Senin, 04 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                             edohaput 


24

Matahari mulai meninggi. Orang - orang sudah sibuk dengan pekerjaan masing - masing. Giyem yang setengah berlari dari rumah dengan menaikkan kain setinggi paha agar bisa mempercepat langkahnya, karena akan melewati kerumunan orang di pasar kecil giyem menururunkan kainnya hingga di bawah lutut dan kemudian berjalan pelan. Giyem tidak ingin orang - orang yang melihatnya menjadi curiga. Begitu melewati pasar kecil di pinggir jalan yang dilewatinya, giyem kembali menaikkan kainnya setinggi paha dan kembali langkahnya dipercepat dengan cara setengah berlari. Tujuan langkah Giyem adalah gubuk kecil di tengah gerumbul rimbun di pinggiran kali Code dimana Bardan bersembunyi. 
" Tenang Yem ... tenang. Atur dulu napasmu. Jangan tergesa - gesa bicara." Sabar Bardan menerima Giyem yang datang dengan napas terengah. Dada besarnya sangat nampak naik turun. Mukanya merah. Dan di dahi ada titik - titik butiran keringat. Mendengar Bardan berkata sabar dan memintanya tidak segera bicara, maka Giyem mengurungkan niatnya segera menyampaikan kabar penting bagi Bardan. Kalau saja dirinya segera menyampaikan berita, justru nanti yang keluar dari mulutnya tidak jelas, tergagap dan salah - salah. Setelah beberapa kali mengambil napas panjang, giyem menjadi tenang. " Nah sekarang apa yang akan kamu katakan, katakan Yem. " Setelah Bardan melihat Giyem menjadi tenang dan tidak lagi gugup. " Begini den. Tadi, pagi - pagi Kanjeng Patih Danureja berbicara lantang di depan dua puluh prajurit berkuda. Ki Patih memerintahkan agar Nyi Tambi dan Ki Tambi di rangket. Ki Patih minta agar bisa merangket hidup - hidup Ki dan Nyi Tambi. Dan di antara para prajurit itu saya melihat Gimbal, den. Bukankan Gimbal adalah begundalnya Raden Tumenggung Suro Blasah ? Den, bukankah Ki dan Nyi Tambi itu orang tua den Bardan ?" Mendengar penuturan Giyem, Bardan menyoba tenang. Walau ada kekagetan yang sangat menyentak dadanya, Bardan tidak mau ini diketahui Giyem. Bardan tetap tenang. Bardan memang pernah bercerita banyak tentang dirinya. Termasuk kalau sebenarnya dirinya berasal dari Tambi, dan Nyi dan Ki Tambi adalah orang tuanya. " Terima kasih Yem. Terima kasih. Sudahlah kamu pulang saja sekarang. Jangan membuat orang curiga. Hindarkan orang tahu kalau kamu baru saja dari tempat ini." Kalimat ini diucapkan dengan tenang oleh Bardan sambil mengulurkan satu keping mata uang emas kepada Giyem. Giyem menerima kepingan emas. Mengangguk - anggukkan kepala dan segera meninggalkan Bardan.
Sepergi Giyem Bardan panik. Apa yang harus dilakukan. Mbok dan bapaknya harus diselamatkan. Lalu bagaimana dengan Daruni jika ternyata Suro Blasah sudah berada disana. Tanpa pikir panjang lagi Bardan segera meninggalkan gubuk tempat persembunyiannya dan melewati semak gerumbul menghidari bertemu orang langkahnya cepat dan kadang harus melenting di udara untuk menghindari semak belukar berduri yang tidak bisa diterabas. Bardan harus segera sampai di Kepangeranan Tegalreja tempat dirinya mengabdi kepada Pangeran Diponegoro yang kini telah ditangkap Belanda. Tujuannya adalah segera akan mengambil kuda dan dipacu menuju Tambi. Dirinya tidak boleh keduluan sampai di Tambi. Jika saja dirinya terlambat, apa jadinya nanti. 
Langkah Giyem yang ingin segera sampai di rumah dihentikan oleh seorang prajurit Kepatihan. " Brenti Yem !" Prajurit yang bertubuh gempal ini mencegat langkah Giyem. Giyem kaget. Tetapi segera dengan gaya kenesnya menutupi kekagetannya. " O ... den Gampar ... Ada apa den ?" Giyem menanggapi wajah seram prajurit Gampar dengan rada cengengesan.  " Dari mana kamu Yem, he !? Gampar melotot tajam. " Ya dari kali Code den. Ni aku ngambil daun kemangi sama daun luntas. Untuk lalapan makan, den. Segar lho den." Giyem semakin cengengesan untuk menutupi kegugupannya. " Jauh - jauh ke kali Code cuma untuk mengambil daun luntas dan kemangi !?" Mata Gampar mengawasi tubuh Giyem dari rambut sampai kaki. " Di pekaranganmu daun luntas ada, kemangi ada. Kenapa harus ke kali Code !?" Gampar semakin membuat Giyem gugup. Tetapi bukan Giyem jika tidak bisa bersandiwara. Giyem tahu persis prajurit Gampar inilah yang sedang ditugaskan dari kepatihan agar selalu mengawasi dirinya. Tadi ketika dirinya akan ke kali Code terlebih dahulu mengelabuhi Gampar dengan pura - pura menutup pintu rumah. Dan Giyem melewati jendela rumah melompat agar lepas dari pandangan Gampar yang selalu mondar - mandir di dekat rumahnya. Rumah Giyem hanya berbatas jalan dengan beteng Kepatihan. Apa yang sedang terjadi di Kepatihan Giyem selalu tahu. " Yang di pekarangan sudah pada tua, den. Tidak enak buat lalap. Sudah ya den, aku mau pulang makan." Giyem mau melangkahkan kakinya, tetapi tangan Gampar lebih cepat memegangi pundaknya. Giyem tidak bisa melangkah. " Baik Yem, sekarang kamu kembali ke kali Code. Aku kepingin tahu dimana kamu mengambil daun kemangi ini !?" Gampar melotot lebar dan mukanya yang merah menjadi semakin merah karena marah. Giyem kaget tidak mengira prajurit yang selalu dihindarinya ini ternyata tidak mudah percaya omongannya. " Baik den, ayo !" Giyem segera membalikkan badannya dan segera melangkah kembali menuju kali Code. Pikiran Giyem kacau. Daun luntas dan daun kemangi di tangannya ini tadi diambil dari dekat gubuk tempat persembunyian Bardan. Giyem melangkah cepat. Diam. Dan iterus berpikir bagaimana cara mengelabuhi prajurit Gampar. Di belakangnya prajurit Gampar melangkah dengan suara kaki yang keras menapaki tanah. Sampai di pinggiran kali, Giyem sempat bingung. Dan dengan cepat Giyem mengambil keputusan untuk melangkahkan kaki berlawanan arah dengan arah ke gubuk persembunyian Bardan. Langkah Giyem menuju gerumbul lebat di pinggiran kali. Giyem kehabisan akal. Dan hanya ini yang bisa dilakukan. Giyem pura - pura terpeleset dan jatuh terjerembab. Dan kemangi dan luntas yang dipeganginya berhamburan di tanah pasir. Melihat Giyem jatuh di depannya prajurit Gampar marah. " Matanya dipakai, Yem. Bangun ... !" Perintah prajurit Gampar kasar. " Aduh ... den ... sakit ... den...aduh ... !" Giyem pura - pura kesakitan. Dielus - elusnya kakinya sambil menaik - naikkan kainnya sampai ke paha. Sehingga paha Giyem menjadi telanjang. Dan Giyem menyoba mengangkang - ngangkang agar kainnya semakin naik dan tidak menutupi pahanya, dan dengan ngangkang - ngangkang Giyem bermaksud mata prajurit Gampar bisa melihat miliknya. Dan prajurit Gampar akan terangsang dan selesailah kebingungannya. Prajurit Gampar mendekati Giyem dan menarik kasar tubuh Giyen agar berdiri. " Aduh - aduh sakit ... sakit ...sakit ... den !" Giyem dengan cekatan mengendorkan kainnya. Tubuhnya yang ditarik tangan Gampar menjadi berdiri dan pura - pura tidak kokoh, kainnya melotrok ke bawah dan Giyem menjadi telanjang dari pusar sampai kaki. Tangan kokoh Gampar tetap menyengkeram pundak Giyem. Matanya memelototi milik Giyem yang tidak lagi ditutupi. Giyem pura - pura lemas tubuh dan kembali terduduk. Kemudian Giyem malah segera tiduran terelentang dan kangkang. Tangannya mengelus - elus kakinya dan mulutnya sambil meringis - meringis. Melihat Giyem demikian kelelakian Gampar menjadi berontak. Matanya tidak mau lepas dari pemandangan indah di depannya. Mata garang Gampar berubah menjadi sayu. Napasnya berdebur menderu. Giyem tahu ini. Maka pahanya semakin di kangkang - kangkangkan sehingga miliknya semakin menjadi pandangan sedap bagi mata Gampar. Giyem terus meringis merintih sambil sesekali melirik Gampar yang kebingungan. " Duh ... tolong den ... aduh ... tolong den ... !" Mulut Giyem merintih. Di batinya Giyem tertawa ngakak karena prajurit Gampar tidak segera menolongnya tetapi malah mennyopot celananya. Bersama dengan derunya napas Gampar malah segera berjongkok di dekat pahanya yang kangkang dan mengarahkan tombaknya ke miliknya. Dan tanpa banyak bicara prajurit gampar segera menindihnya dan melesakkan tombaknya di miliknya. Giyem segera merasakan miliknya disodok sampai amblas ke dalam oleh benda besar, hangat, kaku dan menyesak di kedalam miliknya. " Aaaaahhh ... den ...aduh ... !" Giyem merintih dan mendesah. Prajurit Gampar segera berpacu di antara paha Giyem. Tangangnya yang satu menyangga tubuhnya dan tangan yang lain menyoba membuka kancing kain Giyem yang menutupi dada. Tanpa malu - malu Giyem malah segera membuka kancing kain di depan dadanya. Buah dada Giyem segera menyembul dan segera menjadi santapan beringas prajurit Gampar. Prajurit Gampar menggeram - geram. Giyem merintih - rintih mendesah. Keduanya mulai bergerak - gerak menyari nikmat. Saling berpagut. Saling memeluk. Saling menekan dan menyangga. Semak - semak di dekat mereka bergumul semakin bergoyang. Giyem dan Gampar menjadi saling lupa siapa dirinya. Saling lupa sedang ada dimana. Yang ada hanya rasa yang tiada tara yang semakin lama semakin membuat masing - masing menjadi beringas dan bersuara keras tidak tertahankan. 

masih ada kelanjutannya .................. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar