Candra Mawa
edohaput
28
Lereng Merapi. Sore. Gerimis kecil turun dari langit. Matahari tertutup mendung. Dingin. Sarminah ada di depan tungku mengatur api agar air yang dijerang segera mendidih. Sarminah tahu jika udara dingin seperti ini Ki Poleng pasti segera akan berteriak minta dibuatkan teh kental manis dan panas. Api tungku yang berkilat - kilat menyilaukan matanya tidak dihiraukan. Matanya seolah tidak melihat api. Yang ada di pelupuk matanya adalah Tilem yang sedang menggelinjang nikmat di pangkuan Ki Poleng yang sedang mempermainkannya. Suara rintihan dan desahan Tilem terdengar jelas dari dapur. Dan seperti biasanya Tilem tidak malu - malu mendesah keras jika sedang menyapai nikmat. Dari suaranya yang terus merintih dan mendesah - desah Sarminah bisa menduga jika Tilem lagi dipangku oleh Ki Poleng dan diraba - raba seluruh lekuk tubuhnya. Sore yang gerimis, dingin, sangat menyenangkan jika berhangat - hangat dengan tubuh. Sarminah tidak ingin melihat yang sedang terjadi di ruang tengah pondok Ki Poleng. Bagi Sarminah suara - suara sudah cukup. Dan lebih baik pikirannya saja yang membayangkang seiring dengan munculnya suara. Jika suara desahan Tilem keras dan setengah menjerit, dapat dipastikan milik Tilem sedang digerayangi Ki Poleng. Dulu ketika dirinya masih muda juga sudah pernah mengalami hal yang serupa. Apa yang dilakukan Ki Poleng terhadap Tilem sekarang pasti seperti ketika mempermainkan dirinya di waktu dulu. Kini karena dirinya sudah tidak lagi muda Ki Poleng tidak lagi suka dengan dirinya. Hanya ketika dirinya ingin Ki Poleng juga pasti memberinya. Tetapi tidak seperti dulu yang berlama - lama. Ki Poleng hanya sekedar memuaskan dirinya saja.
Terdorong oleh rasa ingin segera bertemu dengan gurunya dan melaporkan kejadian yang membuat dirinya malu ketika dengan mudah dikalahkan oleh Nyi Tambi, Tumenggung Suro Blasah tanpa permisi langsung membuka pintu pondok Ki Poleng. Kecuali pondok Ki Poleng adalah tempat yang sudah tidak asing lagi bagi dirinya, dan juga Suro Blasah sudah menganggap pondok Ki Poleng adalah rumah sendiri, maka tidak ragu - ragu Suro Blasah langsung menuju ruang tengah. Kedatangan Suro Blasah yang tiba - tiba sejenak membuat Ki Poleng kaget. Tangannya yang sedang berada di balik kain bawah Tilem ditariknya keluar. Tilem pun nampak kaget melihat Suro Blasah yang sudah tidak asing lagi di matanya. Kekagetan Tilem hanya sejenak. Dan segera kembali melendot di dada Ki Poleng yang memangkunya. Hanya sekilas dipandangnya Suro Blasah dan tanpa menyapanya. Begitu Juga Ki Poleng hanya sekejap saja kekagetannya atas kedatangan Suro Blasah. Kegiatannya dengan Tilempun segera diteruskan. Suro Blasah kemudian duduk di bawah beralas tikar dan matanya sesekali melirik sesuatu yang terjadi di depan matanya. Gurunya yang sudah tua. Berambut panjang beruban dan berjanggut putih. Dengan gigi - giginya yang hitam karena banyak makan sirih, sedang memangku perawan belia. Tilem. Tilem adalah keponakan Sarminah yang telah ditinggal mati kedua orang tuannya yang hanyut oleh lahar Merapi. Tilem kemudian mengikuti Sarminah mengabdi di Pondok Ki Poleng. Tilem masih sangat belia, belum selayaknya diperlakukan demikian oleh Ki Poleng. Tetapi karena ternyata Tilem menikmati apa yang diperbuat Ki Poleng maka Sarminah membiarkannya. Mata Suro Blasah dengan sangat jelas bisa melihat kain atas Tilem yang sudah tidak sempurna terkenakan. Pundaknya telah tidak tertutup. Dan sebagia payudaranya yang masih kecil nampak sedikit menyembul dan sedang di genggam Ki Poleng. Dan remasan jari - jemari Ki Poleng membuat Tilem Mengejang - ngejangkan kakinya. " Tumben kau datang dengan tergopoh - gopoh, Blasah ... ada apa ?" Sambil menyapa Suro Blasah demikian, tangan Ki Poleng bergerak turun masuk di kain bawah Tilem yang sudah sangat kendor. Sebentar kemudian Tilem tambah mengejang sambil mendesah dan kedua tangannya merangkul leher Ki Poleng. Suro Blasah tidak segera menjawab yang ditanyakan Ki poleng. Malah pikirannya membayangkan tangan dan jari - jari Ki Poleng yang ada di balik kain bawah Tilem. Mulut Suro Blasah menjadi tersekat. Tombaknya menggeliat. Dan Suro Blasah memperbaiki posisi duduknya untuk memberi kesempatan tombak memuai. " Guru, aku benar - benar dipermalukan Nyi Tambi. Tidak aku kira jika perempuan tua itu sangat gesit, tidak bisa digerayang. Baru kali ini aku dipermalukan perempuan, guru. Hatiku sungguh sakit." Suro Blasah terbata - bata menyampaikan kalimat ini. Bukan karena terbata - bata oleh rasa sakit hati dan dendamnya, melainkan napasnya yang memburu menyekat tenggorokannya karena melihat gurunya membukai kain yang menutupi dada Tilem dan menempatkan mulutnya yang berkumis putih tepat di gundukkan dada Tilem. Dan Tilem meronta - ronta, tetapi tetap sambil menyedia - menyediakan buah dadanya disedot - sedot. Suara desahan Tilem seolah menindih suaranya yang terputus - putus. Tiba - tiba Ki Poleng menghentikan kegiatannya. " Sudah lama aku mendengar kalau Poyah ada di Tambi, Blasah. Pantas saja dia bisa mempermalukanmu. Dia bukan tandinganmu, Suro ... Poyah ... Poyah ... " Mengahkiri kalimatnya Kin poleng kembali mendekatkan mulutnya di dada Tilem yang memang sudah menunggu diperbuat. Tilem kembali mendesah, menggelijang dan meronta serta mengejangkan kakinya. Ciuman dan gigitan Ki Poleng di gundukan gunung kembar milik Tilem semakin menjadi. Dan tangan Ki Poleng yang ada di balik kain bawah Tilempun rupanya berkegiatan. Kain bawah Tilem yang sudah sangat kendor tiba - tiba terlepas dan terbuka. Suro Blasah bisa melihat Tilem telanjang bawah. Dan tangan Ki poleng ada di selangkangan Tilem. " Dan yang membuat aku sakit hati sebenarnya bukan karena aku dipermalukan guru, tetapi kata - kata Nyi Tambi yang menyumpahi. Jangankan kamu Blasah ... gurumu saja belum tentu bisa mengalahkan aku." Suro Blasah berbohong. Maksud kata - katanya ini adalah agar gurunya marah dan satu saat melabrak ke Tambi. Mendengar kalimat Suro Blasah ini, tiba - tiba wajah Ki Poleng mendongak menatap tajam ke arah Suro Blasah. Mukanya memerah, matanya melotot. Dan giginya gemeretak. Diangkatnya tubuh mungil Tilem dan dibawanya pergi meninggalkan Suro Blasah yang duduknya tidak tenang karena tombaknya memuai besar. Oleh Ki Poleng Tilem dibawa ke kamar di balik ruang tengah dimana Suro Blasah duduk. Yang terdengar kemudian suara kerengket dan derak ranjang bambu, dan desahan Tilem yang tidak berhenti dan lama - lama menjadi semakin keras.
Sarminah masuk ke ruang tengah membawa minuman. Sarminah yang kain bawahnya tidak menutupi betisnya dilihat Suro Blasah yang pikirannya sudah sangat kacau. Begitu selesai menaruh minuman di meja Ki Poleng, tubuh Sarminah segera ditarik tangan Suro Blasah. Dan tanpa ampun segera dipeluk dan di gerayangi. " Aduh den ... den Tumenggung ini kenapa ?" Sarminah yang sedari tadi juga sudah terpengarus desahan Tilem, tidak bisa lain kecuali menerima apa yang diperbuat Suro Blasah. Dan tidak baru kali ini saja Suro Blasah meperlakukan dirinya begini. Dulu sudah sangat sering dirinya dan Suro Blasah sembunyi - sembunyi melakukannya jika Ki poleng sedang tidak berada di tempat. Bahkan Sarminah menjadi sangat merindukan jika sang murid Ki Poleng yang satu ini lama tidak mengganggunya. Sarminah menjadi sangat merindukan perlakuan kasar Suro Blasah, ketika Suro Blasah turun gunung dan jarang datang ke lereng Merapi. Sarminah menjadi sering bermimpi digumuli Suro Blasah. Sore ini yang dihiasi gerimis, dingin kekes, dan basah, Sarminah menemukan yang lama dirindukannya. Sarminah yang menyediakan dirinyapun segera terlucuti kainnya. Dan keduanya segera berguling - guling di lantai beralas tikar. Suara gaduhpun terdengar dari kamar ki Poleng dan dari ruang tengah dimana Sarminah sedang diperbuat oleh Suro Blasah dengan penuh gelegak.
masih ada kelanjutannya ...........