiman tidak perlu kawatir. Daruni sudah berada di tangan orang yang bisa melindunginya. Saranku saja nak Legiman ... Nak Legiman malam ini juga harus meninggalkan Tambi. Jika tidak nak Legiman akan menemui celaka, jika nanti ada yang tahu nak Legiman mengkhianti Tumenggung Suro Blasah." Mendengar tuturan Nyi Tambi ini Legiman menjadi sangat kecewa. Jasa baiknya kepada Nyi dan Ki Tambi menjadi tidak berharga. Kekecewaan yang berlebih - lebih adalah karena dirinya tidak bisa bersama Daruni. Sudah terbayangkan sebelumnya Daruni akan dibawa pergi jauh dari pondok. Juga jauh dari Sawang Argo. Legiman berketetapan membawa Daruni sampai ke ujung dunia dimana tidak ada lagi nama Suro Blasah. Tidak ada lagi ancaman - ancaman dari Mataram. Legiman akan membawa Daruni ke sebuah tempat yang sunyi dan menentramkan. Darunim akan dibahagiakannya. Legiman sudah berangan - angan Daruni akan sangat berterima kasih terhadap dirinya yang bisa menyelamatkan dari kekejaman Suro Blasah. Ahkirnya Daruni mau dan rela dicumbunya. Legiman akan berpuas - puas menciumi bibir mungil Daruni. Dirinya akan berpuas - puas memeluk - meluk tubuh lunglai yang pasrah untuk diperbuat apa saja. Dirinya akan terus dan terus mencumbu Daruni yang sangat dirindukan. Yang sangat disukainya. Daruni yang selalu terbayang di pelupuk matanya. Ranum dadanya, mulus kaki panjangnya, wangi rambutnya yang lepas terurai. Daruni yang hari ini membuatnya semplah, kecewa dan putus asa.

masih ada kelanjutannya .......................




Senin, 04 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                             edohaput 


24

Matahari mulai meninggi. Orang - orang sudah sibuk dengan pekerjaan masing - masing. Giyem yang setengah berlari dari rumah dengan menaikkan kain setinggi paha agar bisa mempercepat langkahnya, karena akan melewati kerumunan orang di pasar kecil giyem menururunkan kainnya hingga di bawah lutut dan kemudian berjalan pelan. Giyem tidak ingin orang - orang yang melihatnya menjadi curiga. Begitu melewati pasar kecil di pinggir jalan yang dilewatinya, giyem kembali menaikkan kainnya setinggi paha dan kembali langkahnya dipercepat dengan cara setengah berlari. Tujuan langkah Giyem adalah gubuk kecil di tengah gerumbul rimbun di pinggiran kali Code dimana Bardan bersembunyi. 
" Tenang Yem ... tenang. Atur dulu napasmu. Jangan tergesa - gesa bicara." Sabar Bardan menerima Giyem yang datang dengan napas terengah. Dada besarnya sangat nampak naik turun. Mukanya merah. Dan di dahi ada titik - titik butiran keringat. Mendengar Bardan berkata sabar dan memintanya tidak segera bicara, maka Giyem mengurungkan niatnya segera menyampaikan kabar penting bagi Bardan. Kalau saja dirinya segera menyampaikan berita, justru nanti yang keluar dari mulutnya tidak jelas, tergagap dan salah - salah. Setelah beberapa kali mengambil napas panjang, giyem menjadi tenang. " Nah sekarang apa yang akan kamu katakan, katakan Yem. " Setelah Bardan melihat Giyem menjadi tenang dan tidak lagi gugup. " Begini den. Tadi, pagi - pagi Kanjeng Patih Danureja berbicara lantang di depan dua puluh prajurit berkuda. Ki Patih memerintahkan agar Nyi Tambi dan Ki Tambi di rangket. Ki Patih minta agar bisa merangket hidup - hidup Ki dan Nyi Tambi. Dan di antara para prajurit itu saya melihat Gimbal, den. Bukankan Gimbal adalah begundalnya Raden Tumenggung Suro Blasah ? Den, bukankah Ki dan Nyi Tambi itu orang tua den Bardan ?" Mendengar penuturan Giyem, Bardan menyoba tenang. Walau ada kekagetan yang sangat menyentak dadanya, Bardan tidak mau ini diketahui Giyem. Bardan tetap tenang. Bardan memang pernah bercerita banyak tentang dirinya. Termasuk kalau sebenarnya dirinya berasal dari Tambi, dan Nyi dan Ki Tambi adalah orang tuanya. " Terima kasih Yem. Terima kasih. Sudahlah kamu pulang saja sekarang. Jangan membuat orang curiga. Hindarkan orang tahu kalau kamu baru saja dari tempat ini." Kalimat ini diucapkan dengan tenang oleh Bardan sambil mengulurkan satu keping mata uang emas kepada Giyem. Giyem menerima kepingan emas. Mengangguk - anggukkan kepala dan segera meninggalkan Bardan.
Sepergi Giyem Bardan panik. Apa yang harus dilakukan. Mbok dan bapaknya harus diselamatkan. Lalu bagaimana dengan Daruni jika ternyata Suro Blasah sudah berada disana. Tanpa pikir panjang lagi Bardan segera meninggalkan gubuk tempat persembunyiannya dan melewati semak gerumbul menghidari bertemu orang langkahnya cepat dan kadang harus melenting di udara untuk menghindari semak belukar berduri yang tidak bisa diterabas. Bardan harus segera sampai di Kepangeranan Tegalreja tempat dirinya mengabdi kepada Pangeran Diponegoro yang kini telah ditangkap Belanda. Tujuannya adalah segera akan mengambil kuda dan dipacu menuju Tambi. Dirinya tidak boleh keduluan sampai di Tambi. Jika saja dirinya terlambat, apa jadinya nanti. 
Langkah Giyem yang ingin segera sampai di rumah dihentikan oleh seorang prajurit Kepatihan. " Brenti Yem !" Prajurit yang bertubuh gempal ini mencegat langkah Giyem. Giyem kaget. Tetapi segera dengan gaya kenesnya menutupi kekagetannya. " O ... den Gampar ... Ada apa den ?" Giyem menanggapi wajah seram prajurit Gampar dengan rada cengengesan.  " Dari mana kamu Yem, he !? Gampar melotot tajam. " Ya dari kali Code den. Ni aku ngambil daun kemangi sama daun luntas. Untuk lalapan makan, den. Segar lho den." Giyem semakin cengengesan untuk menutupi kegugupannya. " Jauh - jauh ke kali Code cuma untuk mengambil daun luntas dan kemangi !?" Mata Gampar mengawasi tubuh Giyem dari rambut sampai kaki. " Di pekaranganmu daun luntas ada, kemangi ada. Kenapa harus ke kali Code !?" Gampar semakin membuat Giyem gugup. Tetapi bukan Giyem jika tidak bisa bersandiwara. Giyem tahu persis prajurit Gampar inilah yang sedang ditugaskan dari kepatihan agar selalu mengawasi dirinya. Tadi ketika dirinya akan ke kali Code terlebih dahulu mengelabuhi Gampar dengan pura - pura menutup pintu rumah. Dan Giyem melewati jendela rumah melompat agar lepas dari pandangan Gampar yang selalu mondar - mandir di dekat rumahnya. Rumah Giyem hanya berbatas jalan dengan beteng Kepatihan. Apa yang sedang terjadi di Kepatihan Giyem selalu tahu. " Yang di pekarangan sudah pada tua, den. Tidak enak buat lalap. Sudah ya den, aku mau pulang makan." Giyem mau melangkahkan kakinya, tetapi tangan Gampar lebih cepat memegangi pundaknya. Giyem tidak bisa melangkah. " Baik Yem, sekarang kamu kembali ke kali Code. Aku kepingin tahu dimana kamu mengambil daun kemangi ini !?" Gampar melotot lebar dan mukanya yang merah menjadi semakin merah karena marah. Giyem kaget tidak mengira prajurit yang selalu dihindarinya ini ternyata tidak mudah percaya omongannya. " Baik den, ayo !" Giyem segera membalikkan badannya dan segera melangkah kembali menuju kali Code. Pikiran Giyem kacau. Daun luntas dan daun kemangi di tangannya ini tadi diambil dari dekat gubuk tempat persembunyian Bardan. Giyem melangkah cepat. Diam. Dan iterus berpikir bagaimana cara mengelabuhi prajurit Gampar. Di belakangnya prajurit Gampar melangkah dengan suara kaki yang keras menapaki tanah. Sampai di pinggiran kali, Giyem sempat bingung. Dan dengan cepat Giyem mengambil keputusan untuk melangkahkan kaki berlawanan arah dengan arah ke gubuk persembunyian Bardan. Langkah Giyem menuju gerumbul lebat di pinggiran kali. Giyem kehabisan akal. Dan hanya ini yang bisa dilakukan. Giyem pura - pura terpeleset dan jatuh terjerembab. Dan kemangi dan luntas yang dipeganginya berhamburan di tanah pasir. Melihat Giyem jatuh di depannya prajurit Gampar marah. " Matanya dipakai, Yem. Bangun ... !" Perintah prajurit Gampar kasar. " Aduh ... den ... sakit ... den...aduh ... !" Giyem pura - pura kesakitan. Dielus - elusnya kakinya sambil menaik - naikkan kainnya sampai ke paha. Sehingga paha Giyem menjadi telanjang. Dan Giyem menyoba mengangkang - ngangkang agar kainnya semakin naik dan tidak menutupi pahanya, dan dengan ngangkang - ngangkang Giyem bermaksud mata prajurit Gampar bisa melihat miliknya. Dan prajurit Gampar akan terangsang dan selesailah kebingungannya. Prajurit Gampar mendekati Giyem dan menarik kasar tubuh Giyen agar berdiri. " Aduh - aduh sakit ... sakit ...sakit ... den !" Giyem dengan cekatan mengendorkan kainnya. Tubuhnya yang ditarik tangan Gampar menjadi berdiri dan pura - pura tidak kokoh, kainnya melotrok ke bawah dan Giyem menjadi telanjang dari pusar sampai kaki. Tangan kokoh Gampar tetap menyengkeram pundak Giyem. Matanya memelototi milik Giyem yang tidak lagi ditutupi. Giyem pura - pura lemas tubuh dan kembali terduduk. Kemudian Giyem malah segera tiduran terelentang dan kangkang. Tangannya mengelus - elus kakinya dan mulutnya sambil meringis - meringis. Melihat Giyem demikian kelelakian Gampar menjadi berontak. Matanya tidak mau lepas dari pemandangan indah di depannya. Mata garang Gampar berubah menjadi sayu. Napasnya berdebur menderu. Giyem tahu ini. Maka pahanya semakin di kangkang - kangkangkan sehingga miliknya semakin menjadi pandangan sedap bagi mata Gampar. Giyem terus meringis merintih sambil sesekali melirik Gampar yang kebingungan. " Duh ... tolong den ... aduh ... tolong den ... !" Mulut Giyem merintih. Di batinya Giyem tertawa ngakak karena prajurit Gampar tidak segera menolongnya tetapi malah mennyopot celananya. Bersama dengan derunya napas Gampar malah segera berjongkok di dekat pahanya yang kangkang dan mengarahkan tombaknya ke miliknya. Dan tanpa banyak bicara prajurit gampar segera menindihnya dan melesakkan tombaknya di miliknya. Giyem segera merasakan miliknya disodok sampai amblas ke dalam oleh benda besar, hangat, kaku dan menyesak di kedalam miliknya. " Aaaaahhh ... den ...aduh ... !" Giyem merintih dan mendesah. Prajurit Gampar segera berpacu di antara paha Giyem. Tangangnya yang satu menyangga tubuhnya dan tangan yang lain menyoba membuka kancing kain Giyem yang menutupi dada. Tanpa malu - malu Giyem malah segera membuka kancing kain di depan dadanya. Buah dada Giyem segera menyembul dan segera menjadi santapan beringas prajurit Gampar. Prajurit Gampar menggeram - geram. Giyem merintih - rintih mendesah. Keduanya mulai bergerak - gerak menyari nikmat. Saling berpagut. Saling memeluk. Saling menekan dan menyangga. Semak - semak di dekat mereka bergumul semakin bergoyang. Giyem dan Gampar menjadi saling lupa siapa dirinya. Saling lupa sedang ada dimana. Yang ada hanya rasa yang tiada tara yang semakin lama semakin membuat masing - masing menjadi beringas dan bersuara keras tidak tertahankan. 

masih ada kelanjutannya ..................