Sabtu, 31 Agustus 2013

Candra Mawa 

                                                                                             edohaput

13

Menjelang tengah hari Legino dan Mijan yang menyamar sebagai orang yang menyari kayu bakar dan penyari rumput, setelah menyusuri kali yang panjang berliku dan berbatu, sampailah di pinggiran kali tepat di belakang pondok Nyi Tambi. Antara pinggiran kali dengan pondok Nyi Tambi dibatasi oleh luasnya kebun obat. Mata Legino terus mengawasi kebun obat dimana ada beberapa cantrik yang sedang bekarja disana. Begitu juga mata Mijan. Mata Mijan tidak bisa lepas dari para cantrik perawan yang berkain lurik. Polah tingkah para cantrik perawan menjadi santapan mata Mijan. Mijan menelan ludah. Para perawan cantrik yang terlihat dari jarak cukup jauh ini dimata Mijan nampak cantik - cantik. Wajah mereka bersih. Rambut hitam legam. Mata mereka tampak bulat bersinar. Postur tubuh indah. Tinggi semampai dengan dada - dada umumnya besar. Perut nampak kecil dan membesar di sekitar pinggul dengan pantat yang umumnya besar dan nampak padat. Rasanya Mijan ingin segera naik dari pinggiran kali dan mendapati para perawan cantrik lebih dekat. Mata Mijan tidak berkedip. Legino yang semakin percaya bahwa itu adalah pondok Nyi Tambi yang pernah didengarnya. Legino pernah mendengar kabar Nyi Tambi adalah ahli jamu dan obat. Banyak orang datang ke pondok Nyi Tambi. Tetapi baru kali ini Legino melihat pondok Nyi Tambi. Itu saja dari arah belakang. Legino tidak melihat pondok Nyi Tambi dari arah depan. " Kang perawan - perawan berkain lurik itu cantik - cantik banget ya kang." Mijan menunjuk - nunjukkan jarinya ke arah para perawan cantrik. Legino buru - buru memegangi tangan Mijan dan menurunkannya. " Husst ... jangan nunjuk - nunjuk Jan. Jangan membuat tingkah mencurigakan. Kita ini penyari rumput dan kayu. Jangan bertingkah aneh - aneh. Kalau penyamaran kita diketahui jangan - jangan kita tidak dapat apa - apa. Awasi saja tapi jangan terlalu kentara !" Legino mengingatkan Mijan dengan suaran yang ditahan. Mijan sadar kalau dirinya hampir - hampir kelepasan karena melihat perawan - perawan cantik di kebun obat.  Mijan kemudian membungkuk - bungkuk berjalan menyari tempat yang lebih tinggi agar matanya lebih bisa mengawasi. Legino juga berusaha memanjat tebing pinggiran  agar bisa matanya lebih leluasa memandang ke arah kebun. Belum sempat Legino menapakkan kakinya dengan benar di bibir tebing, tubuhnya bergetar, jantungnya berdetak keras dengan tiba - tiba, dan tubuhnya serasa akan terjengkang jika saja tangannya tidak segera meraih akar pohon yang menonjol. Mata Legino menangkap perawan cantik. Berkulit bersih, putih. Dengan kain lurik. Rambut yang sebahu tergerai indah dipermainkan angin. Tubuh indah dan wajah ayu yang sangat tidak asing dipikiran Legino. Perawan yang diimpikannya. Perawan yang diidamkannya. Perawan yang membuat dirinya jadi kurang suka dengan Pini yang telah dipacarinya lebih dulu. Pini yang pertama kali membuat dirinya merasakan kenikmatan bersama perawan. Mata Legino menangkap Daruni yang keluar dari pintu pondok. Daruni berjalan ke arah kebun. Dan dipikiran Legino Daruni mendekatinya. Detak jantung Legino membentur - bentur tulang dadanya. Menjadikan napas Legino tersengal. Legino kehilangan konsentrasi. Tangan yang memegangi akar pohon terlepas. Legino terjengkang dan terjerembab di bawah tebing yang dipanjatnya. Untung saja di bawah tidak ada batu. Legino segera bangkit dan berlari membungkuk ke arah Mijan. Ditariknya tangan Mijan. Diajaknya Mijan bersembunyi di balik batu besar di kali. " Dugaan kita benar Jan. Benar. Daruni ada di pondok itu !" Legino tertahan - tahan karena napasnya masih tetap tersengal. Mijan melongo memandangi Legino yang tiba - tiba wajahnya menjadi pucat. " Sabar kang ... sabar ... ditata dulu napasnya." Mijan mengelus dada Legino. Legino mengambil napas panjang dan menghempaskan. " Sekali lagi kang. Nanti tidak tersengal lagi." Mijan meminta Legino mengulangi mengambil napas panjang. Berkali - kali Legino mengambil napas panjang dan menghempaskannya. Legino tidak lagi tersengal. " Jan. Daruni ada di pondok itu. Dugaan kita benar !" Legino tertahan dan matanya melotot. Mijan berdiri dan mau lari menuju tebing. Tetapi buru - buru tangannya digamit Legino. " Mau kemana Jan ?" Legino memelototi Mijan. " Mau lihat Daruni, kang." Legino kembali berjongkok di sisi Legino. " Jangan Jan. Diri kita tidak boleh dikenali Daruni." Legino masih memegangi tangan Mijan. " Terus ... ?" Mijan minta penjelasan Legino. " Kita segera tinggalkan tempat ini dan kita pulang ke Sawang Argo, Jan. Kita laporkan ke Ki Demang kalau Daruni ada di pondok Nyi Tambi." Legino melepas gamitan di tangan Mijan. Mijan melongo dan dahinya mengerinyit. " Ada apa Jan ? Kamu punya pendapat ?" Legino ingin tahu mengapa Mijan melongo dan mengerinyitkan dahi. Mijan Tidak segera menjawab. Malah pikirannya melayang. Mengapa Legino tidak langsung menjumpai Daruni dan mengajaknya pulang. Kalau saja Legino berani datang ke Nyi Tambi dan meminta Daruni untuk diajak pulang, pasti dirinya akan bisa berkenalan dengan perawan - perawan cantrik yang ayu - ayu itu. Dan kalau Nyi Tambi baik hati pasti akan mempersilahkan dirinya dan Legino menginap. Berarti akan semakin banyak kesempatan mengenal cantrik - cantrik berkain  lurik itu. Dan Mijan akan memilih perawan cantrik yang paling ayu. Lalu diajaknya berbicara banyak. Kemudian dirinya akan membuka jati dirinya. Dan akan menyombongkan kalau dirinya sebenarnya adalah prajurit kademangan Sawang Argo. Perjaka terampil olah pedang dan memiliki sawah luas dan kebun kelapa. Perawan cantrik ayu tertarik. Dan terpesona dengan kesombongan Mijan. Perawan cantrik ayu yang telah terkelabuhi lalu diajaknya berjalan - jalan mengitari kebun obat. Digandengnya perawan cantrik. Dan perawan cantrik tidak menolak tangan dipegang Mijan. Malah dengan lengketnya lalu menempelkan kepalanya di pundak Mijan. Tanpa ragu - ragu Mijan segera merangkul punduk cantrik ayu. Dan tangannya yang merangkul segera bisa menyentuh gundukan di dada perawan cantrik. Perawan cantrik tidak menghindar. Malah senang gundukan di dadanya disentuh - sentuh dan dicolek jari - jari Mijan walaupun masih berbatar kain lurik. Mijan semakin nekat diciumnya pipi perawan cantrik. Perawan cantrik tersipu - sipu malu dan tersenyum manja sambil menyediakan pipinya untuk dicium lagi. Dan Malah perawan cantik mengahadapkan mukanya ke wajah Mijan dengan mulut sedikit terbuka. Mijan semakin menggila. Dipeluknya perawan cantrik ayu. Dan tanpa melepas kesempatan dicumnya bibir perawan cantrik yang memerah basah. Sambil mencium bibir nan indah yang dirasakan begitu lembut dan wangi, tangan Mijan terus bergerak. Membukai kancing kain dan tangannya menerobos masuk menyentuh gundukkan yang halus, lembut dan kenyal. Mijan semakin tidak tahan menjadi menggila. Dikendorkannya kain bawah yang melilit perawan cantrik ayu. Perawan cantrik ayu tidak menolak. Perawan cantrik menggeliatkan tubuh dan semakin memepetkan tubuhnya ke tubuh Mijan. Mijan bisa merasakan lembut dan hangatnya perawan cantrik ayu. Tangan Mijan terus meluncur kemana - mana menelusuri lekuk tubuh perawan cantrik ayu. Setiap kali behenti meraba dan meremas gemas yang ditemukan tangannya. Perawan cantrik ayu hanya bisa semakin memepetkan tubuhnya di tubuh Mijan sambil melenguh, mendesah, dasn memintan Mijan terus berbuat. Mijan meminta perawan cantrik ayu rebah di rerumputan. Perawan cantrik ayu menurut. Tangan Mijan segera menyingkapkan kain bawah perawan cantrik ayu sampai ke pangkal paha. Mata Mijan bisa melihat halus, putih dan bersihnya paha perawan cantrik ayu. " Lho Jan. Gimana ta kok malah melamun. Jawab Jan kalau kamu punya usul !" Legino mendorong kening Mijan dengan jari telunjuknya. Mijan kaget. Lamunannya buyar, ambyar, pecah di awang - awang. " Ya ... ya ... ya ... ya kang kita pulang saja. Kita laporan ke Ki Demang, kang !" Mijan tergagap - gagap dan malu. Karena miliknya telah terlanjur menggeliat. Buru - buru Mijan berdiri dan memunggungi Legino. Mijan tidak mau Legino tahu apa yang tadi dipikirkannya. Lebih - lebih miliknya yang tiba - tiba menggeliat mau berontak.

masih ada kelanjutannya ....................



Selasa, 27 Agustus 2013

Candra Mawa 

                                                                                            edohaput 


12

Legino dan Mijan yang sudah berhari - hari berjalan keluar masuk desa, menerabas hutan, menuruni jurang dan kali, mendaki gunung - gunung kecil dan gumuk - gumuk belum bisa memperoleh tanda - tanda untuk bisa menemukan Daruni. Di setiap desa yang disinggahi dan kadang merupakan tempat menginap, Legino dan Mijan selalu banyak bertanya. Tetapi tidak ada jawaban yang bisa memberi harapan untuk Daruni bisa ditemukan. Sampai pada satu siang ketika keduanya hampir - hampir putus asa, ditemukanlah sebuah gubuk di atas gumuk." Aneh kang, di pinggiran hutan yang sangat tidak mungkin dikunjungi orang ada gubuk berdiri." Mijan mengawasi gubuk. Mengitari. Lalu masuk kedalam gubuk. " Kang ! Sini kang masuk ke gubuk !" Mijan meminta Legino yang masih berrdiri terpaku memandangi gubuk. Legino membungkuk dan masuk ke gubuk. " Kang ini ada rambut tertinggal." Mijan memegangi sehelai rambut panjang. " Ini rambut perempuan kang. Jangan - jangan ini rambut Daruni." Mijan menunjukkan rambut ke Legino. Legino hanya sekejap melihat rambut di tangan Mijan. Di pikiran Legino sangat mungkin itu rambut Daruni. Tetapi bagaimana cara Daruni sampai di tempat ini. Sedangkan dirinya saja yang laki - laki sangat susah menyapai tempat ini. Apalagi seorang perawan seperti Daruni. Kalaupun bisa dan benar Daruni sampai di gumuk ini, lalu siapa yang membuat gubuk ini. Tidak mungkin tangan mungil Daruni bisa membuat gubuk ini. Lagi pula gubuk ini ternyata dibuat dengan rapi. Dan pelepah - pelepah kelapanya dipotong dengan rapi. Daruni secara sendiri tidak mungkin bisa memanjat pohon kelapa , sekalipun pohon kelapa yang masih muda dan pendek. Legino sangat mengenal Daruni yang manja. Yang serba dilayani. Yang tangannya tidak pernah menyentuh pekerjaan kasar. Dan Legino tahu Daruni tidak terampil menyanyam. Ini gubuk dinding - dindingnya terbuat dari pelepah daun kelapa yang dianyam rapi. Jika benar yang dipegang Mijan adalah rambut Daruni pasti ada lelaki yang menemani Daruni. Lalu siapa lelaki itu. Lagi - lagi Legino mengamati gubuk. Mata Legino tertumbuk pada alas yang ada di dalam gubuk. Berupa daun kelapa yang juga dianyam dan ditumpuk - tumpuk laksana kasur. Sudah tampak alum. Kaki Legino menginjak - injak, dan terasa empuk. Pikiran Legino melayang. Daruni tidur di dalam gubuk ini bersama dengan seorang lelaki. Tidur beralas kasur anyaman daun kelapa yang empuk dan hangat. Terbayang di benak Legino Daruni dipeluk mesra oleh seorang lelaki entah siapa. Daruni yang kedinginan merasakan kehangatan pelukan lelaki. Dan lelaki yang mendapatkan kesempatan memeluk tubuh indah Daruni di kegelapan gubuk kala malam tidak menyia - nyiakan kesempatan. Lelaki ini pasti mencium pipi dan bibir Daruni. Dan Daruni yang memang menginginkan kehangatan karena dinginnya udara, dan Daruni yang takut akan kegelapan pasti akan membalas ciuman lelaki ini. Daruni yang merasa aman ditemani lelaki di kala malam gelap pasti akan membiarkan tangan lelaki ini menggerayangi tubuh indahnya. Dan Daruni pasti pasrah dan jangan - jangan malah menikmatinya. Di benak Legino lelaki ini sambil mencium bibir Daruni pasti tangannya meraba kemana - mana. Gunung kembar Daruni pasti diraba - raba, dielus - elus dan diremas - remas gemas. Atau bahkan kain yang menutup dada Daruni dibuka lebar - lebar oleh lelaki ini dan puting gunung kembar Daruni disedot - sedotnya. Dan Daruni mendesah - desah menikmati. Tidak hanya itu yang ada di pikiran Legino. Legino terus menerka - nerka apa yang terjadi. Daruni yang terlena malah semakin menyediakan tubuhnya untuk diperbuat lelaki ini. Dibiarkannya tangan lelaki ini yang menyoba mengendorkan kain bawah yang membelit perut dan kakinya. Kain kendor dan segera terbuka. Tangan lelaki yang telah sampai di milik Daruni, membuat Daruni menjadi semakin lupa. Semakin pasrah. Dan lelaki yang memperoleh kepasrahan tidak menyia - nyiakannya. Ditindihnya tubuh indah Daruni. Dan Daruni melayang di atas mega. Daruni tidak tahu lagi sedang ada dimana dan sedang terjadi apa. Daruni hanya bisa menjejak - jejakkan kakinya di anyaman daun kelapa yang menjadi alas dirinya yang sedang digumuli lelaki. Bayangan rekaan di benak Legino ini tiba - tiba membuat Legino merasakan mukanya panas. Dadanya terasa sesak. Dan napasnya memburu. Rasa cemburunya yang meledak - ledak membuat Legino tidak terkendali. Tanpa ingat dan melihat Mijan yang juga di dalam gubuk, Legino tanpa ampun menngangkat gubuk dan merobohkannya. Diinjak - injaknya runtuhan gubuk yang di dalamnya masih ada Mijan yang mengaduh kena robohan gubuk dan injakan kaki Legino. Legino mengamuk tidak keruan. Ditendang - tendangnya runtuhan gubuk. Tidak urung Mijanpun jadi kena tendangan Legino. Tendangan kuat karena disertai kekuatan kemarahan mengenai pantat Mijan. Mijan terdorong dan terpaksa kontal dan terjerembab jauh dari runtuhan gubuk. Mijan hanya bisa meringis kesakitan. " Kang ingat kang ... ingat !" Mijan teriak - teriak sambil menahan sakit di pantat.
Matahari menyondong ke barat. Menandai sore segera akan tiba. Legino dan Mijan masih ada di atas gubuk dimana ada gubuk yang telah roboh diobrak - abrik Legino. Mata mereka memandang ke depan dimana tampak di mata mereka di kejauhan ada pondok. " Kang kalau gubuk yang kang Legino rusak ini pernah ditinggali Daruni, pasti kepergian Daruni selanjutnya  ke pondok itu, kang" Mijan menunjuk - nunjuk sebuah pondok yang jauh dari keberadaan mereka. " Kita harus kesana. Siapa tahu Daruni minta tolong penghuni pondok itu dan bersembunyi di sana." Mijan minta Legino percaya pendapatnya. " Baik Jan, kita lakukan besuk pagi." Jawab Legino dan jawaban ini membuat Mijan bingung. Kalau besuk pagi melakukannya berarti dirinya harus menginap di gumuk pinggiran hutan ini. Mijan takut. " Kok besuk pagi kang. Kenapa tidak sekarang ? Apa tidak sebaiknya kita menginap di pondok itu, kang." Mijan ingin tahu apa rencana Legino. Dan Mijan berharap jika mendatangi pondok itu sekarang berarti bisa menginap di pondok itu. Selama perjalanan menyari Daruni belum pernah Legino dan Mijan menginap di luar rumah. Jika tidak pergi ke pondok itu sekarang berarti malam ini dirinya harus menginap di pinggiran hutan. Mijan miris. " Kalau kita tidak pergi sekarang, kita menginap dimana, kang ?" Mijan minta penjelasan Legino. " Ya disini ! apa pulang ke perkampungan ?" Legino tegas menjawab. Mijan meringis. Mijan ngeri dengan isi hutan. 
Matahari semakin rendah di ufuk barat. Legino diikuti Mijan meneruni gumuk menuju kali di bawah gumuk. Kembali Legino merasakan dadanya panas dan sesak ketika di pinggiran kali ditemukan bekas - bekas kulit kelapa muda yang terbelah. Di benak Legino terbayang betapa mesranya Daruni bersama lelaki itu menikmati buah kelapa muda. Terbayang pula Daruni mandi bersama dengan lelaki itu. Mereka bertelanjang dan menyeburkan diri di air sungai yang jernih. Mereka berpelukan, saling menggosokkan tubuh. Daruni menggosok - gosokkan gunung kembarnya yang tegak kenyal ke dada lelaki itu. Dan sang lelaki menempatkan telapak tangannya di milik Daruni. Mengelusnya dan mempermainkannya. Daruni bergerak - gerak di pelukan lelaki ini. Kemudian kaki Daruni mengangkang memberi kesempatan kepada lelaki ini untuk menyarangkan tombaknya. Daruni terpekik dan kemudian memejamkan mata. Kemudian yang terjadi hanya suara kecipak air yang semakin keras. Dan gelombang air semakin menjadi. Keduanya bergumul di dalam air kali. Saling menyerang, saling menyari, saling menerima. Dan lenguh desah Daruni mengalahkan suara kecipak air. Panas di dada Legino tidak tertahankan. Ditendangnya kulit - kulit kelapa muda. Kulit kelapa muda bertebangan. Dan ada satu yang tidak sengaja mengenai punggung Mijan. Mijan jatuh terjungkal dan merasakan sakit dipunggungnya. Mijan mengaduh kesakitan. " Kang ingat kang ... ingat !" Mijan berteriak - teriak. Legino terus mengamuk. Apa yang ditemukannya ditendangnya. Batu - batu berterbangan. Mijan merangkak - rangkak bersembunyi di balik batu besar. Takut kena sasaran batu - batu yang berterbangan di sekelilingnya. 

masih ada kelanjutannya ............


Kamis, 22 Agustus 2013

Candra Mawa 

                                                                                            edohaput


11

Pini keluar dari kamarnya. Cantik, wangi melati, dan dandanan rapi. Pini menutup pintu kamar dengan sangat hati - hati. Takut cantrik - cantrik lain tahu kalau dirinya keluar kamar. Sejenak Pini berdiri di depan kamar. Matanya melirik ke kiri ke kanan mengamati pintu - pintu kamar para cantrik. Semua pintu sudah tertutup rapat. Bahkan Pini bisa mendengar napas - napas teratur dari dalam kamar. Pini percaya kalau para cantrik temannya sudah pada terlelap. Pini juga sempat mengawasi pintu rumah induk yang menghubungkan dengan rumah belakang tempat kamar - kamar para cantrik. Mata Pini menebarkan pandangan dan singgah di pintu kamar Daruni yang juga sudah tertutup rapat. Bahkan lampu minyak di dalam kamar Daruni juga sudah dipadamkan. Daruni pasti sudah terlelap. Pini melangkah dengan hati - hati. Yang dituju pintu kamar Jambul.  Lampu kamar Jambul masih menyala. Pini percaya Jambul belum tertidur. Sejenak Pini ragu ketika tangannya mau mengetuk pintu kamar. Pini menyoba mengintip lewat celah - celah dinding kamar yang terbuat dari gedhek bambu. Mata Pini melihat Jambul tiduran telentang. Kedua tangannya menyangga bagian belakang kepalanya. Matanya menatap langit - langit kamar tidak berkedip. Gerangan apa yang sedang dilamunkan kang Jambul. Pini melihat Jambul tersenyum, kemudian sedikit menggerakan kepalanya. Gerangan apa yang ada di pikiran kang Jambul. Sedang melamunkan dirinyakah. Atau jangan - jangan kang jambul malah lagi membayangkang Daruni. Jambul merubah posisi tidurnya. Diambilnya bantal yang sejak tadi tidak mengalasi kepalanya. Dipeluknya bantal dengan erat. Jambul lagi - lagi tersenyum. Adakah dirinya yang sedang dibayangkan dipeluk kang Jambul. Ah ... jangan - jangan Daruni yang sedang dibayangkang dipeluk kang Jambul. Pini dirambati rasa cemburu. Pini cemberut. Ada rasa dongkol di hatinya. Pini gondok. Tanpa sadar diketuknya pintu kamar Jambul dengan keras. Di dalam kamar Jambul kaget. Bantal dibuang dan segera turun dari ranjang berdiri melangkah menuju pintu. terbersit sedikit harapan yang mengetuk pintu kamarnya adalah Daruni. Maka sebelum tangannya menyentuh pintu, buru - buru Jambul merapikan diri. Kainnya, ikat kepalanya, dan wajahnya diusap - usap dengan kainnya. Jambul membuka pintu. " Kamu Ni, ada apa ?" Jambuk kecewa. Yang diharapkan Daruni. Pertanyaan Jambul ini membuat Pini sangat sakit hati. Sebelum Daruni ada di pondok, setiap kali malam - malam Pini mengetuk pintu kamar Jambul dan jambul membukakan pintu serta buru - buru menarik tangan Pini masuk ke kamar. Atau jambul  buru - buru menarik tangan Pini untuk diajak ke luar rumah dan mencari tempat yang terlindung. Sejak Daruni berada di pondok Jambul menjadi ogah - ogahan ketika Pini mengetuk pintu kamar. Kali ini malah ada pertanyaan yang sangat menyakitkan hatinya. Pini sakit, Pini marah. Ditariknya kuat tangan Jambul dan berjalan ke luar rumah. Di Luar rumah Jambul terus ditarik Pini sampai di tempat biasa mereka bercumbu dan bercengkerama. Dengan rada kasar Pini menarik tangan Jambul agar duduk di sampingnya. " Ada apa, Ni ?" Jambul sabar. Jambul tahu Pini sedang marah. Jambul menyoba mengendalikan suasana dengan tersenyum sambil menatap Pini. Seandainya saja siang hari pasti akan terlihat muka merah Pini karena marah. Untung yang menyinari wajah Pini hanya rembulan separo. " Ni ... " Tangan Jambul menyoba merangkul pundak Pini. Buru - buru Pini menepiskan tangan Jambul yang mau merangkul. " Na ... Ni ... Na ... Ni ...! Apa itu ... ! Kang ... kang ... !" Pini menatap Jambul sambil matanya melotot. Jambul tahu Pini marah sungguhan. Ini pasti lantaran sikapnya yang selalu memperhatikan Daruni. Jambul sadar. Pini pasti cemburu berat. " Sudah ngomong saja, Ni ... ada apa ?" Jambul sabar dan sambil maraih tangan Pini. Tetapi ditepiskan oleh Pini. " Jangan marah gini ta, Ni. Apa salahku ?" Jambul mengelabuhi Pini dengan kalimatnya. " Kalau ada masalah katakan saja, Ni. Biar jelas. Biar aku tahu." Jambul semakin sabar. " Masalah ... masalah ... ! Ya kang Jambul ini yang buat masalah !" Kalimat Pini disertai getaran bibir. Pini mau menangis. Kalimatnya menjadi tersendat. " Lho kok aku, Ni ? Aku kan tidak apa - apa, Ni. Masalah apa ta, Ni ?" Jambul pura - pura tidak tahu. " Jangan pura - pura kang ! Hati ini tahu kang ! Kalau selama ini kang Jambul berpaling ke Daruni ! Iya kan Kang ?" Saura Pini jadi serak karena tangisnya mulai muncul. Jambul tertawa ngakak. Jambul menyoba menutupi kesalahannya. " O .... itu ta Ni masalahnya." Jambul kembali tertawa. " Ni ... Ni... yang ada di hatiku. Yang ada di pikirku. Yang ada di mataku, cuma kamu Ni ... " Jambul berbohong. Jambul merangkul pundak Pini. Pini tidak menolak. " Kamu jangan salah Ni. Aku mendekati Runi itu bukan aku suka Runi. Tetapi karena aku ingin Runi bisa bekerja seperti kamu. Terampil, trengginas, dan mampu bekerja cepat. Itu saja Ni. Aku berkeinginan kalau Daruni trampil akan meringankan pekerjaanmu, Ni. Ah ... jangan yang tidak - tidak Ni. Hati ini, jiwa dan raga ini hanya buat kamu, Ni." Jambul terus berbohong. " Benar itu kang ?" Marah Pini reda berganti dengan sikap manja. Kepalanya disandarkan di dada Jambul. Hati Jambul berjingkrak gembira. Jambul merasa berhasil mengelabuhi Pini. " Bumi langit menyaksikan, Ni. Ni kamu itu harus tahu. Runi itu anak Demang. Disayang sama Nyi Tambi. Kalau aku berhasil mengajarinya meracik jamu, pasti juga aku akan dapat hadiah dari Nyi Tambi. Dan hadiah itu ahkirnya kamu juga kan yang terima, Ni ?" Rayuan Jambul semakin membuat Pini terlena. Melupakan kemarahannya. Menghilangkan rasa cemburunya. Pini menjadi damai di pelukan jambul. Kesempatan ini segera dimanfaatkan oleh Jambul. Jambul tidak ingin Pini marah seperti tadi. Dan Jambul tidak ingin Pini tahu kalau hatinya telah berkhianat. Diangkatnya dagu Pini dan segera bibirnya ditempelkan di bibir Pini yang basah bau melati. Dibayang Jambul Darunilah yang sedang diciuminya. Pini yang memang sudah sangat rindu diperbuat oleh Jambul yang belakangan ini perhatiannya membelok ke Daruni, segera menyedia - menyediakan badan untuk diperbuat oleh perjaka yang amat dicintainya. Jambulpun tidak menyia - nyiakan kesempatan. Tangannya dengan terampil segera melapasi kancing kain yang dipakai Pini. Tubuh Pini segera terbuka. Jambul menjadi sangat leluasa mempermainkan dada Pini yang sangat terawat oleh jamu. Kecang, kenyal, menggunung, tegak dan sangat menggemaskan yang merabanya. Sambil menggelinjang Pini membalas ciuman panas jambul yang melumat bibir Pini tanpa ampun. Sementara itu tangan nakal Jambul terus menelusur kemana - mana. Dan berhenti di milik Pini yang telah basah. Jambul terus membuat Pini terus ah uh. Sementara tangan Jambul yang tidak bekerja di milik Pini berusaha membebaskan tombaknya yang meronta - ronta di dalam celana. Jambul yang berhasil membebaskan Tombaknya yang telah sangat mengencang keras dan sangat kaku, segera merebahkan Pini di rerumputan. Pini menjerit tertahan tatkala miliknya tersentuh tombak Jambul yang terus amblas tertelan miliknya. Suara rumputan dan daun - daun kering yang menjadi alas Pini terlentang kangkang gaduh bercampur dengan deru napas - napas birahi. Pini dan Jambul berguling - guling di rumputan. Saling menyari dan saling memberi kenikmatan. Rembulan yang separo yang smakin meninggi hanya bisa tersenyum menyaksikan Jambul dan Pini yang terus bergerak dan saling menggeram layaknya macan kerah.

masih ada kelanjutannya .............

Jumat, 16 Agustus 2013

Candra Mawa 

                                                                                         edohaput 

10 

" Kamu ini anak Demang, Runi. Kamu tidak selayaknya mengenakan kain lurik ini. Kain lurik ini hanya untuk para cantrik. Dan juga kamu jangan panggil aku dengan sebutan Nyi Tambi. Kamu cukup panggil aku dengan simbok. Dan aku tidak akan tega menjadikanmu cantrik peramu obat di pondok ini, Runi. Mulai besuk lepas kain lurik ini ! Aku sudah sediakan kain yang lain. " Kalimat Nyi Tambi yang sedang berduaan dengan Daruni di kebun obat memecah keheningan. Nyi tambi sengaja mengajak Daruni menjauh dari pondok, agar pembicaraan mereka tidak didengarkan para cantrik peramu jamu. Nyi tambik ingin mengoreklebih jauh tentang diri Daruni dan kabar Bardan anaknya yang ternyata pernah bertemu dengan Daruni. Mendengar kalimat Nyi Tambi ini Daruni tercengang. Sudah beberapa hari ini Nyi tambi membiarkan dirinya memakai kain lurik berseragam dengan para cantrik, dan juga membiarkan dirinya bekerja bersama para cantrik, tiba - tiba ini Nyi Tambi agar dirinya tidak lagi bersama dengan para cantrik. " Jangan Nyi. Runi tidak bisa berbuat seperti yang Nyi tambi maksudkan. Runi harus tetap bekerja sebagai cantrik, dan Runi tidak mau memanggil Nyi Tambi dengan sebutan simbok. Runi takut ini akan membuat para cantrik di sini cemburu. Dan akan membuat suasana menjadi tidak enak. Nyi, biarkan saja Runi tetap sebagai cantrik. Walau Runi ini anak demang, tetapi Runi disini cuma nunut sama Nyi tambi. Jadi Runi harus bekerja. Runi harus tetap mengabdi menjadi cantrik." Daruni menolak keinginan Nyi Tambi. Daruni tidak mau menyakiti para cantrik. Daruni tahu diri jika dirinya berada di pondok Nyi Tambi adalah bersembunyi dan nunut hidup. Daruni Merasa dirinya harus membalas budi baik Nyi Tambi yang sudah mau menolong dan menerimanya. Kalau saja Nyi Tambi tidak mau menerimanya niscaya dirinya masih akan terus terlunta. " Baik, Runi. Kalau kamu berkeras begitu, aku mengalah. Tetapi kamu jangan berkerja terlalu keras. Kamu ini anak semata wayang Ki Demang. Pasti hidup keseharianmu penuh dengan kemanjaan dan dilayani. Lha kalau sekarang disini kamu bekerja keras, tertimpa matahari, berkeringat, dan tubuhmu menjadi kotor aku tidak tega, Runi. Kulitmu yang bersih, tanganmu yang halus, dan puti bersih wajahmu, itu menandakan kalau kamu tidak pernah bekerja." Nyi Tambi tahu dengan apa yang dimaksud Daruni. Daruni tidak mau membuat para cantrik iri dan sakit hati. Sebagai orang baru tiba - tiba dimanjakan. Mentang - mentang anak demang. Nyi tambi mengalah dan mengijinkan Daruni tetap memakai kain lurik dan bekerja sebagai cantrik yang pekerjaannya meramu jamu. " Tidak Nyi, apa yang dikerjakaan para cantrik itu juga tetap pekerjaan Runi. Sudahlah Nyi, Nyi Tambi jangan terlalu memikirkan aku. Runi sangat senang mendapat pekerjaan ini. Runi sangat terhibur, Nyi. Runi tidak merasa susah." Daruni tetap pada pendiriannya. Dirinya harus tetap menjadi cantrik. Daruni tidak mau mendapat perlakuan lebih dari Nyi Tambi. 
Nyi Tambi yang merasa tidak berhasil meminta Daruni agar berganti kain dan tidak lagi menjadi cantrik, kemudian mengalihkan pembicaraan. Nyi Tambi kemudian bercerita tentang Bardan yang sebenarnya adalah prajurit Keraton Mataram yang kemudian membelot menjadi pengikut Pangeran Diponegoro dan memusuhi Belanda dan Keraton Mataram. Diceritakan juga oleh Nyi Tambi, sejak Pangeran Diponegoro dapat ditipu dan dirangket oleh Belanda, Bardan menjadi orang yang diburu oleh prajurit Belanda dan prajurit Mataram. Bardan yang telah membuat Belanda dan Kepatihan Mataram mengalami banyak kerugian menjadi orang yang sangat dibenci dan harus dapat dirangket. Dengan mendengar cerita ini, terjawab sudah pertanyaan besar yang ada di benak Daruni. Bardan yang tangkas trengginas, dan nampak sekali sebagai orang yang berilmu ternyata adalah seorang prajurit. Pantas saja Bardan tidak mau pulung ke pondok Nyi Tambi. Karena ternyata Bardan adalah orang yang sedang diburu. Daruni menjadi paham kalau Bardan ini sedang selalu bersembunyi karena sedang dalam pengejaran. Terbersit di kalbunya rasa iba dan kasihan terhadap Bardan. Tiba - tiba rasa rindunya kepada Bardan menjadi berlebih - lebih. Lalu dimana sekarang kang Bardan. Apakah masih di gumuk itu. Apakah kang Bardan juga masih berada di gubuk itu. Ingin rasanya Daruni terbang menyari dimana Bardan berada. Daruni ingin memeluknya. Daruni ingin membawakan makanan dan menyuapkannya di mulut Bardan. Daruni ingin memijit - mijit pundak Bardan. Daruni ingin melayani Bardan. 
Matahari tergelincir miring di barat. Mengikuti langkah Nyi Tambi Daruni menyusuri jalan setapak di tengah kebun obat berjalan menuju pondok. Cantrik - cantrik yang lagi pada sibuk bekerja sejanak menghentikan perkerjaan dan menyapa Nyi Tambi dan Daruni yang melewati mereka. 
Jambul cantrik perjaka berbadan gempal, berotot, berwajah bulat, dengan hidung yang tidak mancung berdiri menatap Daruni sampai hilang ditelan pintu belakang pondok. Sejak kedatangan Daruni di pondok, Jambul menjadi banyak melamun. Jambul sangat terpesona dengan kecantikan tubuh dan wajah Daruni. Ingin rasanya dirinya selalu dekat dengan Daruni. Beberapa hari belakangan ini Jambul selalu berusaha agar bisa berada di dekat Daruni. Jambul selalu menyari kesempatan untuk bisa dekat dengan Daruni. Walaupun ketika telah berhasil berada di dekat Daruni apa yang dirancangnya menjadi buyar karena jantungnya menjadi bedegup cepat, mulutnya terkunci dan badannya menjadi gemetaran. Rencana semula yang ingin mengajak Daruni becanda ria menjadi tersendat, tersekat dan tersumbat. Ahkirnya Jambul hanya bisa melirik. Jika ada kesempatan yang lebih leluasa kemudian menatap dengan tidak berkedip. Dan ketika Daruni menjadi sangat dekat dengan dirinya karena sedang meletakkan sesuatu di dekatnya dan tubuhnya tersenggol tubuh Daruni, Jambul merasakan ada getaran yang luar biasa. Bagai ada gempa bumi yang terjadi di sekelilingnya. Rasanya mau pingsan saja. Jantungnya berdesir keras, dadanya menjadi sesak, dan pandangan matanya menjadi kabur. Di hatinya ada rasa senang yang menyentak - nyentak dan mengalir rasa bahagia yang berlebih. Kalau sudah begitu yang dirasakan kemudian hanya perasaan gemas,  geregatan, ingin meremas, melumat, dan mencengkeram tubuh Daruni yang dikaguminya. Jambul menjadi susah makan dan sulit tidur. Ketika malam telah larut dan matanya belum bisa terpejam, langit - langit anyaman kepang berubah menjadi wajah Daruni yang cantik. Yang sedang tersenyum. Yang kalau menyapa bibir tipisnya merekah basah memerah menampakan sebaris gigiya rapi. Dan rasa gemas serta geregetannya ini juga dipicu oleh pikirannya yang ingat tubuh Daruni yang keluar dari tempat mandi dan hanya dibalut kain jarit basah sebatas dada dan dibagian bawah sebatas pangkal paha. Kain jarit yang basah menempel lekat di dada Daruni membuat mata jambul bisa melihat betapa kencang dan padatnya gunung kembar di dada Daruni. Dan paha Daruni yang bersih putih padat tidak sempurna tertutup oleh kain basah sangat melekat di ingatannya. Ingatan ini sangat membuat Jambul kelabakan jika dirinya telah rebah di ranjang bambu di kamarnya. Jambul tidak kuat menahan. Dan jambul bisa tertidur ketika dirinya telah lemas setelah dalam bayangannya Daruni dielusnya, digemasinya, dicekeramnya, dan digeraminya.  Daruni yang belum genap sebulan berada di pondok Nyi Tambi telah masuk memenuhi seluruh kalbunya. 
Perubahan sikap dan perilaku Jambul yang sering melamun, dan arah pandangannya selalu ke Daruni, dan sikap Jambul yang selalu berusaha ingin berada dekat dengan Daruni , tidak lepas dari penglihatan Pini. Pini cantrik perawan yang tercantik diantara para cantrik perawan lainnya sebelum kedatangan Daruni, memang sudah sejak lama menaruh hati terhadap Jambul. Jambulpun tahu kalau Pini menyukainya. Jambul menanggapi. Bahkan Jambul dan Pini telah sangat sering berduaan di tempat - tempat yang sepi ketika sedang senggang pekerjaan. Jambul dan Pini menjadi lekat. Jambul selau meringankan pekerjaan Pini. Sebaliknya Pini juga melakukan seperti yang dilakukan jambul. Pini dan Jambul saling sayang.  Tetapi sejak ada Daruni tiba - tiba Jambul cantrik perjaka yang memiliki kelebihan keindahan wajah bila dibanding dengan para cantrik perjaka yang lain, tiba - tiba menjauhinya. Menyapapun kadang - kadang tidak. Pini merasa dijauhi dan dikesampingkan. Pedih, perih dan sakit yang dirasakan di hati Pini. Pini hanya bisa menangis sedih dan menutup wajahnya dengan bantal ketika malam telah tiba. Kang Jambul yang hampir setiap malam mengetuk pintu kamarnya dan mengajaknya keluar untuk melihat abyornya bintang - bintang di langit, beberapa hari belakangan ini tidak pernah lagi melakukan. Kang jambul yang ketika tengah hari panas selalu membawakan minum untuk dirinya, belakangan ini tidak melakukannya. Bahkan ketika akan didekati kang jambul cepat - cepat berusaha menghindar. Yang hadir kemudian di hati Pini adalah cemburu, sakit, dan jengkel. 

masih ada kelanjutannya ................

Senin, 12 Agustus 2013

Candra Mawa 

                                                                                                 edohaput


9

Siang panas. Angin datang dari arah selatan semilir. Menjadikan panasnya matahari tidak begitu terasa. Di pendopo kademangan Sawang Argo Legino duduk bersila di depan Ki Demang yang duduk di kursi. Sangat nampak wajah Ki Demang yang begitu murung. Kepergian Daruni sangat membuat pikirannya kacau. Ki Demang tidak bisa berbuat banyak. Kemana Daruni harus dicari. Seluruh desa - desa di wewengkon kademangan telah disusuri. Setiap pintu rumah diketuk dan ditanyakan tentang Daruni. Semua menjawab tidak pernah melihat. Semua prajurit kademangan telah disebar ke segala penjuru. Tepian hutan, bahkan kedalaman hutan diterobos dan disusuri para prajurit kademangan. Tidak satu prajuritpun melapor kepada Ki Demang kalau pencariannya menemukan tanda - tanda langkah Daruni. Daruni hilang lenyap bagai ditelan bumi. Ki Demang percaya Daruni yang selalu manja, kolokan, dan penakut tidak mungkin berani berjalan sendiri di waktu malam. Daruni yang sangat takut dengan ular tidak mungkin berani keluar masuk hutan. Tetapi kemana perginya Daruni. Jika tidak memasuki hutan pasti akan ada orang melihatnya. Mungkinkah ada orang yang menyembunyikan Daruni. Ki Demang tidak bisa berpikir jernih. Ki Demang hanya bisa bingung dan murung. Belum lagi ancaman Tumenggung Suro Blasah yang sangat mengkawatirkan. Dirinya bakal menerima sangsi berat jika tidak bisa segera membawa pulang Daruni ke kademangan.
" Gino, tinggal kamu harapanku. Aku perintahkan kepadamu. Cari Daruni sampai ketemu. Terserah kamu mau berjalan ke arah mana. Ikuti saja perasaanmu. Dan jangan pulang sebelum kamu menemukan Daruni." Ki Demang berkata terbata - bata sambil tangannya mengansurkan kantong kain kecil berwarna hitam. Dan diterima Legino. Legino tahu kalau isi kantong ini adalah kepingan uang emas. " Jangan pergi sendirian Gino. Ajak Mijan menemanimu." Ki Demang mengambil napas panjang dan menghempaskannya. Seolah ingin membuang beban pikirannya yang dirasakan sangat menyesakkan dadanya." Jangan tunda, Gino. Besuk pagi - pagi kamu dan Mijan sudah harus meninggalkan kademangan. Gino ... Jangan pulang. Sebelum kamu membawa berita gembira." Ki Demang bangkit dari duduk dan melangkah meninggalkan Legino yang belum sempat menjawab perintah Demangnya. Begitu Demangnya hilang di telan pintu rumah induk kademangan, Legino bangkit dari duduk bersilanya dan segera meninggalkan pendopo.
Setelah berembug dengan Mijan, Legino mengajak Sumirah ke legok. Legok adalah tempat tersembunyi dari orang lewat maupun orang datang. Legok tempat Legino dan Sumirah ini memang terlatak cukup jauh dari pemukiman. Letaknya di pinggiran persawahan dan banyak ditumbuhi pisang Kluthuk. Pisang Kluthuk tidak disukai orang. Rasanya memang manis, tetapi banyak sekali terdapat biji keras di dalam daging pisang. Pisang Kluthuk tumbuh liar dan tidak pernah dipedulikan orang. Maka legok yang banyak tanaman liar pisang kluthuk ini menyadi sangat jarang dikunjungi orang. Akan dikunjungi orang bila di kademangan ada orang hajatan. Daun pisang kluthuk dicari sebagai bungkus makanan kala ada hajatan. Apabila tidak pisang kluthuk tidak dijamah orang. Di antara rimbunya pisang kluthuk itu Legino meratakan tanah dan diberi alas daun pisang kluthuk kering yang ditumpuk rapi untuk tempat duduk dikala dirinya dan Sumirah mengunjungi legok untuk memadu kasih. Disebut legok juga karena tempat ini berada lebih rendah dari tempat sekitarnya. Selain pohon - pohon pisang kluthuk di sekeliling legok ini juga banyak ditumbuhi semak belukar. Tidak ada orang yang tahu kalau legok ini menjadi tempat Legino dan Sumirah bermesraan.
Setelah mendengar tutur Legino tentang tugas yang dibebankan |Ki demang pada dirinya, Sumirah menjadi cemberut. Mulutnya yang berbibir agak tebal menjadi mecucu. Mata bulatnya tidak berbinar melainkan meredup. Kedua garis alisnya menajdi bertemu di kening karena wajahnya mengerut. Sumirah kecewa. Sumirah tidak merelakan kekasihnya menjalankan tugas yang berat seperti ini. Sumirah tidak mau ditinggal berlama - lama oleh Legino. " Kalau Daruni tidak bisa kang Gino temukan terus gimana kang ?" Sumirah memenggal kalimat cerita Legino. " Ya terus dicari, Sum." Legino menjawab  dengan nada yang seolah tidak mempedulikan kekecewaan Sumirah. " Sampai kapan, kang ?" Sumirah memelototi Legino yang mulai gelisah karena melihat kekasihnya marah. " Ya sampai ketemu, Sum." Jawab Legino sambil tersenyum takut - takut seraya tangannya meraih tangan Sumirah untuk dipegang. Sumirah menepiskan tangan Legino yang mau memegangnya. " Ini tugas seorang prajurit kademangan, Sum. Kalau aku menolak tugas ini sama saja aku tidak setia terhadap Ki Demang." Legino menggeser duduknya sehingga menempel ke tubuh Sumirah. Sumirah membalikkan tubuhnya untuk memunggungi Legino. " Sum ... percayalah. Aku tidak akan lama pasti sudah bisa menemukan Daruni. Daruni tidak akan pergi jauh dari kademangan. Lagi pula ini belum terlalu lama. Kalau saja Daruni berjalan kaki kemana saja belum akan jauh dari kademangan. Percayalah Sum ... aku tidak akan lama pergi meninggalkanmu." Legino memeluk tubuh Sumirah dan mengelus rambut Sumirah yang tergerai di bahu. " Janji kang !" Sumirah mebalikkan tubuh sehingga dada Sumirah menempel di dada Legino dan kembali memelototi Legino. Mata Sumirah yang bulat melotot dekat dengan mata Legino yang memeluknya. " Janji Sum. Aku tidak akan lama." Legino semakin mengeratkan pelukannya. Dan Legino segera menempelkan bibirnya di bibir Sumirah agar tidak lagi - lagi bicara. Hanya sesaat Sumirah segera menajuhkan bibirnya dari bibir Legino. " Awas kang, ... kalau nanti kang Legino macam - macam sama Daruni." Kembali mata Sumirah memelototi mata Legino. Sumirah  tahu kalau Legino pernah tertarik saman Daruni. Dan Legino pernah juga selalu berusaha mendekati Daruni. Tetapi Legino tidak pernah mendapat angin dari Daruni. Legino yang putus asa ahkirnya menambatkan hatinya kepada Sumirah. " Percayalah Sum ... hati, pikiran dan tubuh ini hanya untukmu, Sum." Legino mengeluarkan jurus rayuan pamungkasnya. Mendengar ini Sumirah malah kembali cemberut. Tetapi di dalam hati Sumirah tiba - tiba ada rasa percaya dan lega. Sumirah membenamkan kepalanya di dada Legino. Sumirah bahagia. Merasakan Sumirah luluh, Legino segera mengangkat dagu Sumirah dan kembali menempelkan bibirnya di bibir Sumirah yang menyambutnya dengan sedikit merekahkan bibirnya. Tak sabar tangan Legino melepaskan kacing kain kebaya Sumirah yang menutupi dadanya. Kain segera terbuka karena juga dibantu - bantu oleh Sumirah. Tangan Legino telah meremas gemas gunung kembar milik perawan Sumirah. Terlena keduanya telah terbaring dan bergumul menikmati keindahan cinta. Tangan Legino yang terus berusahan mengendorkan kain yang menutupi tubuh bagian bawah Sumirahpun segera berhasil karena memang dibantu - bantu oleh Sumirah. Kain bawah Sumirah telah terlepas. Leginopun juga telah berhasil memelorotkan celananya. Napas - napas meburu memenuhi legok. Dan suara kemeresek daun  pisang kering yang mereka gunakan alas bergumul semakin keras. Tombak Leginopun telah menyentuh - nyentuh perisai lembut membasah milik perawan Sumirah yang berada di pangkal pahanya yang telah mengangkang lebar karena di tengahnya telah ada pinggul Legino yang sudah siap mendorong tombaknya menembus perisai. Mata Sumirah ahkirnya mebeliak menatap Legino yang dengan kuat telah menancapkan tombak dalam - dalam ke perisai milik Sumirah. Yang dilakukan Sumirah kemudian hanya bisa memejamkan matanya, dan sesekali menggeleng - gelengkan kepalanya, mengangkat - angkat dada, menggoyang pantatnya, dan menjejak - jejakan kakinya karena bibir, leher. dan dadanya terus diserang legino. Dan yang tidak kalah rasa nikmatnya adalah perisainya yang terus disodok - sodok tombak Legino tanpa ampun. Gumuruh napas dan suara ribut alas daun pisanglah yang kemudian memenuhi legok.

masih ada kelanjutannya ....................


Jumat, 09 Agustus 2013

Candra Mawa 


                                                                                         edohaput


8

Sore. Suasana redup. Matahari tidak lagi tampak. Serangga hutan ramai berbunyi menghisai akan datangnya malam. Bardan baru saja selesai membersihkan badan di kali. kain Surjannya dikenakan tanpa mengancingkan di bagian dadanya. Dada bidang Bardan nampak di mata Daruni yang sedang berdiri di depan gubuk menunggu Bardan selesai mandi. Mulut mungil Daruni belum berhenti mengunyah buas kelengkeng yang tadi siang di petik Bardan di pinggiran hutan. Mata Daruni tidak lepas memandangi Bardan yang sedang membetulkan ikat kepalanya. Daruni yang sudah tiga hari berada di atas gumuk bersama Bardan tidak bisa menyembunyikan sorot matanya yang menyiratkan suasana hatinya yang telah tertambat. " Kang kelengkengnya mansi banget, kang." Daruni berucap sambil matanya tidak lepas memandangi wajah Bardan. " Habiskan saja. Tadi aku sudah makan banyak." Jawab Bardan tanpa melihat ke Daruni yang sedang mengawasinya. Selesai dengan ikat kepala, Bardan membenahi kainnya yang menempel di tubuhnya dan mendekati Daruni. Tangan Daruni segera digamit dan ditarik masuk ke dalam gubuk. Daruni kaget tangannya digamit dan diajak masuk gubuk. Daruni sangat senang. Apa yang akan dilakukan Bardan di dalam gubuk. Daruni sangat berharap Bardan akan berbuat sesuatu yang selama dua hari ini ditunggunya. Semalaman tadi malam dirinya dibiarkan tidur sendirian di dalam gubuk. Menengok dirinya saja tidak malam Bardan tidak melakukannya. Tiba - tiba sore menjelang malam ini, ketika badannya telah bersih oleh air kali, Bardan menarik masuk ke dalam gubuk. Jantung Daruni sempat berdesir. Perasaan bahagia dan senang menghinggapi relung kalbunya. Bardan pasti akan memeluknya. Menciumnya. Kemudian menindihnya. Dan dirinya akan pasrah dan menerima apa yang akan dilakukan Bardan. Daruni sudah bulat ingin menyerahkan segala yang dimilikinya untuk Bardan. Bardan yang telah menolongnya. Bardan lelaki baik yang telah membuat di hatinya ada kembang bermekaran. Bardan yang telah membuat hatinya tiba - tiba merasa teduh. Bardan yang telah membuatnya nyaman dan tiada takut - takut lagi. Bardan yang tiba - tiba membuat suasana hatinya ayem tentrem. Daruni akan menyerahkan semua kepada Bardan. Apa yang dilakukan Bardan akan diladeninya. Dirinya sudah sangat siap untuk diperbuat oleh Bardan. Selama keremajaannya hadir, Daruni belum pernah merasakan suka kepada seorang perjaka seperti yang dialaminya tiga hari ini. Banyak pemuda kademangan Sawang Argo yang gagah dan tampan yang berusaha menarik perhatiannya. Tetapi Daruni tidak pernah tertarik. Tidak pernah ada rasa. Mereka hanya dianggapnya sebagai perjaka lumrah di matanya. Bahkan Legino prajurit kademangan yang menjadi kesayangan ayahnya karena gagah, tampan dan keprigelannya olah pedang, yang selalu menyoba menarik perhatiannya, juga tidak pernah singgah di hatinya. Satu hari ketika dirinya sedang menunggui perawan - perawan menumbuk padi, Legino mendatanginya. Diantara suara alu gantang yang membentur lesung kayu, Legino mengajaknya bercanda. Bahkan bahasa Legino juga menyerempet - nyerempet kalau dirinya menyukai. Dengan gayanya sebagai tetunggul prajurit kademangan Legino berusaha merayu Daruni. Mendengar omongan Legino yang terus berusaha menarik simpatinya Daruni yang duduk di lesung kayu yang ditengkurapkan malah tertawa lepas keras dan renyah. Tawa Daruni yang kelepasan dan renyah menarik perhatian para perawan  yang sedang menggantang padi. Bahkan ada yang berceloteh : " Hayo ada apa itu ... kok gayeng banget." Mendengar dirinya digoda, Daruni yang manja malah nekat tertawa semakin lepas dan : " Ini lho ... kang Legino sedang merayu aku !" Mendengar Daruni berucap nekat begitu semua perawan meledakkan tertawanya dan menghentikan alunya yang membentur lesung. Seketika wajah Legino merah karena malu dan segera ngeloyor pergi menuju pendopo kademangan dimana para prajurit kademangan sedang menunggunya untuk latihan perang - perangan. Di dalam gubuk Bardan segera mengambil posisi duduk bersila. " Kamu duduk yang baik Runi, aku mau bicara." Bardan minta agar Daruni duduk dihadapannya. Daruni ragu. Masih tetap berdiri membungkuk di dalam gubuk karena kalau berdiri tegak kepalanya menyundul langit - langit gubuk. Daruni bengong. Karena di pikirannya di dalam gubuk Bardan akan menarik tangannya dan dirinya akan jatuh ke pelukan Bardan. Dan selanjutnya Bardan akan membuatnya senang dan bahagia. " Ayo duduk Runi ! Kenapa malah bengong !" Bardan memerintah dengan nada serius. Daruni kecewa. Tetapi dihiburnya dirinya dengan pikirannya. Barangkali nanti kang Bardan akan memeluknya. Sekarang pasti sedang mau mengajaknya omong - omong. Daruni duduk bersimpuh di hadapan Bardan. Suasana sore semakin gelap. " Dengar Runi. Malam ini nanti jika rembulan sudah muncul aku mau mengantarmu ke pondok simbok." Mendengar ini Daruni kaget dan mulutnya sedikit membuka mau bicara , tetapi keburu disahut Bardan : " Jangan bicara dan jangan tanya. Dengarkan saja !" Daruni kembali menutup mulutnya dan matanya menatap Bardan yang mulai samar - samar di matanya karena gelapnya sore di gumuk yang banyak pohon besar dan semak belukar yang mengahalangin sinar matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. " Setelah kamu berada di pondok ceritakan semua yang kamu alami kepada semua orang yang ada di pondok. Kecuali satu, jangan pernah katakan kepada siapapun jika kamu pernah bertemu aku. Hanya kepada simbok kamu boleh membisikkan cerita jika kamu pernah mengenali aku. Ngerti Runi !" Bardan berhenti bicara dan mengambil napas panjang. Lagi - lagi mulut Daruni mau berucap. Bardan yang melihat Daruni mau berucap buru - buru :" Jangan tanya apapun. Nanti setelah tiba saatnya kamu akan tahu semuanya. Oh ya Runi ... panggil simbok dengan sebutan Nyi Tambi." Bardan bangkit dari duduk dan membungkuk menepuk - nepuk pundak Daruni dan keluar dari gubuk meninggalkan Daruni yang bingung dan terlongo - longo.
Rembulan muncul. Sinar merahnya menyapu tetumbuhan di sekitar gumuk. Di luar gubuk Daruni memeluk punggung Bardan yang berdiri tegak memandangi alur kali di bawah gumuk yang disinari rembulan bulat. " Kang, aku mau tinggal disini saja bersama kang Bardan. Aku ayem kang disini. Aku suka kang. Ya kang ... aku disini saja sama kang Bardan ... ya kang ya ... " Daruni mengetatkan pelukannya di punggung Bardan seolah tidak mau lepas. " Tidak bisa !" Bardan membentak tanpa bergeming dari posisi berdirinya yang tegak kaku. " Kang ... " Daruni manja. Bardan merendahkan tubuhnya setengah berjongkok : " Naik di punggungku. Kamu akan aku gendong !" Lagi - lagi Bardan membentak. Daruni ragu. " Kang ... " Daruni mau menangis. " Naik ... !" Bentak Bardan semakin keras. Daruni menaikkan kain jariknya sampai ke separo paha, kemudian naik digendongan punggung Bardan. Kedua tangan Daruni melingkar di pundak Bardan. Kedua tangan Bardan telah berada di kedua paha Daruni yang mengangkangi pinggulnya. Bardan berdiri tegak dan melangkah menuruni gumuk menuju kali. Sesampai di pinggiran kali Bardan menekuk lututnya, menjejakkan kakinya dan tubuhnya melayang melompat jatuh di batu besar di kali dan terus melompat bagai kucing ringan melompat di punggung terbebani Daruni. Setiap kali melambung dan jantung Daruni hanya bisa berdesir - desir dan menahan takut. Lompatan Bardan semakin cepat. Daruni mengatupkan pelupuk matanya tidak mau melihat sekeliling. Seiring dengan jantungnya yang bedegup dan perutnya berdesir - desir Daruni masih sempat pula menikmati pahanya yang dicengkeram lembut oleh jari - jari Bardan. Ada rasa geli nikmat di pahanya. Rasa inilah yang kemudian menindah rasa takutnya berada di punggung Bardan yang terus melompat - lompat. Setiap kali tangan Bardan memperbaiki cengkeraman lembutnya di pahanya Daruni semakin memelorotkan pantatnya. Daruni ingin tangan Bardan menyentuh miliknya. Terbayang di benak Daruni alangkah nikmatnya jika tangan Bardan tidak sengaja bisa menyapai miliknya. Daruni berusaha. Tetapi Bardan justru setiap kali Daruni berusaha melorot Bardan menjauhkan tangannya ke pangkal paha Daruni. Angin keras menerpa wajah Daruni setiap kali lompatan Bardan melambung. Setiap kali itu pula Daruni mengetatkan pelukannya di pungung Bardan. Dan setiap kali itu pula Bardan merasakan pungungnya ditekan gundukan di dada Daruni. Saat lompatan - lompatan Bardan pendek - pendek karena batu yang diinjaknya berjarak dekat Daruni semakin nekat berusaha. Kakinya agak diluruskan sehingga cengkeraman Bardan di pahanya terpaksan naik ke pangkal paha. Tidak urung disaat inilah tangan jari - jari Bardan menyentuh milik Daruni. Semakin Bardan menjauhkan tangan dari miliknya Daruni semakin berulah. Ahkirnya dengan terpaksa berkali - kali tangan Bardan menyentuh - nyentuh milik Daruni. Bardan menyadari dan pikirannya menjadi kacau. Punggungnya yang terus ditekan gundukan di dada Daruni dan tangannya yang menyentuh - nyentuh milik Daruni tidak bisa tidak mengganggu konsentrasinya. Kelelelakian berontak menyesak dan kaku. Bardan ahkirnya menghentikan lompatan dan berdiri di atas batu besar. Dan memelorotkan Daruni dari gendongannya di punggung. " Kok brenti, kang. Capai ?" Daruni membuka mulut. Rembulan semakin terang dan meninggi. Daruni kecewa kenikmatan yang sedang dirasakannya hilan. Tidak menanggapi pertanyaan Daruni, Bardan segera membopong Daruni. Kini dari tidak lagi di punggung Bardan tetapi berada di bopongannya. Daruni yang baru saja melingkarkan tangannya di leher Bardan sudah merasa tubuhnya dibawa melambung lagi oleh Bardan yang terus melompat. Kesempatan bagi Daruni sekarang bisa menempelkan pipinya di pipi Bardan. Dirasahakan hangat pipi Bardan. Dan Daruni nakal. Semakin nekat saja menempelkan dadanya dengan ketat di dada Bardan. Daruni bahagia. Daruni merasakan dibawa Bardan ke awang - awang. Daruni ingin berlama - lama. Daruni tidak ingin cepat sampai. Daruni memejamkan mata menikmati bopongan Bardan.Bardan berhenti melompat. Pandangannya ditebarkan ke sekeliling. Dirasa aman dengan sekali lompat Bardan dan Daruni yang ada di bopongan telah berada di gerumbul tanaman obat pondok Nyi Tambi. Bardan menurukan Daruni dari bopongannya. " Kang ... ?" Daruni ragu dan takut. Daruni masih erat memegangi tangan Bardan. " Terobos kebun obat ini. Kamu akan sampai di belakang pondok. Lihat itu pintu yang masih sedikit terbuka. Ketuk dan masuklah lewat pintu itu. Kepada siapa saja yang memberi pintu ke kamu, katakan kalau kamu harus ketemu Nyi Tambi. Cepat !" Bardan membentak dengan berbisik. Daruni segera meninggalkan Bardan. Tubuh mungilnya segera lenyap ditelan rimbunya kebun obat. Bardan terus mengawasi. Bardan melihat pintu dibuka. Cahaya terang menerangi sebagian kebun obat. Bardan membungkuk semakin dalam di rerimbunan tanaman. Tidak lama kemudian Bardan melihat pintu ditutup lagi. Kebun obat kembali gelap.


masih ada kelanjutannya ......................

Senin, 05 Agustus 2013

Candra Mawa 

                                                                                                edohaput


7

Rembulan menggantung di atas tetumbuhan hutan. Sinarnya menerangi alam sekitar gumuk dengan terang. Angin bertiup semilir membawa wanginya kembang - kembang rumputan dan semak belukar liar di atas gumuk. Daruni gelisah di dalam gubuk yang telah dibuat Bardan dengan tiang - tiang batang kayu, atap dan dinding dari anyaman pelepah daun kelapa. Berselimutkan anyaman daun kelapa Daruni merasa hangat dari dinginnya malam. Cahaya rembulan menerobos masuk ke dalam gubuk lewat celah - celah dinding anyaman daun kelapa. Daruni gundah. Daruni berharap Bardan akan masuk ke gubuk dan memeluknya. Semakin menghangatkan tubuhnya yang sudah hangat ditutup anyaman daun kelapa. Daruni merasakan kenikmatan di dalam gubuk yang berlebih dibanding dengan tidur rumah kademangan dengan ranjang kayu yang besar. Berkasur kapas empuk dengan alas tikar dengan wangi pandan. Anyaman daun kelapa yang ditiduri sekarang jauh lebih membuatnya nyaman. Langit - langit gubuk yang hanya berupa ranting - ranting kayu dan anyaman daun kelapa jauh lebih menentramkan dari pada langit kamarnya yang ada di kademangan yang berupa anyaman kepang dengan cat labur warna putih. Cahaya di dalam gubuk yang hanya berupa cahaya rembulan yang menerobos masuk lewat celah - celah anyaman jauh lebih membuatnya aman dari pada cahaya lampu gantung yang besar dan terang di kademangan. 
Sejak Tumenggung Suro Blasah memaksa - maksa ayahnya agar memperbolehkan dirinya dibawa oleh Suro Blasah ke Kepatihan Mataram, membuat Daruni selalu ketakutan. Suasana kademangan yang sejak kecil adalah merupakan tempat yang menentramkan berubah menjadi rumah yang menakutkan. Rumah besar yang tidak ada tempat untuk bersembunyi dari kedatangan Suro Blasah. Suro Blasah yang sering mengunjungi rumahnya. Suro Blasah yang berbicara keras dan tertawa terbahak bagai menggelegarnya guntur. Sangat disayangkan ayahnya tidak berani menolak keinginan Suro Blasah. Tidak ada yang lain yang dilakukan ayahnya kecuali terus dan terus membujuk dirinya agar mau menerima dibawa Suro Blasah. Daruni sangat tahu ayahnya sangat takut akan kehilangan jabatannya sebagai demang. Kepatihan akan dengan mudah mencopot jabatan demang. Dan yang lebih menakutnya ayahnya adalah tuduhan berani melawan kebijakan keraton. Itu bisa membawa ayahnya dirangket dibawa ke Kepatihan untuk dipenjara dan menerima siksa. Dan yang lebih mengkawatirkan lagi Tumenggung Suro Blasah tega menghunus pedang dan memenggal kepala orang yang berani melawannya. Satu hari ayahnya pernah marah - marah karena dirinya tetap menolak untuk dibawa oleh Suro Blasah. Kalau sudah begitu Daruni hanya bisa berlari mencari mboknya dan menangis di pelukannya. Dan mboknyapun tidak bisa berbuat banyak kecuali ikut - ikut membujuknya. Daruni anak semata wayang demang Sawang Argo, perawan lincah yang banyak dikagumi perjaka - perjaka kademangan, perawan yang sangat bisa bermanja - manja dan banyak memeperoleh pelayanan dari para pembantu kademangan, berubah menjadi perawan yang murung  dan tidak mampu menyembunyikan kesedihannya. Hari - hari Daruni menjadi kelabu. Gelap membiru. Suatu hari ketika Tumenggung Suro Blasah datang di kademangan dan ingin melihat dirinya, dan ayahnya dengan nada marah memaksa agar mau menemui Suro Blasah di pendopo kademangan Daruni sangat ketakutan. Daruni yang terpaksa mau menemui Suro Blasah mendapat perlakuan yang sangat tidak mengenakkan. Tumenggung Suro Blasah dengan nekatnya memcengkeram lengannya dan menjentik - njentikkan jarinya yang besar dan panjang di payudaranya sambil merayu. Menawarkan berbagai kekayaan. Menawarkan kehidupan yang enak dan menyenangkan. Emas picis raja brana semuanya beruntun muncul bertaburan dari mulut Suro Blasah yang dipenuhi kumis tebal dan berjanggut lebat. Dagu Daruni diangkat - angkat dengan telunjuk. Dan Suro Blasah mendekat - dekatkan wajahnya ke wajah Daruni. Napas Suro Blasah yang bau cerutu dan tuak sangat membuat Daruni ingin muntah. Daruni yang menyoba meronta malah bokongnya sempat pula dielus - elus dan pahanya diremas - remas. Semua yang dilakukan Suro Blasah dirasakan sangat menjijikkan bagi Daruni. Kata - kata rayuan Suro Blasah yang meluncurkan segala keindah emas berlian didengarnya sangat memuakkan dan membuatnya terasa sangat terhina. Ahkirnya Daruni lebih memilih meninggalkan rumah. Lari tanpa tujuan. Matipun akan diterimanya dari pada harus melayani Suro Blasah yang sangat menjijikan.
" Kang aku kedinginan kang. Kang Bardan masuk saja ke gubuk . Peluk aku seperti kemarin malam. Aku kedinginan. Kaaang ... !" Dari dalam gubuk Daruni berteriak memanggil Bardan. Dari luar gubuk tidak ada sahutan. " Kaaaang .... !" Daruni teriak manja. Tidak ada jawaban. Daruni menyoba mengintip ke sekeliling di luar gubuk lewat celah - celah dinding gubuk. Bardan tidak ditemukan matanya. " Kaaaaang ... !" Daruni berteriak manja semakin keras. Lagi - lagi tidak ada sambutan. Daruni ingin lagi pelukan Bardan seperti kemarin malam. Bahkan Daruni ingin Bardan melakukan sesuatu dari sekedar memeluknya. Daruni ingin tubuhnya dielus. Daruni ingin yang lebih dari sekedar dipeluk. Bahkan pula Daruni ingin lebih dari sekedar dielus. Daruni membayangkan digemasi Bardan. Daruni ingin Bardan berbuat nekat pada dirinya. Terbayang di benak Daruni Bardan yang gemas lalu nekat meremas - remas gemas tubuhnya. Meinidihnya. Mengulengnya dengan penuh birahi cinta. Pikiran di benaknya ini tiba - tiba membuat badanya menjadi panas dingin. Tangannya tanpa dituntun pikirannya meluncur ke miliknya yang kalau tersentuh menimbulkan rasa aneh yang menyenangkan. Daruni melenguh kecil karena ketika tangannya telah sampai di miliknya ada rasa menyenangkan yang tidak tertahankan. Daruni menjadi menggeliat - geliatkan tubuhnya. Tetapi ketika panggilannya tidak disahut oleh Bardan, Daruni jadi gondok. Daruni merasa diabakan. Tidak ditanggapi. Daruni jengkel. Daruni bangkit dari telentangnya. Keluar gubuk. Ditebarkan pandangannya di sekitar gubuk. Ke sekeliling. Pandangan matanya tidak menemukan Bardan. Pandangan matanya malah menumbuk rembulan yang semakin meninggi. Tiba - tiba perasaannya dialiri rasa tentram dan bahagia. Di matanya rembulan nampak sebagai wajah Bardan yang sedang tersenyum. Daruni mengelus dadanya karena serasa ada yang menyesak di dalam dadanya. Rasa gembira, tentram dan bahagia. Kemana kang Bardan. Daruni berprasangka pasti bardan lagi menyari sesuatu untuk sarapan esuk pagi. Daruni kembali ke dalam gubuk membawa perasaan yang menyenangkan.
Dengan diterangi cahaya rembulan Bardan melompat ringan dari batu besar ke batu besar yang teronggok di kali. Bardan menyusuri kali dengan cara melompat dari batu ke batu. Tubuhnya dengan mudah melompat ringin bagai kucing yang sedang bermain. Kadang tubuhnya ringan melambung tinggi untuk menyapai batu - batu yang berjarak cukup jauh. Kadang tubuhnya hanya melakukan lompatan - lompatan kecil karena batu yang akan diinjaknya sebagai tumpuan berjarak dekat. Bardan sangat tahu kali yang sedang disusurinya ini akan melingkar dari melewati belakang pondok dimana mboknya, bapaknya dan para cantrik yang membantu mboknya dan bapaknya tinggal. Bardan ingin mengawasi dari dekat pondok mboknya. Bardan ingin tahu apakah pondoknya aman. Karena besuk Bardan bermaksud mengirim Daruni ke pondok mboknya ini. Bardan sangat percaya kalau pondoknya pasti tidak lepas dari intean prajurit telik sandi kepatihan Mataram. Dirinya yang selama ini dicari - cari parjurit Kepatihan dan prajurit Belanda pasti diperkirakan oleh mereka pulang ke rumah. Prajurit Belanda dan prajurit Kepatihan pasti sangat ingin merangketnya. Memenjarakannya. Bardan sangat percaya itu. Karena yang dilakukan dirinya sudah sangat merugikan Belanda dan Kepatihan. Bardan sudah banyak melakukan pencurian harta tangsi dan harta Kepatihan untuk dibagikan kepada rakyat yang sengsara karena tanam paksa dan pajak. Bahkan Bardan dengan pedangnya telah pula membunuh parjurit Belanda ketika satu malam dirinya melompati beteng tangsi dan kepergok  prajurit Belanda dan terjadi perkelahian. Bardan yang terpojok dan dikeroyok ahkirnya  tidak bisa berbuat lain kecuali dengan kemampuannya melawan. Dan tidak sedikit pula prajurit Kepatihan yang telah dicederainya. Dipatahkan tulang tangannya, ditebas kakinya dan lain - lain cidera.  Bardan menjadi incaran prajurit telik sandi. Bardan menjadi buruan Tumenggung Suro Blasah. Bardan sangat tahu itu. Bardan ingin tahu pondok mbok aman untuk Daruni. Besuk Bardan bermaksut mengirim Daruni ke pondok mboknya. Bardan terus melompat.
Bardan telah berada sangat dekat dengan pondoknya mboknya. Suasana Sepi. Yang terdengar hanya serangga yang sedang menyanyi. Tidak kedengaran di dalam pondok suara - suara. Bardan mengira mboknya, bapaknya dan para cantriknya sedang menikmati kelelahan di masing - masing peraduannya. Bardan melompat ke atas pohon sawo yang ada di depan pondok. Bardan ingin mengamati pendopo pondoknya. Walaupun malam biasa di sana ramai orang. Bahkan tidak jarang di pendopo pondok mboknya ini ada orang yang semalam berjaga. Siang hari pendopo pondok  mboknya selalu dipenuhi orang yang ingin mendapat obat dari mboknya. Bahkan tidak jarang pondok mboknya ini ada orang yang menginap karena ingin mendapat pelayanan pengobatan dari mboknya. Pondok mboknya selalu ramai. Tetapi malam ini Bardan melihat pondok mbok sepi. Bardan mengira lagi tidak banyak orang yang lagi butuh pertolongan mboknya. Bardan terus mengawasi. Terdengar suara batuk - batuk dari dalam pondok. Suara batuk - batuk bapaknya sangat tidak asing ditelinga. Pondok terlihat dan dirasakan Bardan aman. Bardan terus bertengger di cabang pohon sawo. Bardan ingin percaya malam - malam begini tidak ada orang yang mendekati pondok mboknya. Rembulan semakin meninggi. Bardan percaya pondok mboknya sedang tidak menjadi intean orang yang mengira dirinya di dalamnya. Bardan melompat turun dari pohon sawo tanpa menimbulkan suara. Kembali melompat turun ke kali dan melompat dari batu ke batu menyusuri kali untuk kembali ke gumuk dimana disana ada Daruni yang sedang menikmati kasur pelepah daun kelapa dan cahaya rembulan yang menerangi gubuk. Dipikiran Bardan Daruni sedang pulas tertidur. Dan dirinya tidak akan mengganggu kepulasan tidurnya Daruni. Daruni perawan cantik yang telah dilihat kepolosan tubuhnya. Daruni yang tiba - tiba telah menyentuh kalbunya. Menguak batinnya untuk mau mengenal perawan lebih jauh. Di perasaan dan dipikiran Bardan selama ini tidak pernah ada bayangan perawan. Yang ada hanya rasa benci terhadap Kepatihan yang sangat memihak Belanda yang menyengsarakan rakyat dan telah menipu Pangeran junjungannya yang sekarang telah ditangkap dan dipenjarakan entah dimana. 

masih ada kelanjutannya ...................
Candra Mawa 

                                                                                                 edohaput


6

Matahari mulai meninggi. Sinarnya menerobos rimbunnya dedauanan. Tubuh Bardan yang masih tersandar di pangkal pohon besar, pelupuk matanya tidak urung merasa kena sinar matahari yang menyilaukan. Bardan membuka mata. melihat ke kiri kanan. Daruni yang semalam ada di pangkuannya tidak tampak. Bardan bangkit. Bardan menuruni gumuk. Bardan mengira Daruni pasti sedang berada di kali. Di pingir kali yang dipenuhi bebatuan besar pandangan Bardan menyapu kesana kemari. Matanya tertumbuk pada sebuah batu yang di atasnya ada dibentangkan kain jarik dan kain kebaya milik Daruni. Bardan tahu Daruni sedang membersihkan badan dan tadi mencuci kainnya. Bardan tahu Daruni pasti sedang mandi. Bardan tidak mau mengganggu Daruni yang sedang menikmati beningnya air kali sejuk menyegarkan. Bardan kembali melangkah menininggalkan pinggiran kali. Belum genap tiga langkah Bardan mau meninggalkan kali untuk kembali naik ke gumuk didengarnya namanya dipanggil Daruni. " Kang ... Bardan kesini kang aku sedang mandi !" Bardan kaget dengan panggilan Daruni ini. Bardan tahu kalau Daruni pasti sedang tidak mengenakan kain selembarpun. Mengapa memanggilnya untuk datang. Apa maksud Daruni ini. Bardan menoleh ke arah suara. Tidak dilihatnya Daruni yang berada di balik batu besar. Rupanya kedatangannya di pinggiran kali diketahui Daruni.  " Kang kesini kang ... !" Lagi - lagi Daruni berteriak dari balik batu. Bardan tidak menggubris panggilan Daruni. Kembali kakinya melangkah mau meninggalkan pinggiran kali. Lagi - lagi kakinya belum genap melangkah empat langkah punggungnya kena timpuk batu kecil yang dilemparkan Daruni. " Kaaang .... !" Suara Daruni terdengar manja. Bardan kembali menghentikan langkah. Keraguannya semakin menjadi. Mengapa Daruni memintanya untuk datang. Bukankah Daruni sedang tidak berkain. Lalu kalau dirinya menuruti kemauan Daruni apa Daruni tidak malu tubuh telanjangnya dilihat lelaki yang baru saja dikenalnya. Bardan juga tidak mau dirinya nanti akan berbuat tidak semestinya jika melihat tubuh perawan yang tidak dikenankan kain secuilpun. " Kang ... ini lho ada ikan besar. Ditangkap kang nanti kita bakar untuk sarapan !" Kembali Daruni berteriak. Bardan bingung. Antara ikan besar dan tubuh Daruni yang pasti sedang telanjang. " Cepat kang nanti keburu ikannya lari !" Daruni berteriak semakin keras. Bardan lagi - lagi tidak menggubris panggilan Daruni dan malah melangkah pergi  " Kaaaang ...!" Daruni teriak manja keras sekali. Bardan terpaksa menghentikan langkah dan menoleh. Mata Bardan terbeliak kaget ketika dilihatnya Daruni muncul dari balik batu. Tubuh telanjang  mulai dari perut ke atas sisanya masih tertutup batu dilihat Bardan. Bardan bisa melihat kulit bersih Daruni mulai dari perut sampai ke wajahnya. Di dadanya yang ada gundukan dua gunung tegak berdiri dengan puncak - puncaknya  yang masih kecil dan berwarna kemerahan singgah di mata Bardan. Rambut panjang sebahu Daruni terurai sampai ke bahu dan sebagian terkibas - kibas angin dan bermain di dadanya. Bardan melihat kemolek tubuh dan kencantikan wajah Daruni. Tidak urung kelelakiannya tergugah. Menggeliat dan menyesak. Bardan tidak mau akan terjadi sesuatu pada dirinya. Maka cepat - cepat Bardan membalikkan tubuh memunggungi Daruni. Daruni membungkuk dan mengambil batu kecil dan ditimpukkan ke punggung Bardan. " Kang ... ikannya keburu lari. Kang ... aku ingin makan ikan ... !" Daruni manja. Kemanjaan Daruni seolah bermanja dengan orang yang telah lama dikenalnya.
Daruni telah jatuh hati pada pandangan pertama. Ketika matanya kemarin terbuka pada saat dirinya siuman dari pingsannya melihat lelaki berwajah tampan, bertubuh kekar kokoh berjongkok di sampingnya. Daruni tahu Bardan yang telah menolongnya mengangkat tubuhnya dari pinggiran kali dan menelentangkan di pelepah daun kelapa tidak berbuat tidak baik pada dirinya. Tidak terjadi perubahan apa - apa pada dirinya. Lebih - lebih semalaman tadi malam dirinya berada di pangkuan dan dipelukan Bardan. Juga tidak terjadi apa - apa, kecuali tangan Bardan yang memeluknya untuk menghangatkan tubuhnya. Jika saja Bardan akan berbuat pasti semalam pasti sudah dilakukan. Ternyata tidak. Ini membuktikan pada dirinya bahwa lelaki yang menolongnya ini orang baik. Daruni sangat mempercayai Bardan tidak akan memperdayanya. Maka ketika tubuh dirinya ini sedang tidak tertutup sehelai benangpun dirinya berani nekat mengundang Bardan untuk mendekatinya. Daruni tahu orang perkasa tampan yang baru dikenalnya ini tidak akan berbuat tidak baik pada dirinya. Kalaupun dirinya diperbuat oleh orang yang menolongnya ini, Daruni terima. Dari pada tubuhnya dibuat hancur lebur oleh perbuatan Tumenggung Suro Blasah. Seandainya saja dirinya tidak lari meninggalkan rumah, pasti tubuhnya sekarang ini sedang dikuasai Suro Blasah. Diperdaya dengan kasar dan kemudian diserahkan ke tangsi Belanda untuk dijadikan jongos dan dijadikan gula - gula bagi para prajurit Belanda. Daruni sudah banyak mendengar tentang perawan - perawan desa yang dengan paksa oleh Tumenggung Suro Blasah di bawa ke tangsi. Walaupun ketika mereka pulang mengunjungi desa banyak berhiaskan emas, tetapi pada umumnya tidak tahan terhadap perlakuan Suro Blasah yang kasar dan menyakitkan. Daruni akan menerimakan jika dirinya diperbuat oleh Bardan. Bardan yang tiba - tiba kini membuat hatinya ada bunga - bunga yang bermekaran. 
Bardan yang terus mendengar teriakan manja Daruni yang ingin ikan menjadi luluh. Dengan sekali melompat Bardan telah berada di atas batu dekat Daruni berdiri. " Mana ikannya, Runi ?" Mata Melirik ke arah Daruni. Bardan menjadi melihat sekujur tubuh Daruni yang sedang telanjang. Kaki yang panjang dengan paha yang nampak bersih padat. Dan nampak pula di mata Bardan milik Daruni yang baru ditumbuhi rambut halus berada di antara pangkal pahanya. Dan Daruni yang berdiri agak kangkang membuat mata Bardan bisa melihat belahan milik Daruni. Pemandangan yang sangat indah bagi mata Bardan. Kelelakian Bardan menjadi semakin berontak. " Itu kang ! Cepat tangkap !" Daruni menunjuk ke arah ikan yang sedang berada di riaknya air bening. Bardan tidak segera mengubah arah matanya ke arah ikan yang ditunjuk Daruni. Tetapi malah menjadi bengong melihat tubuh Daruni. " Lhok kok malah melihat aku ta kang. Itu ikannya ditangkap !" Daruni tersenyum cantik melihat Bardan yang bengong. Daruni tahu kalau Bardan sedang menikmati tubuhnya dengan matanya. Bardan kaget dan malu. Dengan cekatan Bardan terjun ke air dan dengan sekali gerakan ikan derbang besar sudah berada di tangannya. Daruni bersorak gembira dab berjingkrak, melupakan tubuh telanjangnya. Sekali lagi Bardan bisa melihat tubuh indah Daruni. Tubuh perawan cantik yang kemarin ditemukannya pingsan di pinggiran kali. Bardan tidak ingin berlama - lama menikmati tubuh Daruni dengan matanya. Bardan takut dirinya tidak terkendali. Maka dengan cekatan dan tangkas bagai kucing yang dengan ringannya melompat dari batu ke batu dan segera lenyap dari pandangan Daruni yang sedang terkagum - kagum. Daruni semakin percaya kalau Bardan bukan lelaki sembarangan. Bardan pasti lelaki yang berilmu. Jika tidak mana mungkin Bardan bisa melakukan lompatan jauh dan ringan dengan cepat. Laksana hanya berkelebat bagai daun yang melayang tertiup angin kencang. Daruni sangat sering melihat para prajurit kademangan berlatih perang - perangan yang dipimpin oleh ayahnya. Tetapi tidak ada yang bisa setangkas Bardan ketika melompat. Bahkan ayahnya yang terkenal sebagai jagoan bela diri di Sawang Argo belum pernah dilihatnya melakukan lompatan seperti yang dilakukan Bardan. Daruni semakin jatuh hati. Daruni semakin percaya jika Bardan adalah orang baik yang bukan juga orang kebanyakan. Tiba - tiba ada rasa aneh mengaliri tubuhnya. Bardan nampak di depannya. Sedang akan memeluknya. Tidak diketahui dari mana asalnya tiba - tiba napasnya memburu. Tidak terasa tangannya telah meraba payudaranya dan menekan kemudian meremasnya. Berlama - lama tangannya berada di payudaranya. Tidak dituntun oleh pikirannyapun tangannya bergerak ke bawah menelusuri perut dan meraba selangkanganya. Beberapa saat tangannya ada disana, Daruni tiba - tiba mendesah dan kemudian tersadar. Tiba - tiba juga pikirannya dialiri rasa malu yang berlebihan. Daruni kemudian menceburkan tubuh telanjangnya di air kali. " Kang ... Kang Bardan ... ah ... kang." Mulut mungilnya berucap lirih. Daruni menenggelamkan tubuhnya di air kali yang jernih, bening, dan menyejukkan tubuh dan hatinya.

masih ada kelanjutannya .................