Rabu, 23 Oktober 2013

Candra Mawa

                                                                                              edohaput


23

Tumenggung Suro Blasah sudah beberapa hari berada di kademangan Sawang Argo. Menunggu kembalinya Gimbal begundalnya ke kademangan Sawang Argo yang diharapkan bersama dengan puluhan prajurit kepatihan yang dimintanya. Suro Blasah meminta bantuan prajurit kepatihan agar bisa membantunya mengepung pondok Nyi Tambi. Suro Blasah tidak mau gegabah dengan berani datang ke pondok Tambi tanpa bersama banyak prajurit. Yang ditakutkan Suro Blasah adalah Bardan. Jika ternyata Bardan ada di Tambi bukan tidak mungkin dirinyalah yang justru akan mendapat celaka. Suro Blasah sangat paham ilmu kanuragan yang dimilki Bardan. Bardan sudah berkali - kali menyederainya. Suro Blasah juga perhitungan. Bukan tidak mungkin Ki dan Nyi Tambi juga memiliki ilmu olah kanurugan yang justru melebihi yang dimiliki Bardan. Suro Blasah juga berpikiran, jangan - jangan ilmu yang dimiliki oleh Bardan itu berasal dari ajaran Ki dan Nyi Tambi. Dirinya tidak boleh gegabah. Dirinya yang belum pernah bertemu dengan Ki dan Nyi Tambi, tidak boleh menganggap enteng kedua orang tua Bardan ini. Tanpa dibantu puluhan prajurit yang tangguh Suro Blasah tidak akan berani datang ke Tambi.
Niatnya kali ini tidak boleh gagal. Ki dan Nyi Tambi harus bisa dirangket dan dibawa ke kepatihan untuk dipenjarakan. Dengan memenjarakan Ki dan Nyi Tambi akan memancing Bardan untuk muncul terang - terangan. Selama ini kemunculan Bardan bagai setan. Tiba - tiba muncul mengganggu, menyuri, menyederai prajurit, membebaskan tahanan dari penjara, mengobok - obok tangsi dan Kepatihan dan segera lenyap tidak berbekas. Suro Blasah berencana menangkap dan memenjarakan Ki dan Nyi Tambi di penjara Kepatihan. Jika Bardan bersedia berlutut dan menyerahkan diri kepada Ki Patih Danureja, sebagai gantinya Ki dan Nyi Tambi akan dibebaskan. Jika Bardan tidak bersedia Ki dan Nyi Tambi akan dipenggal lehernya. 
Yang membuat niatnya menggebu dan berelebih - lebih untuk segera mengepung pondok Tambi bukanlah keinginannya segera bisa merangket Ki dan Nyi Tambi, melainkan karena Daruni ada disana. Daruni harus bisa dibawanya. Angan - angannya untuk bisa segera melumat habis tubuh perawan Daruni menjadikannya panas bagai terbakar. Kerinduannya, kegemasannya, kegeregetannya kepada kecantikan dan kemolekan tubuh Daruni akan dilampiaskan dengan kobaran api birahi yang sudah tidak tertahankan. Daruni akan diterkam, dicengkeram, dilumat dan dilahap habis tanpa ampun. Daruni yang lunglai tidak berdaya akan terus digasak dan tidak akan dilepas dari cengkeraman sebelum basahnya kenikmatan membanjir - banjir. Daruni kemudian akan dijadikan simpanannya. Daruni akan disekapnya dan akan terus diperdaya setiap kali dirinya ingin. Daruni akan dijadikan boneka yang bisa diperbuat semaunya. Ditekuk - tekuk. Diangkat - angkat. Diguling - gulingkan. Dilumat, dilahap, dicengkeram, dihujam dan dipakai untuk bisa mengerang sepuas - puasnya. 
Di sisi lain Ki dan Nyi Demang Sawang Argo tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Betapa tidak. Daruni akan ditemukan Suro Blasah. Terbayang di benak Ki dan Nyi Demang betapa menderitanya anaknya berada di tangan Tumenggung Suro Blasah. Ki dan Nyi Demang yang sudah ayem karena ternyata Daruni berada di pondok Tambi dan pasti memperoleh perawatan yang baik dari Nyi Tambi, kembali galau, sangat gelisah dan sedih. Kesedihan Ki dan Nyi Demang membuat seluruh isi kademangan menjadi muram. Kesedihan dan kemuraman seisi kademangan hanya bisa disembunyikan manakala berada dihadapan Suro Blasah yang kesehariannya di kademangan hanya minta dilayani dan selalu mabuk oleh arak tuak yang selalu dimintannya. Bahkan tidak jarang Suro Blasah meminta begundalnya  merayu perawan - perawan kademangan agar mau melayani birahinya dengan iming - iming kepingan emas. Maksud ini tidak pernah kesampaian karena tidak ada perawan kademangan yang mau dirayu begundal Suro Blasah. Bahkan para perawan menjadi sangat jijik melihat kelakuan Suro Blasah yang melebihi binatang. Sebentar saja berada di kademangan Suro Blasah sudah membuat takut para perawan kademangan. Tajam matanya melihat, seakan menelanjangi yang dilihat. Mengamati dari ujung rambut sampai ke tumit pada setiap perawan yang dilihat. Kemudian menelan ludah dan segera menyeringai kepada perawan yang tampak di matanya. Para perawan kademangan menjadi sangat risih terhadap perilaku Tumenggung Suro Blasah.
Pikiran galau, kacau dan perasaan yang selalu sedih dan gelisah membuat Ki Demang Sawang Argo tidak bisa berpikir jernih, sampai satu saat secara rahasia Legiman menghadapnya. Legiman yang pernah jatuh cinta kepada Daruni, dan rasa cinta dan sayangnya pada Darunipun masih disimpannya rapat - rapat di relung kalbunya. Legiman tidak akan tega, dan tidak akan rela Daruni di perdaya Tumenggung Suro Blasah. Legiman tidak ingin Daruni dibawa Suro Blasah dan dijadikan barang mainannya. Dirinya harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan Daruni. " Ki, Daruni tidak boleh jatuh ke tangan Tumenggung Suro Blasah. Ki Demang harus segera mengirim utusan ke Tambi. Ki dan Nyi Tambi harus segera tahu kalau pondoknya akan dikepung prajurit. Ki, yang diincar Tumenggung Suro Blasah bukan Ki dan Nyi Tambi. Tetapi Darunilah, Ki. Yang menjadi tujuan utama Tumenggung." Kalimat ini seakan dibisikkan Legiman kepada Demang Sawang Argo. Mendengar tuturan Legiman, Ki Demang kemudian menengadahkan wajahnya melihat langit - langit ruangan. Menerawang kalimat - kalimat legiman. Sebentar kemudian menunduk dalam - dalam, seolah sedang mencari sesuatu yang ada di dalam bumi. " Leherku taruhannya Man, kalau Raden Tumenggung tahu ini. Tetapi memang tidak ada jalan lain Man, untuk menyelamat Daruni dari keberingasan Raden Suro Blasah. Atur baik - baik. Jalankan dengan sangat rahasia. Jangan ada orang tau selain kita." Berkata begitu Ki Demang bangkit dari duduk dan segera meninggalkan Legiman.
Legiman sudah siap mati demi Daruni. Tugas rahasia ini akan dijalankannya sendiri. Di dalam pikirannya setelah nanti Ki dan Nyi Tambi tahu maksud kedatangannya, Legiman segera akan mengajak Daruni lari sejauh - jauhnya dari kejaran Suro Blasah. Sampai ke ujung bumipun Legiman akan lakukan asal Daruni bisa bersama dirinya dan selamat dari kebiadaban Suro Blasah. Samirah yang sangat menyintai dan menyanginya tidak lagi ada dalam pikirannya. Samirah yang telah rela menyerahkan segalanya demi kesenangan dirinya dihapus dari alam benaknya. Tidak terbayang di pikiran Legiman kesedihan yang diderita Samirah jika dirinya tahu akan ditinggalkan. Tidak terbayang Samirah yang akan menangisi nasib dirinya yang cintanya tidak terbalas. Tidak terbayang pula rasa sesal Samirah yang telah rela menyerahkan tubuh perawannya dinikmatinya. Legiman tidak memikirkan itu. Yang ada dihatinya hanya Daruni. Daruni harus menjadi miliknya. Terbayang di pikiran Legiman, betapa akan bahagianya dirinya bisa selalu berdamping dengan Daruni. Runi yang cantik. Yang rambut panjangnya jika tergerai akan membuat paras cantiknya menjadi semakin ayu. Runi yang kulitnya putih bersih tiada cela yang menjadi memerah takkala sinar matahari menimpanya. Belum lagi mulut Runi yang selalu memerah basah dan ketika berceloteh membuat gemas perasaannya. Runi telah mempesonakan Legiman. Legiman tidak bisa melupakan Daruni. Senyuman Daruni yang menampakkan kemanjaannya selalu terbayang di mata Legiman. 
Di pendopo kademangan Tumenggung Suro Blasah mengumpulkan prajurit - prajurit kademangan untuk diberi penjelasan tentang rencana penyerangan ke Tambi. " Prajurit dari Kepatihan akan menginap semalam di kademangan ini. Dan kamu Demange, layani para prajurit Kepatihan dengan sebaiknya - baiknya. Jangan kecewakan mereka. Paling lambat besuk sore prajurit Kepatihan sudah akan masuk kademangan. Sambut mereka dengan arak tuak yang terbaik, Demange ! " Mata bulat Tumenggung Suro Blasah tajam memandang Ki Demang Sawang Argo yang duduk di deretan paling depan menghadap ke Suro Blasah. " Sendika dhawuh, Raden. Para prajurit Kepatihan tidak akan kecewa." Jawab Ki Demang Sawang Argo dengan tanpa melihat ke Suro Blasah. Ki Demang Sawang Argo menunduk, menyembunyikan wajah ketidak senangannya terhadap Suro Blasah. " Setengah hari perjalanan kita harus sudah sampai di Tambi. Pilih kuda - kuda yang bisa lari cepat. Setelah kita rangket Ki Tambi dan Nyi Tambi prajurit kademangan kembali ke kademangan. Dan Aku bersama prajurit Kepatihan akan terus kembali ke Mataram." Tumenggung Suro Blasah sengaja tidak menyebut nama Daruni. Walaupun yang ada di pikirannya adalah Daruni harus menjadi sasaran utama untuk dibawanya. 
Yang akan dilakukannya di Tambi adalah segera menangkap Daruni. Dan menaikkan di atas kuda dan segera membawanya pergi. Sedang Ki dan Nyi Tambi akan menjadi urusan para prajurit Kepatihan dan para prajurit kademangan. Dirinya terus akan memacu kudanya kembali ke Mataram. Dan Daruni yang meronta - ronta di cengkeramannya akan diperdaya di atas kuda yang terus dipacu cepat. Dan Daruni yang ketakutan akan pingsan dan lunglai. Disaat itulah dirinya akan memperlambat laju lari kudanya dan kemudian menikmati kemolekan tubuh Daruni di atas kuda yang berjalan melambat menyusuri jalan di pinggiran hutan. Dan para begundalnya yang mengiring di belakangnya akan menelan - nelan ludah menyaksikan Tumenggungnya yang sedang kesenangan menikmati kecantikan perawan yang selalu dirindukan.
Mata tajam Suro Blasah memandangi para prajurit kademangan yang duduk bersila di hadapannya. " Legiman dimana ?!" Kalimat  yang diucapkan Suro Blasah dengan nada keras ini membuat jantung Ki Demang Sawang Argo berdesir keras. " Legiman sedang sakit, Raden. Dirinya mohon ijin untuk tidak ikut berkumpul." Jawab Ki Demang tergagap. Ki Demang dan Legiman sudah mangatur jika nanti keberadaan Legiman ditanyakan Suro Blasah, akan dinyatakan Legiman sedang sakit. " Baik kalau memang sedang sakit sebaiknya Legiman tidak usah ikut ke Tambi. Jangan ada prajurit yang nantinya tidak ada gunanya di Tambi." Mendengar kalimat Tumenggung Suro Blasah yang terahkir ini hati Ki Demang kembali ayem. Ki Demang menjadi sangat takut jika Suro Blasah tahu rencananya. 

masih ada kelanjutannya ................




Rabu, 16 Oktober 2013

Candra Mawa

                                                                                            edohaput 


22

Matahari belum sepenggalah. Hangatnya menyapu sekitar pondok Nyi Tambi. Di pendopo pondok Nyi Tambi telah antri beberapa orang yang ingin segera sembuh dari sakit yang dideritanya. Sejak matahari belum terbit, orang - orang dari jauh sudah datang di pondok Nyi Tambi. Mereka takut akan mendapat antrian panjang untuk mendapat pelayanan pengobatan dari Nyi Tambi. Pondok Nyi Tambi tidak pernah sepi dari orang. Dari sore hingga petang bergiliran orang datang. Bahkan tidak sedikit pula yang harus menginap di pondok karena harus mendapatkan perawatan khusus dari Nyi Tambi. Disediakan oleh Nyi Tambi bilik - bilik kecil tempat orang yang harus dirawat inap. Terutama mereka yang datang dari jauh, dari pada bolak - balik datang lebih baik menginap. Dengan menginap akan mendapat perawatan lebih dari Nyi Tambi dan para cantriknya. 
Berkat bimbingan Nyi Tambi dan berkat modal kecerdasannya, Daruni cepat bisa menggantikan apa yang dilakukan Nyi Tambi. Dengan cara menanyai orang yang menderita, Daruni segera bisa mengenali pasien ini menderita sakit apa. Dan Daruni dengan cepat pula bisa menentukan ramuan jamu apa harus diberikan kepada penderita. Hanya dalam waktu singkat Daruni sudah bisa berbuat seperti yang dilakukan Nyi Tambi. Daruni mendapat kepercayaan dari Nyi Tambi untuk menggantikannya. 
Daruni tidak pernah meleset memperkirakan sakit yang diderita orang. Daruni menjadi selalu tepat memberikan ramuan jamu untuk penderita. Dan kesembuhanpun segera dirasakan oleh penderita. Nyi Tambi menjadi sangat gembira dengan ketrampilan Daruni yang mungkin telah melebihi cara mengusai katrampilan meramu jamu ketika dirinya masih perawan. Daruni cerdas, terampil, semangat, tidak jemu belajar untuk memperoleh pengalaman dan jika sudah bekerja tidak kenal lelah dan tidak mengenal waktu. Nyi Tambi percaya Daruni akan mampu menggantikannya.
Sejak diberikan kepercayaan untuk menjaga dan merawat ruang obat, dan diberikan pula kepercayaan oleh Nyi Tambi untuk meramu obat, Daruni terus tidak kenal waktu dan tidak kenal jemu dan tidak kena lelah terus mengembangkan diri untuk semakin mengenali berbagai penderitaan orang dan ramuan obat apa yang harus diberikannya. Daruni cepat mampu memahami berbagai ramuan obat. Bahkan dengan pengalaman dan kemampuannya memperkirakan kasiat satu ramuan obat Daruni menjadi lebih bisa membuat pasien cepat merasakan kesembuhan dengan ramuan yang dicobakan oleh Daruni.   
Daruni pernah dibuat terkejut dan rasa takut ketika seorang lelaki gagah tinggi besar, tetapi berwajah pucat meminta dilayani dirinya di tempat yang berbeda dari pasien - pasien yang lain. Daruni ragu. Ada apa satu orang ini minta dilayani dan harus di tempat yang rahasia. Rasa takut dan bimbangnya kemudian ditindihnya dengan keiingin tahuan mau apa lelaki satu ini minta dilayani tanpa orang lain tahu. Nyi Tambi dikesibukanya melayani pasien tersenyum geli melihat sikap Daruni. Seandainya saja tidak di depan para pasien mungkin tertawanya Nyi Tambi sudah meledak. Nyi Tambi sangat tahu siapa lelaki yang sedang diajak menyendiri oleh Daruni. Sangat sering satu lelaki ini datang berobat. Setelah berada di tempat yang hanya ditutupi kelambu Daruni mulai bertanya. Apa keluhannya. Mengapa harus jauh dari para pasien yang lain. Lelaki yang bertubuh tinggi besar dan berwajah pucat ini mulai mengaku. Tombaknya tidak pernah bisa berdiri. Semakin dipaksa semakin tidak bisa. Diceritakan pula kepada Daruni isterinya selalu marah - marah manakala dirinya selalu gagal mendirikan tombaknya. Daruni yang belum pernah punya pengalaman bingung. Pikirannya malah kemudian melayang kepada Bardan. Dirinya yang pernah saat di gumuk merasa pasrah untuk diperbuat oleh Bardan, tetapi Bardan tidak melakukannya. Jangan - jangan Bardan juga seperti orang ini. Tombaknya tidak bisa berdiri. Pikirannya juga melayang ke Tumenggung Suro Blasah yang jika melihat dirinya selalu menggerak - gerakkan pahanya seolah ingin memperbaiki posisi tombaknya yang berontak mendesak - desak. Dan Daruni tahu setiap kali Tumenggung Suro Blasah melihatnya Daruni sangat tahu Suro Blasah selalu menelan - nelan ludah dan napasnya memburu wajahnya memerah. Daruni meminta lelaki besar dihadapannya untuk membuka celana. Sejenak lelaki berwajah pucat ini ragu. Tetapi segera menuruti perintah Daruni. Sebentar kemudian Daruni bisa melihat tombak yang besar tapi nampak sangat loyo nglembereh tidak berdaya. Daruni sejenak meninggal lelaki sendirian dan kembali membawa bilah bambu. Dengan bilah bambu Daruni mengutik - untik tombak lelaki loyo ini sambil matanya terus menatap tombak. Tombak tidak reaksi. Hanya mulut lelaki pucat ini yang meringis - ringis ketika bilah bambu di tangan Daruni mengutik - untik dan membolak - balik tombaknya. Setelah beberapa saat Daruni memeriksa, dirinya menyuruh lelaki payah ini kembali mengenakan celananya dan kembali ke kerumunan para pasien. Daruni segera melangkah menuju ruang obat. Di ruang obat Daruni berpikir keras. Ramuan apa mesti diberikan untuk membuat tombak lelaki itu waras. Pikiran Daruni melayang kemana - mana. Ke sesuatu yang pernah didengarnya. Ke sesuatu yang pernah dilihatnya. Diingatnya celoteh para perempuan kademangan yang sering membicarakan para suaminya. Dari pikirannya yang melayang - layang Daruni memperoleh pencerahan. Daruni tersenyum dan kemudian sibuk membuka kendi - kendi yang berisi serbuk ramuan obat. Tidak seperti meramu obat untuk pasien yang penyakitnya tidak aneh seperti keluhan lelaki itu, tanpa dengan menakar Daruni segera mencampur bubuk merica, bubuk jahe, bubuk akar alang - alang, bubuk biji nyamplung, bubuk biji cukimai, bubuk kulit kayu kesemek, dan terahkir Daruni mencampurkan bubuk bunga dan kulit batang kayu randa noleh. Daruni tersenyum geli. Mudah - mudah ramuan ini membuat tombak loyo itu mampu menggeliat. Setelah membungkus ramuan Daruni segera kembali menjumpai lelaki payah yang duduk menyendiri dan murung. " Ramuan ini cukup untuk tujuh hari, kang. Sedu dengan arak tuak dicampur telur bebek mentah dan madu. Minum secangkir - secangkir tiap mau berangkat tidur dan sesudah makan ubi talas. Beri tahu saya kalau ramuan ini tidak manjur. Besuk aku buatkan ramuan yang lain." Daruni menatap lelaki murung dihadapannya yang nampak ada guratan kesedihan di wajahnya. 
Seminggu kemudian lelaki berwajah pucat datang lagi dengan disertai isterinya dan disertai pula oleh - oleh yang dibawa dengan keranjang besar. Wajahnya semringah merah. Mulutnya terhiasi senyum kebanggaan. Yang dicari bukan Nyi Tambi, melainkan Daruni. Di depan Daruni lelaki yang wajah murungnya telah lenyap berkata keras tanpa malu - malu : " Hebat kamu jeng Runi. Hebat. Punyaku bisa berdiri. Besar, panjang dan kaku banget, jeng. Hebat jeng, hebat !" Sambil menunjukkan wajah kebanggaannya. Isterinya yang ada disampingnya menyubit - nyubit lengan dan meminta agar tidak keras - keras sang suami bersuara. " Ah lha wong nyata kok tidak boleh diomongkan ya jeng Runi ! Kamu ini gimana. Lha wong kamu ya terus - terusan minta terus kok. Iya enggak ,hayo ?" Mendengar ini sang isteri hanya bisa tersipu - sipu. 
Nyi Tambi yang sedang duduk - duduk minum teh bersama Ki Tambi hanya bisa tersenyum mendengar percakapan. Dirinya yang belum bisa membuatkan ramuan  lelaki ini untuk kesembuhan tombaknya, diam - diam mengagumi ketrampilan Daruni. Sambil menyerutup teh panas Nyi Tambi melirik Daruni yang berdiri tadak jauh darinya. Pikirannya melayang kepada Bardan. Alangkah beruntungnya jika kelak anaknya bisa bersanding dengan perawan molek dan terampil ini. Ki Tambi berpura - pura tersedak untuk mengingatkan agar Nyi Tambi tidak terus melihat ke arah Daruni yang lagi memerah wajahnya tersipu malu karena pujian lelaki semringah dan isterinya. Daruni yang terus tersenyum lebar menampakkan giginya yang tersusun rapi, kelihatan semakin rupawan. Perawan cantik tiada cela. 

masih ada kelanjutannya ................

Selasa, 08 Oktober 2013

Candra Mawa 

                                                                                            edohaput

21

Rasa sakit hati terasa sangat menyesak di dada. Tumenggung Suro Blasah sangat tahu kalau perbuatan Bardan lah yang selalu menyebabkan dirinya kena marah Ki Patih Danureja. Perbuatan Bardan yang terahkir memasuki benteng tangsi Belanda dan menyuri kepingan emas ketika ada pesta peringatan berahkirnya perang Diponegoro, membuat  Suro Blasah memperoleh malu yang amat sangat. Ketika bibirnya ditendang Ki Patih yang marahnya tidak terkendali membuat dirinya sangat terhina. Ketika pentung kayu rotan dipukul - pukulkan Ki Patih di jidatnya membuat dirinya seolah binatang tidak berharga. Air ludah yang diludahkan  Ki Patih dengan rasa sinis dan jatuh di wajahnya membuat dirinya tidak lagi sebagai manusia yang patut hidup di muka bumi. Rasa sakit yang menyesak bagai meledakkan dadanya. Ingin rasanya Tumenggung Suro Blasah ketemu dengan Bardan dan mengayunkan pedangnya untuk menyacah - nyacah tubuh Bardan. Akan ditumpahkan dendamnya dengan sepuas - puasnya dengan menghajar Bardan. Tetapi kemana dirinya harus menyari Bardan. Bardan bagai setan yang bisa menghilang dan muncul  tiba - tiba. Bardan harus segera ditemukan dan dibunuh. Jika tidak satu saat pasti akan membuat dirinya lagi - lagi dihinakan oleh Ki Patih Danureja. Kalau terus menerus Bardan mengganggu hidupnya jangan - jangan lehernyalah yang akan dipenggal oleh pedang Ki Patih. Bardan galau. Pikiran Kacau. Bardan tidak punya pandom harus kemana pergi untuk menemukan Bardan. 
Pantai Glagah mendung. Gemuruh ombak yang berdebur bagai memukul - mukul dadanya. Turti yang duduk di belakang punggungnya dan menempelkan payudara di punggung, tidak dirasakan mesra. Turti yang menyelusupkan tangannya ke dalam celananya, tidak membuat tombaknya bergairah. Turti yang telah menghias dirinya cantik bagai ledhek pesinden tidak membuatnya terpesona. Turti yang tidak lagi mengenakan kain dalam dan memamer - mamerkan paha mulusnya tidak membuat dirinya terangsang. Pikiran Tumenggung Suro Blasah sumpek. Dendam membara di dadanya untuk menangkap dan mengahajar habis - habisan tubuh Bardan mengalahkan segalanya. Pikiran hanya bisa melayang ke Bardan yang membuat dirinya geram. Bayangan Bardan yang meledeknya dan menertawakannya membuat Tumenggung Suro Blasah menjadi sangat terhina. Merasa sangat dikecilkan, dilecehkan dan diinjak - injak harga dirinya. 
Kelima begundalnya yang duduk bersila di pasir di hadapannya dilihatnya hanya sebagai anjing - anjing yang tidak berguna. Yang tidak membantunya. Yang hanya bisa menjilat - njilat, rakus, tamak dan tidak bermanfaat. Selama ini kelima begundalnya hanya bisa mengikutinya kemana dirinya pergi, tanpa ada yang bisa memberi jalan keluar agar dirinya tidak lagi dihinakan Ki Patih. Para begundalnya tidak ada yang bisa membuat dirinya bangga. Mereka hanya sendika dhawuh, manut segala perintah, dan kadang tidak bisa menyelesaikan tugas yang diembannya dengan baik. Setiap kali tugas diberikan banyak pulang dengan tangan kosong. Hampa tanpa menghasilkan apa - apa. Tumenggung Suro Blasah merasa tidak berarti memiliki lima begundal yang masing - masing bertubuh besar, tetapi tidak punya otak cemerlang. Suka mereka hanya kalau diberi kepingan emas. Diajak minum arak tuak. Suka mereka hanya kalau diajak ke pantai Glagah untuk menemui perawan - perawan simpanannya. Jika menghadapi kesulitan mereka hanya berdiam dan menghindar. Tumenggung Suro Blasah merasa sangat kecewa memelihara para begundalnya dengan gelimangan kepingan emas. " Apakah tidak sebaiknya kita ke Sawang Argo, Raden. Kita minta kepada Ki Demang agar mengerahkan prajuritnya menyertai kita untuk menyerang Tambi. Nyi Tambi dan Ki Tambi ditangkap. Mereka dipenjarakan. Bardan akan terpancing, Raden. Kita jebak Bardan yang pasti akan muncul menyelamatkan orang tuanya." Gimbal salah seorang begundal mengucapkan kalimatnya dengan nada takut sambil kedua telapak tangannya dikatupkan di depan hidungnya. Kalimat Gimbal ini diikuti manggut - manggutnya kepala keempat bengundal lainnya sambil menatap mata Tumenggung Suro Blasah yang mencereng menatap Gimbal yang terus bersembah takut kalimatnya tidak disetunjui tuannya dan akan mendapat dampratan kemarahan. Tumenggung Suro Blasah mengerutkan dahinya, alisnya yang tebal bertemu di atas pangkal hidungnya yang besar. Sorot matanya tidak menampakkan tanda - tanda akan terjadi kemarahan. Melihat tanda - tanda ini Sampil begundal yang bertubuh tinggi besar dan di pinggangnya selalu terselip senjata kapak besar tajam memberanikan berbicara : " Benar kata kang Gimbal, Raden. Akan mudah menangkap Ki Tambi dan Nyi Tambi. Selama ini tidak terdengar kalau Ki dan Nyi Tambi memiliki kekuatan. Mereka hanya hidup dengan para cantrik peramu jamu. Dan kalau ada warga Tambi yang akan menghalangi sayalah yang akan menghabisinya, Raden." Kalimat ini diahkiri dengan Sampil mengangkat dadanya yang tidak tertutup kain sehingga bulu - bulu dadanya tampak di mata Tumenggung Suro Blasah. Masing - masing begundal saling pandang dan saling menganggukkan kepala. Tiba - tiba kelima begundal ini melihat wajah cerah tuannya. Ada rasa bangga di masing - masing hati para begundal. Roman muka tuannya cerah tanda menyetujui saran dan usulan yang dikemukakan. " Baik sebelum matahari ada di tengah kita ke Sawang Argo !" Berkata begitu Tumenggung Suro Blasah sambil beranjak dari duduknya di atas lincak bambu. Ditariknya tangan Turti yang sedari tadi duduk lengket di punggungnya. Turti tertatih - tatih mengikuti langkah Tumenggung Suro Blasah yang menariknya dan berjalan menuju bilik di dalam rumah. Para begundal mendengar pintu bilik ditutup keras. Dan sebentar kemudian terdengar pula di telinga mereka Turti menjerit kesenangan. Di pikiran para begundal pasti tuannya sedang dengan tergesa - gesa dan kasar melucuti kain Turti sambil tangannya nakal meremas - remas tubuh Turti yang kecil semampai. Telinga para begundalpun segera mendengar mulut Turti yang tanpa malu - malu menjerit - njerit keenakan. Para begundal tahu pasti Turti sedang di gemasi tuannya. Tangan tuannya pasti sedang meremas kuat payudara Turti yang mungil tetapi begitu menggunung. Dari suara jeritan yang semakin hilang dan yang terdengar kemudian hanya ah uh, para begundal tahu pasti kalau bibir Turti pasti sedang dilahap tuannya sambil tangan tuannya meraba dan mempermainkan milik Turti yang ada di selangkangannya. Dan dari suara amben bambu yang berderak para begundal tahu kalau Turti pasti sedang polah karena ulah tangan dan bibir tuannya yang menuju ke segala penjuru tubuh telanjang Turti yang bersih mulus dan gemulai. Terdengar pula tuannya menggeram - geram. Napasnya yang keluar dari hidungnya yang besar bagai gemuruhnya gelombang laut. Dan kerengkat - kerengket amben bambu pun mulai terdengar gaduh di telinga para begundal. Di pikiran para begundal tubuh besar tuannya pasti sudah berada di atas tubuh mungil Turti. Dan dengan kuatnya tubuh besar itu pasti sedang bergerak menyodok, memepet, dan membolak - balik tubuh Turti. Sementara tangan - tangan besarnya pasti terus menggemasi buah dada mungil kenyal milik Turti. Lenguhan - lenguhan, jeritan dan desahan - desahan Turtipun semakin jelas tanpa ditahan. Yang terjadi kemudian mereka saling pandang. Saling tersenyum. Dan tanpa komando mereka segera bangkit dari duduk dan berlari menuju arah yang sama. Mereka akan mendapati perawan - perawan simpanannya yang sedang menunggu di bilik dengan kain yang sudah pada kendor.

masih ada kelanjutannya ...........

Senin, 07 Oktober 2013

Candra Mawa 

                                                                                   edohaput

20

Tumenggung Suro Blasah mendapat marah habis - habisan dari  Patih Danureja. Dua kali wajahnya mendapat tendangan kaki Patih Danureja. Wajahnya diludahi. Tumenggung Suro Blasah tidak bisa berbuat apa - apa, kecuali semakin takut akan mendapat hujaman keris Nagapala yang terselip di punggung patih Danureja. Tidak sedikitpun Tumenggung Suro Blasah berani mengangkat wajah. Ketika suara keras  bentakan - bentakan dan hardikan dari Patih Danureja terdengar Suro Blasah hanya bisa menunduk semakin dalam dan kedua telapak tangannya dirapatkan dan diposisikan di depan hidung. Hatinya menjadi semakin ciut. " Tidak tahu diuntung kamu, Blasah ... ha ... !" Kalimat ini diucapkan Patih Danureja dengan mata yang sangat melotot, tetapi tidak dilihat Tumenggung Suro Blasah. Seandainya saja Suro Blasah melihat lototan mata merah Patih Danureja, bukan tidak mungkin Suro Blasah akan pingsan saking takutnya. " Aku sudah wanti - wanti ta, Suro. Amankan benteng ketika tuan - tuan Walanda itu sedang berpesta. Tidak boleh ada yang mengganggu. Tidak boleh ada maling. Nyatanya ?! Kamar harta di dalam benteng bisa dibuka maling. Kamu dimana Suro, haaa ?!" Saking marahnya sampai - sampai kalimat ini terlontar dari mulut Ki Patih disertai semprotan ludah. Lagi - lagi Suro Blasah hanya bisa menghujamkan pandangan ke lantai tempat dirinya bersila ketakutan. Suro Blasah sangat menyesali perbuatannya malam itu. Kenapa dirinya begitu bernafsu melihat jongos perempuan yang berjalan melewatinya. Mengapa malam itu dirinya tiba - tiba dirasuki birahi. Sehingga cekatan tangannya segera menarik tubuh perempuan jongos dan dilepasi kainnya dan digarapnya habis - habisan. Memang kenikmatan luar biasa dirasakannya malam itu. Milik perawan jongos yang sangat jarang dipakai, terasa begitu sempit dan mencengkeram. Payudara jongos perawan yang kenyal keras membuat mulutnya membabi buta menciumi. Belum lagi desah, lenguh dan gelinjangan perawan jongos yang terucap dari bibirnya yang merah basah bagai teroles madu. Itu semua membuat Suro Blasah melupakan tugasnya mengamankan benteng. Suro Blasah sangat menyesali. Sesal kemudian memang tiada berguna. Apa lacur semua sudah terjadi. Kini dirinya menerima resiko yang harus dipikulnya. Mulutnya ditendang Ki patih sampai berdarah. Pentungan di tangan Ki patih dipukul - pukulkan di jidatnya. Ludah Ki Patih berkali - kali hinggap di kepala dan wajahnya. Tumenggung Suro Blasah merasa sangat hina. Tumenggung Suro Blasah merasa pantas dirinya mendapat hinaan ini. Suro Blasah merasa sangat bersalah. " Temukan malingnya Suro ... !"  Ki Patih memukul - mukulkan tongkat rotan di kepala Suro Blasah. " Jika tidak lehermu taruhannya. Ngerti, Blasah ?!" Ki Patih Danureja menyolok - nyolokkan pentungan di mata Suro Blasah yang sedikitpun tidak berani melirik ke arah Patih Danureja. Suro Blasah hanya bisa bersembah - sembah.
Matahari sudah mulai panas ketika dengan laku dhodhok Tumenggung Suro Blasah menuruni anak tangga pendopo Kepatihan. Berpasang - pasang mata abdi dalem kepatihan menyaksikan dengan rasa iba langkah Suro Blasah yang tertunduk meninggalkan dalem kepatihan.  Tetapi banyak juga abdi dalem kepatihan yang malah tertawa - tawa di dalam hati dan merasa senang melihat Tumenggung Suro Blasah mendapat marah. Setelah keluar dari regol kepatihan, Suro Blasah segera naik di punggung kudanya. Dengan perasaan galau dipacunya kudanya ke arah selatan. Kelima begundalnya yang sejak pagi menunggu dengan setia di depan regol kepatihan tidak mengerti yang dialami tuannya. Yang dilihatnya tuannya segera di punggung kudanya, memacunya, tanpa mengacuhkan para begundalnya. Yang dilakukan para begundalnya hanya bisa saling pandang penuh tanda tanya dan masing - masing segera di punggung kuda - kudanya dan berpacu mengejar tuannya ke arah selatan.
Suasana pantai Glagah sunyi. Tumenggung Suro Blasah tiduran tengkurap dan punggungnya yang lebar sedang mendapat pijatan jari - jari lentik Turti perawan simpanannya. Minuman arak tuak yang disajikan Turti sejak kedatangannya tadi belum disentuhnya. Sunset matahari yang sebentar lagi akan masuk ke laut membuat suasana semakin redup. Tangan Turti terus memijiat dari pungung ke kaki, dan dari kaki ke punggung Suro Blasah. Para Begundal yang hafal dengan sikap Tumenggungnya hanya bisa menyingkir bersama dengan para perempuan - perempuannya menjauh dari rumah di mana tuannya sedang bersama Turti. Para begundalnya mengerti kalau juragannya diam membisu dan mukanya cemberut pasti sedang dirundung persoalan. Para begundal tidak berani mendekat. 
Turti menyulut lampu minyak. Karena Gelap telah mengisi ruangan. Turti juga paham kalau kekasihnya ini sedang dirundung duka. Maka dirinya hati - hati meladeninya. Turti yang sudah mengendorkan kain bawahnya, dan membuka kancin - kancing kain yang menutupi dadanya tidak segera merajuk. Dirinya hanya bisa memijit dan memijit tubuh kekasihnya tanpa bicara. Turti sangat tahu, kalau juragan yang menyimpannya ini sedang dirundung duka akan sangat mudah marah dan  salah - salah malah akan memebentak - bentaknya dan membuyarkan suasana yang diharapkan. Turti selalu rindu, selalu mengharapkan cumbuan Suro Blasah yang kasar. Kekasaran Suro Blasah dirasakan Turti sebagai suatu kenikmatan yang tiada tara. Cara Suro Blasah meremas kuat buah dadanya kadang dirasakan sakit, tetapi diujung rasa sakit ada rasa nikmat yang tidak ditemukan oleh remasan tangan lelaki - lelaki yang pernah memainkan dadanya. Belum lagi cara Suro Blasah yang usianya terpaut lebih tua lima belas tahun dengan dirinya ini ketika meggigiti puting susunya. sebentar puting susunya dirasakan perih oleh gigi - gigi Suro Blasah, tetapi sebentar kemudian berujung pada rasa geli yang membuatnya menjerit - njerit minta dihentikan. Juga jari - jari besar Suro Blasah yang amat kasar memperlakukan miliknya. Meremas keras, mengelus, mengobok - obok, dan tidak jarang mencubitinya dirasakan sangat luar biasa. Membuat dirinya menendang - nendang dan berjumpalitan di pelukan dan cengkeraman lelaki bertubuh besar dan berbulu ini. Apalagi kalau lelaki berbulu dada lebat ini telah mabuk berat. Dirinya akan dilumat, ditekuk - tekuk, lemas tidak berdaya tetapi akan terus dilumer, dibolak - balik, digenjot - genjot, dan diapakan sampai - sampai dirinya tidak tahu sedang diapakan. Hanya rasa melayang dan hilang sadar yang ada. Dan dari semua itu akan berahkir dengan peluh dan pejuh yang membasahi, dan melumuri tubuhnya yang tidak lagi bisa bangkit dari bale - bale bambu tempat ajang pertarungan. Turti selalu merindukan itu terjadi. Sejak disimpan Suro Blasah Turti tidak lagi suka dengan lelaki lain. Yang ada dipikirannya hanya Suro Blasa yang kumis tebalnya sangat menggelikan leher jenjangnya. Turti kecewa. Suro Blasah yang dirindukannya dan sedang dipijat - pijat punggungnya malah segera terdengar dengkur kerasnya. 

masih ada kelanjutannya .................


Rabu, 02 Oktober 2013

Candra Mawa 

                                                                                          edohaput 

19

Begitu hari gelap Bardan segera keluar dari rumah Giyem. Berjalan cepat. Clingukan. Melipir di antara rumah - rumah. Mengendap - endap agar tidak diketahui orang. Sampai di sisi belakang benteng yang di dalamnya ada bangunan besar tangsi tempat para Belanda tinggal, Bardan segera dengan mudahnya memanjat pohon beringin yang tumbuh tinggi melebihi tingginya benteng. Bardan bertengger dan beristirahat di dahan besar. Matanya dengan leluasa bisa mengamati apa yang sedang terjadi di dalam benteng. 
Di dalam benteng meriah. Lampu - lampu besar dipasang dan menyala menerangi halaman depan rumah besar. Hiasan balon dan kertas warna - warni membuat tambah semaraknya suasana. Bardan tahu dari Giyem malam ini akan diselenggarakan pesta kegembiraan untuk merayakan telah berahkirnya perang. Dan telah dapat ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Belanda melaksanakan perayaan ini dengan penuh suka cita. Betapa tidak, dengan barahkirnya perang, beban biaya yang harus ditanggung menjadi sangat berkurang. Dan yang paling membuat para petinggi Belanda suka adalah hilangnya ancaman - ancaman dari Pangeran Diponegoro yang membuat kecut hati. Juga telah sirnanya penghalang  Belanda untuk membuat Ngayogyakarta Hadiningrat semakin tunduk dengan segala aturan yang dibuat. Dengan demikian keinginan - keinginan Belanda dengan mudah diterapkan di Ngayogyakarta. 
Setelah pidato -  pidato para petinggi Belanda yang bahasa tidak dimengerti oleh Bardan dan selalu dihisai dengan tepuk tangan yang meriah berahkir, yang ditunggu Bardan muncul. Musik dansa dari gramaphone mulai mengumandang. Para Belanda dan Noni - Noninya mulai turun untuk berdansa. Jongos - jongos pribumi laki - laki mulai dengan sopan dan selalu dengan membungkuk - bungkuk membagikan minuman di gelas berkaki panjang dan makanan - makanan kecil yang lidah Bardan belum pernah mencicipinya. Bardan tahu seiring dengan larutnya malam Belanda - Belanda itu pasti akan pada mabuk. Dan para prajurit Kepatihan yang diperintahkan untuk mengamankan suasana di luar bentengpun akan ikut - ikutan mabuk, karena mereka juga akan mendapat jatah minuman penghangat tubuh itu. 
Beberapa lampu di dalam benteng dipadamkan untuk membuat suana syahdu para pendansa. Suasana redup mengiringi mereka yang saling peluk saat berdansa. Mata Bardan bahkan menangkap para Belanda dan para Noni yang mulai saling berciuman di tengah - tengah dansa mereka. Para jongos mulai membuka botol - botol berisi minuman penghangat tubuh. Musik dari gramaphone terus mengalun merdu merayu. Langkah - langkah gontaipun mulai dilihat oleh Bardan. Saat inilah yang ditunggu Bardan. 
Tubuh Bardan meluncur turun dari dahan beringin dan kakinya menyentuh tanah tanpa menimbulkan suara. Berlari mengendap - endap tubuhnya segera ditempelkan di tembok beteng yang kokoh kuat tebal. Matanya yang tajam bagai mata kucing mengawasi sekeliling. Sepi dan gelap. Dengan mengambil sikap agak berjongkok dan dengan sekali hentakkan tubuh Bardan melambung dan hinggap di atas tembok benteng. Bardan segera menebarkan pandangan matanya di suasana keremangan di dalam benteng bagian belakang ini. Bagian belakang dalam benteng ini dihubungkan oleh lorong menuju dapur tangsi tempat para jongos perempuan bekerja. Bardan sangat hafal dengan tempat ini, karena sudah beberapa kali dilewatinya ketika dirinya harus melakukan pencurian demi orang - orang yang sengsara karena beratnya pajak. Tujuan Bardan kali inipun sama. Bardan harus bisa masuk ke salah satu kamar tempat penyimpanan harta. Bardan akan meraup sekantong kepingan uang emas. Dan pada saat yang tepat akan dibagikannya kepada rakyat menderita. 
Dari atas tembok benteng mata Bardan terus mengawasi ke bawah di dalam benteng yang temaram remang - remang dan hanya ada satu lampu kecil di sudut bangunan. Tiba jantung Bardan berdesir keras ketika matanya menangkap pemandangan di sudut tembok bangunan yang suasananya lebih remang. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar sedang berusaha melepasi kain yang dikenakan seorang perempuan. Bardan berjongkok dan berhati - hati berjalan di atas tembok benteng menyari posisi agar bisa lebih dekat melihat siapa orang ini. Untuk kedua kalinya Bardan terkesiap dan kembali jantungnya berdesir, ketika tahu yang dilihatnya ini adalah Tumenggung Suro Blasah. Dan rupanya yang sedang dilepasi kainnya oleh Suro Blasah adalah jongos  perempuan. Sebentar saja seluru kain yang menempel di tubuh bedinde terlepas dan berserakan di lantai pojok tembok gedong yang remang. Perempuan bedinde yang telah telanjang segera dipepetkan oleh Suro Blasah di dinding. Dengan posisi berdiri perempuan bedinde disergap buas oleh Suro Blasah. Nampak di mata Bardan dengan buasnya Suro Blasah meremasi dengan jari - jarinya yang besar dan menciuminya dengan mulutnya yang berkumis lebat gunung kembar bedinde perempuan ini. Rintihan dan desahan terdengar jelas di telinga Bardan. Bardan tidak ingin berlama - lama menyaksikan adegan ini. Dirinya segera harus turun dan mengendap menuju kamar penyimpanan harta yang pernah dimasukinya. Posisi Suro Blasah yang berdiri memunggunginya menguntungkan. Kerana  ketika dirinya meluncur turun dari atas tembok beteng, Suro Blasah tidak akan melihatnya. Bardan tahu Tumenggung Suro Blasah pasti ditugaskan oleh Kepatihan sebagai tetunggul prajurit untuk menjaga benteng. Sebelum Bardan meluncur turun dari atas tembok benteng matanya masih sempat menangkap Suro Blasah mengangkat tubuh bendinde telanjang itu dan mengangkangkan kaki bedinde dan tepat kangkangan paha bedinde itu dihadapkan pada bagian tubuh bawahnya. Dan sempat pula telinga Bardan mendengar bedinde itu melenguh - lenguh agak keras ketika Suro Blasah memepetkan pantat bendinde yang telah digendongnya di dinding gedung. 
Bardan meluncur turun. Tanpa menimbulkan suara. Mengendap - endap dan cepat segera bisa menemukan kamar penyimpanan harta. 

masih ada kelanjutannya ..............

Selasa, 01 Oktober 2013

Candra Mawa 

                                                                                             edohaput


18

Hari masih pagi. Sinar matahari hangat menerobos celah - celah rimbunya dedaunan pohon di sekitar pondok Nyi Tambi. Angin tidak bertiup. Dedaunan tidak bergerak. Suara kicau burung saat menjelang matahari terbit sudah mulai berkurang. Sesekali terdengar kokok ayam liar yang hanya sayup - sayup. Hangat matahari mulai menguapkan embun yang masih banyak menempel di dedaunan perdu. 
Para cantrik perjaka dan cantrik perawan dengan masing - masing menenteng keranjang berangkat beriring menuju kebun obat. Tembang - tembang merdu dari mulut para cantrik perjaka menghiasi suasana cerah kebun obat. Celoteh saling memunculkan kalimat - kalimat lucu keluar dari  mulut - mulut mungil  para cantrik perawan. Pagi cerah yang menyenangkan.
Mengikuti langkah Nyi Tambi, Daruni berjalan di belakang Nyi Tambi menuju gandok atau kamar obat. Sampai di depan kamar obat Nyi Tambi mengulurkan kunci ke tangan Daruni. " Buka dan masuk, Runi !" Halus Nyi Tambi memerintah Daruni. Daruni yang di tangannya sudah ada kunci ragu. Matanya malah menatap mata Nyi Tambi. Nyi Tambi tersenyum dan mengangguk. Daruni tanggap dan segera memasukkan batang kunci besar berwarna hitam kelubangnya. Pintu terbuka. Yang pertama - tama dirasakan oleh Daruni, membaui aroma empon - empon dan aroma rempah - rempah. Daruni masih berada di depan pintu. Matanya menyapu ke dalam ruangan. Yang tampak di matanya kuali - kuali bertutup terbuat dari tanah liat berjajar di rak - rak kayu. Puluhan kuali - kuali rapi tersusun di rak yang berjajar memenuhi ruangan. Daruni melangkah masuk ruang diikuti Nyi Tambi. " Mulai hari ini, kamulah yang harus merawat kamar obat ini, Runi." Mendengar kalimat Nyi Tambi ini, Daruni kemudian menghentikan langkah, dan matanya kembali manatap mata Nyi Tambi. Nyi Tambi tersenyum lembut. " Jaga kebersihannya. Jangan ada semut atau hewan kecil lainnya ada di ruangan. Apalagi tikus." Daruni melihat ruangan yang memang bersih rapi. Tidak ada semut dan tidak ada serangga kecil lainnya. " LaLat, semut, kecoa tidak akan tahan di ruangan ini, Runi. Tetapi jika ruangan ini kotor semua dan lain - lain akan suka. Maka jangan biarkan ruangan ini kotor." Nyi Tambi mengambil satu kuali. Membukanya. Menunjukkan ke Daruni. Kemudian mendekatkan ke hidung Daruni. Daruni melihat ke dalam kuali.  Ada bubuk halus. Daruni menangkap sorot mata Nyi Tambi yang meminta dirinya untuk mengatakan bubuk apa yang ada di dalam kuali. " Bubuk kencur, mbok " Daruni menuruti permintaan Nyi Tambi. Nyi Tambi mengambil kuali lain dan berbuat sama kepada Daruni. Daruni tanggap. " Lempuyang, mbok." Daruni paham dengan bau - bau empon - empon. Kuali - kuali yang berisi bubuk - bubuk empon diketahui Daruni. " Lengkuas, mbok." Daruni terus menjawab ketika bau bubuk - bubuk di dalam kuali ditunjukkan Nyi Tambi. " Kapulaga, mbok." Daruni tiba - tiba mengerinyitkan dahinya ketika Nyi Tambi membuka kuali yang baunya sulit dikenali Daruni. Daruni menyoba mengingat tetapi tidak ketemu. " Ini bubuk akar rumput teki, Runi. Ini bisa dicampur dengan bubuk biji nyamplung, dan bubuk akar putri malu. Orang yang menderita sakit lemas - lemas badan, suka ngantuk, pandangan kabur, dan tidak memiliki tenaga bisa disedukan campuran bubuk  - bubuk ini." Nyi Tambi terus menunjukkan kuali - kuali. Dan setiap kali Daruni tidak bisa mengatakannya. Nyi Tambi yang menjelaskan. " Kenali semua isi kuali - kuali ini, Runi. Satu hari nanti aku akan memberitahu kamu cara meramu jamu - jamu ini agar menjadi obat bagi orang - orang yang datang karena sakit. Kenali semua bau yang ada di kuali - kuali ini. Tandai dengan potongan lidi jika kamu tidak mengenalinya. Besuk akan aku beritahukan itu bubuk apa. Dan apa kegunaanya." Berkata begitu Nyi Tambi menepuk halus pundak Daruni dan membalikkan badan melangkah meninggalkan Daruni sendirian di ruang jamu. Nyi Tambi menutup pintu. Daruni mengangkat kuali - kuali, membuka tutupnya dan mengenali baunya. Banyak isi kuali yang tidak dikenali Daruni. Setiap kali tidak mengenali baunya Daruni meletakkan potongan lidi di atas tutup kuali.
Gerimis kecil membuat udara malam menjadi dingin kekes. Daruni yang penat dan agak pusing karena membaui bubuk - bubuk jamu menyebabkan matanya sulit terpejam. Kerinduannya kepada Bardan yang selalu muncul saat menjelang tidur menjadi semakin memuncak. Terbayang di benak Daruni wajah Bardan yang tampan. Badan Bardan yang kokoh kuat. Masih dapat dirasakan tangan Bardan yang mencengkeram pahanya ketika dirinya digendong dan diajak lompat - lompat di antara batu - batu kali yang teronggok. Masih bisa dirasakan ketika tangan Bardan tidak sengaja menyentuh miliknya ketika Bardan memperbaiki gendongannya. Masih juga bisa dirasakan tangan Bardan yang menyentuh gunung kembarnya saat membopongnya. Daruni ingin yang seperti itu terulang lagi. Ingin dirasakannya lagi. Tidak terasa dan tidak disadari tangan Daruni telah menelusup di gunung kembarnya. Diusap - usapnya, diremas - remasnya. Di dalam pikirannya Bardanlah yang lagi mengusap dan meremasgunung kembarnya. Dan tangan yang satunya telah pula menyelusup dan berada di tengah - tengah pangkal pahanya. Terbayang Bardanlah yang melakukannya. Daruni merintih lirih. Daruni menggeliat - geliat. Paha Daruni merapat - rapat menjepit tangannya yang ada di tengah pangkal pahanya. Daruni mendesah tertahan. Daruni menjerit pelan tertahan. Dari mulut mungilnya muncul nama Bardan yang diucapkan lirih penuh getaran. Tubuhnya menggigil dan bergetar. Seluruh tubuhnya tiba - tiba merasakan nikmat yang tidak diketahui dari mana asalnya. Jari - jarinya yang berada di miliknya menjadi basah. Daruni terkulai lemas. Daruni merasa malu kepada dirinya sendiri. Dan bayangan Bardan yang sedang menindih tubuhnya tiba - tiba hilang.

masih ada kelanjutannya ....................