Candra Mawa
edohaput
19
Begitu hari gelap Bardan segera keluar dari rumah Giyem. Berjalan cepat. Clingukan. Melipir di antara rumah - rumah. Mengendap - endap agar tidak diketahui orang. Sampai di sisi belakang benteng yang di dalamnya ada bangunan besar tangsi tempat para Belanda tinggal, Bardan segera dengan mudahnya memanjat pohon beringin yang tumbuh tinggi melebihi tingginya benteng. Bardan bertengger dan beristirahat di dahan besar. Matanya dengan leluasa bisa mengamati apa yang sedang terjadi di dalam benteng.
Di dalam benteng meriah. Lampu - lampu besar dipasang dan menyala menerangi halaman depan rumah besar. Hiasan balon dan kertas warna - warni membuat tambah semaraknya suasana. Bardan tahu dari Giyem malam ini akan diselenggarakan pesta kegembiraan untuk merayakan telah berahkirnya perang. Dan telah dapat ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Belanda melaksanakan perayaan ini dengan penuh suka cita. Betapa tidak, dengan barahkirnya perang, beban biaya yang harus ditanggung menjadi sangat berkurang. Dan yang paling membuat para petinggi Belanda suka adalah hilangnya ancaman - ancaman dari Pangeran Diponegoro yang membuat kecut hati. Juga telah sirnanya penghalang Belanda untuk membuat Ngayogyakarta Hadiningrat semakin tunduk dengan segala aturan yang dibuat. Dengan demikian keinginan - keinginan Belanda dengan mudah diterapkan di Ngayogyakarta.
Setelah pidato - pidato para petinggi Belanda yang bahasa tidak dimengerti oleh Bardan dan selalu dihisai dengan tepuk tangan yang meriah berahkir, yang ditunggu Bardan muncul. Musik dansa dari gramaphone mulai mengumandang. Para Belanda dan Noni - Noninya mulai turun untuk berdansa. Jongos - jongos pribumi laki - laki mulai dengan sopan dan selalu dengan membungkuk - bungkuk membagikan minuman di gelas berkaki panjang dan makanan - makanan kecil yang lidah Bardan belum pernah mencicipinya. Bardan tahu seiring dengan larutnya malam Belanda - Belanda itu pasti akan pada mabuk. Dan para prajurit Kepatihan yang diperintahkan untuk mengamankan suasana di luar bentengpun akan ikut - ikutan mabuk, karena mereka juga akan mendapat jatah minuman penghangat tubuh itu.
Beberapa lampu di dalam benteng dipadamkan untuk membuat suana syahdu para pendansa. Suasana redup mengiringi mereka yang saling peluk saat berdansa. Mata Bardan bahkan menangkap para Belanda dan para Noni yang mulai saling berciuman di tengah - tengah dansa mereka. Para jongos mulai membuka botol - botol berisi minuman penghangat tubuh. Musik dari gramaphone terus mengalun merdu merayu. Langkah - langkah gontaipun mulai dilihat oleh Bardan. Saat inilah yang ditunggu Bardan.
Tubuh Bardan meluncur turun dari dahan beringin dan kakinya menyentuh tanah tanpa menimbulkan suara. Berlari mengendap - endap tubuhnya segera ditempelkan di tembok beteng yang kokoh kuat tebal. Matanya yang tajam bagai mata kucing mengawasi sekeliling. Sepi dan gelap. Dengan mengambil sikap agak berjongkok dan dengan sekali hentakkan tubuh Bardan melambung dan hinggap di atas tembok benteng. Bardan segera menebarkan pandangan matanya di suasana keremangan di dalam benteng bagian belakang ini. Bagian belakang dalam benteng ini dihubungkan oleh lorong menuju dapur tangsi tempat para jongos perempuan bekerja. Bardan sangat hafal dengan tempat ini, karena sudah beberapa kali dilewatinya ketika dirinya harus melakukan pencurian demi orang - orang yang sengsara karena beratnya pajak. Tujuan Bardan kali inipun sama. Bardan harus bisa masuk ke salah satu kamar tempat penyimpanan harta. Bardan akan meraup sekantong kepingan uang emas. Dan pada saat yang tepat akan dibagikannya kepada rakyat menderita.
Dari atas tembok benteng mata Bardan terus mengawasi ke bawah di dalam benteng yang temaram remang - remang dan hanya ada satu lampu kecil di sudut bangunan. Tiba jantung Bardan berdesir keras ketika matanya menangkap pemandangan di sudut tembok bangunan yang suasananya lebih remang. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar sedang berusaha melepasi kain yang dikenakan seorang perempuan. Bardan berjongkok dan berhati - hati berjalan di atas tembok benteng menyari posisi agar bisa lebih dekat melihat siapa orang ini. Untuk kedua kalinya Bardan terkesiap dan kembali jantungnya berdesir, ketika tahu yang dilihatnya ini adalah Tumenggung Suro Blasah. Dan rupanya yang sedang dilepasi kainnya oleh Suro Blasah adalah jongos perempuan. Sebentar saja seluru kain yang menempel di tubuh bedinde terlepas dan berserakan di lantai pojok tembok gedong yang remang. Perempuan bedinde yang telah telanjang segera dipepetkan oleh Suro Blasah di dinding. Dengan posisi berdiri perempuan bedinde disergap buas oleh Suro Blasah. Nampak di mata Bardan dengan buasnya Suro Blasah meremasi dengan jari - jarinya yang besar dan menciuminya dengan mulutnya yang berkumis lebat gunung kembar bedinde perempuan ini. Rintihan dan desahan terdengar jelas di telinga Bardan. Bardan tidak ingin berlama - lama menyaksikan adegan ini. Dirinya segera harus turun dan mengendap menuju kamar penyimpanan harta yang pernah dimasukinya. Posisi Suro Blasah yang berdiri memunggunginya menguntungkan. Kerana ketika dirinya meluncur turun dari atas tembok beteng, Suro Blasah tidak akan melihatnya. Bardan tahu Tumenggung Suro Blasah pasti ditugaskan oleh Kepatihan sebagai tetunggul prajurit untuk menjaga benteng. Sebelum Bardan meluncur turun dari atas tembok benteng matanya masih sempat menangkap Suro Blasah mengangkat tubuh bendinde telanjang itu dan mengangkangkan kaki bedinde dan tepat kangkangan paha bedinde itu dihadapkan pada bagian tubuh bawahnya. Dan sempat pula telinga Bardan mendengar bedinde itu melenguh - lenguh agak keras ketika Suro Blasah memepetkan pantat bendinde yang telah digendongnya di dinding gedung.
Bardan meluncur turun. Tanpa menimbulkan suara. Mengendap - endap dan cepat segera bisa menemukan kamar penyimpanan harta.
masih ada kelanjutannya ..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar