Jumat, 09 Agustus 2013

Candra Mawa 


                                                                                         edohaput


8

Sore. Suasana redup. Matahari tidak lagi tampak. Serangga hutan ramai berbunyi menghisai akan datangnya malam. Bardan baru saja selesai membersihkan badan di kali. kain Surjannya dikenakan tanpa mengancingkan di bagian dadanya. Dada bidang Bardan nampak di mata Daruni yang sedang berdiri di depan gubuk menunggu Bardan selesai mandi. Mulut mungil Daruni belum berhenti mengunyah buas kelengkeng yang tadi siang di petik Bardan di pinggiran hutan. Mata Daruni tidak lepas memandangi Bardan yang sedang membetulkan ikat kepalanya. Daruni yang sudah tiga hari berada di atas gumuk bersama Bardan tidak bisa menyembunyikan sorot matanya yang menyiratkan suasana hatinya yang telah tertambat. " Kang kelengkengnya mansi banget, kang." Daruni berucap sambil matanya tidak lepas memandangi wajah Bardan. " Habiskan saja. Tadi aku sudah makan banyak." Jawab Bardan tanpa melihat ke Daruni yang sedang mengawasinya. Selesai dengan ikat kepala, Bardan membenahi kainnya yang menempel di tubuhnya dan mendekati Daruni. Tangan Daruni segera digamit dan ditarik masuk ke dalam gubuk. Daruni kaget tangannya digamit dan diajak masuk gubuk. Daruni sangat senang. Apa yang akan dilakukan Bardan di dalam gubuk. Daruni sangat berharap Bardan akan berbuat sesuatu yang selama dua hari ini ditunggunya. Semalaman tadi malam dirinya dibiarkan tidur sendirian di dalam gubuk. Menengok dirinya saja tidak malam Bardan tidak melakukannya. Tiba - tiba sore menjelang malam ini, ketika badannya telah bersih oleh air kali, Bardan menarik masuk ke dalam gubuk. Jantung Daruni sempat berdesir. Perasaan bahagia dan senang menghinggapi relung kalbunya. Bardan pasti akan memeluknya. Menciumnya. Kemudian menindihnya. Dan dirinya akan pasrah dan menerima apa yang akan dilakukan Bardan. Daruni sudah bulat ingin menyerahkan segala yang dimilikinya untuk Bardan. Bardan yang telah menolongnya. Bardan lelaki baik yang telah membuat di hatinya ada kembang bermekaran. Bardan yang telah membuat hatinya tiba - tiba merasa teduh. Bardan yang telah membuatnya nyaman dan tiada takut - takut lagi. Bardan yang tiba - tiba membuat suasana hatinya ayem tentrem. Daruni akan menyerahkan semua kepada Bardan. Apa yang dilakukan Bardan akan diladeninya. Dirinya sudah sangat siap untuk diperbuat oleh Bardan. Selama keremajaannya hadir, Daruni belum pernah merasakan suka kepada seorang perjaka seperti yang dialaminya tiga hari ini. Banyak pemuda kademangan Sawang Argo yang gagah dan tampan yang berusaha menarik perhatiannya. Tetapi Daruni tidak pernah tertarik. Tidak pernah ada rasa. Mereka hanya dianggapnya sebagai perjaka lumrah di matanya. Bahkan Legino prajurit kademangan yang menjadi kesayangan ayahnya karena gagah, tampan dan keprigelannya olah pedang, yang selalu menyoba menarik perhatiannya, juga tidak pernah singgah di hatinya. Satu hari ketika dirinya sedang menunggui perawan - perawan menumbuk padi, Legino mendatanginya. Diantara suara alu gantang yang membentur lesung kayu, Legino mengajaknya bercanda. Bahkan bahasa Legino juga menyerempet - nyerempet kalau dirinya menyukai. Dengan gayanya sebagai tetunggul prajurit kademangan Legino berusaha merayu Daruni. Mendengar omongan Legino yang terus berusaha menarik simpatinya Daruni yang duduk di lesung kayu yang ditengkurapkan malah tertawa lepas keras dan renyah. Tawa Daruni yang kelepasan dan renyah menarik perhatian para perawan  yang sedang menggantang padi. Bahkan ada yang berceloteh : " Hayo ada apa itu ... kok gayeng banget." Mendengar dirinya digoda, Daruni yang manja malah nekat tertawa semakin lepas dan : " Ini lho ... kang Legino sedang merayu aku !" Mendengar Daruni berucap nekat begitu semua perawan meledakkan tertawanya dan menghentikan alunya yang membentur lesung. Seketika wajah Legino merah karena malu dan segera ngeloyor pergi menuju pendopo kademangan dimana para prajurit kademangan sedang menunggunya untuk latihan perang - perangan. Di dalam gubuk Bardan segera mengambil posisi duduk bersila. " Kamu duduk yang baik Runi, aku mau bicara." Bardan minta agar Daruni duduk dihadapannya. Daruni ragu. Masih tetap berdiri membungkuk di dalam gubuk karena kalau berdiri tegak kepalanya menyundul langit - langit gubuk. Daruni bengong. Karena di pikirannya di dalam gubuk Bardan akan menarik tangannya dan dirinya akan jatuh ke pelukan Bardan. Dan selanjutnya Bardan akan membuatnya senang dan bahagia. " Ayo duduk Runi ! Kenapa malah bengong !" Bardan memerintah dengan nada serius. Daruni kecewa. Tetapi dihiburnya dirinya dengan pikirannya. Barangkali nanti kang Bardan akan memeluknya. Sekarang pasti sedang mau mengajaknya omong - omong. Daruni duduk bersimpuh di hadapan Bardan. Suasana sore semakin gelap. " Dengar Runi. Malam ini nanti jika rembulan sudah muncul aku mau mengantarmu ke pondok simbok." Mendengar ini Daruni kaget dan mulutnya sedikit membuka mau bicara , tetapi keburu disahut Bardan : " Jangan bicara dan jangan tanya. Dengarkan saja !" Daruni kembali menutup mulutnya dan matanya menatap Bardan yang mulai samar - samar di matanya karena gelapnya sore di gumuk yang banyak pohon besar dan semak belukar yang mengahalangin sinar matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. " Setelah kamu berada di pondok ceritakan semua yang kamu alami kepada semua orang yang ada di pondok. Kecuali satu, jangan pernah katakan kepada siapapun jika kamu pernah bertemu aku. Hanya kepada simbok kamu boleh membisikkan cerita jika kamu pernah mengenali aku. Ngerti Runi !" Bardan berhenti bicara dan mengambil napas panjang. Lagi - lagi mulut Daruni mau berucap. Bardan yang melihat Daruni mau berucap buru - buru :" Jangan tanya apapun. Nanti setelah tiba saatnya kamu akan tahu semuanya. Oh ya Runi ... panggil simbok dengan sebutan Nyi Tambi." Bardan bangkit dari duduk dan membungkuk menepuk - nepuk pundak Daruni dan keluar dari gubuk meninggalkan Daruni yang bingung dan terlongo - longo.
Rembulan muncul. Sinar merahnya menyapu tetumbuhan di sekitar gumuk. Di luar gubuk Daruni memeluk punggung Bardan yang berdiri tegak memandangi alur kali di bawah gumuk yang disinari rembulan bulat. " Kang, aku mau tinggal disini saja bersama kang Bardan. Aku ayem kang disini. Aku suka kang. Ya kang ... aku disini saja sama kang Bardan ... ya kang ya ... " Daruni mengetatkan pelukannya di punggung Bardan seolah tidak mau lepas. " Tidak bisa !" Bardan membentak tanpa bergeming dari posisi berdirinya yang tegak kaku. " Kang ... " Daruni manja. Bardan merendahkan tubuhnya setengah berjongkok : " Naik di punggungku. Kamu akan aku gendong !" Lagi - lagi Bardan membentak. Daruni ragu. " Kang ... " Daruni mau menangis. " Naik ... !" Bentak Bardan semakin keras. Daruni menaikkan kain jariknya sampai ke separo paha, kemudian naik digendongan punggung Bardan. Kedua tangan Daruni melingkar di pundak Bardan. Kedua tangan Bardan telah berada di kedua paha Daruni yang mengangkangi pinggulnya. Bardan berdiri tegak dan melangkah menuruni gumuk menuju kali. Sesampai di pinggiran kali Bardan menekuk lututnya, menjejakkan kakinya dan tubuhnya melayang melompat jatuh di batu besar di kali dan terus melompat bagai kucing ringan melompat di punggung terbebani Daruni. Setiap kali melambung dan jantung Daruni hanya bisa berdesir - desir dan menahan takut. Lompatan Bardan semakin cepat. Daruni mengatupkan pelupuk matanya tidak mau melihat sekeliling. Seiring dengan jantungnya yang bedegup dan perutnya berdesir - desir Daruni masih sempat pula menikmati pahanya yang dicengkeram lembut oleh jari - jari Bardan. Ada rasa geli nikmat di pahanya. Rasa inilah yang kemudian menindah rasa takutnya berada di punggung Bardan yang terus melompat - lompat. Setiap kali tangan Bardan memperbaiki cengkeraman lembutnya di pahanya Daruni semakin memelorotkan pantatnya. Daruni ingin tangan Bardan menyentuh miliknya. Terbayang di benak Daruni alangkah nikmatnya jika tangan Bardan tidak sengaja bisa menyapai miliknya. Daruni berusaha. Tetapi Bardan justru setiap kali Daruni berusaha melorot Bardan menjauhkan tangannya ke pangkal paha Daruni. Angin keras menerpa wajah Daruni setiap kali lompatan Bardan melambung. Setiap kali itu pula Daruni mengetatkan pelukannya di pungung Bardan. Dan setiap kali itu pula Bardan merasakan pungungnya ditekan gundukan di dada Daruni. Saat lompatan - lompatan Bardan pendek - pendek karena batu yang diinjaknya berjarak dekat Daruni semakin nekat berusaha. Kakinya agak diluruskan sehingga cengkeraman Bardan di pahanya terpaksan naik ke pangkal paha. Tidak urung disaat inilah tangan jari - jari Bardan menyentuh milik Daruni. Semakin Bardan menjauhkan tangan dari miliknya Daruni semakin berulah. Ahkirnya dengan terpaksa berkali - kali tangan Bardan menyentuh - nyentuh milik Daruni. Bardan menyadari dan pikirannya menjadi kacau. Punggungnya yang terus ditekan gundukan di dada Daruni dan tangannya yang menyentuh - nyentuh milik Daruni tidak bisa tidak mengganggu konsentrasinya. Kelelelakian berontak menyesak dan kaku. Bardan ahkirnya menghentikan lompatan dan berdiri di atas batu besar. Dan memelorotkan Daruni dari gendongannya di punggung. " Kok brenti, kang. Capai ?" Daruni membuka mulut. Rembulan semakin terang dan meninggi. Daruni kecewa kenikmatan yang sedang dirasakannya hilan. Tidak menanggapi pertanyaan Daruni, Bardan segera membopong Daruni. Kini dari tidak lagi di punggung Bardan tetapi berada di bopongannya. Daruni yang baru saja melingkarkan tangannya di leher Bardan sudah merasa tubuhnya dibawa melambung lagi oleh Bardan yang terus melompat. Kesempatan bagi Daruni sekarang bisa menempelkan pipinya di pipi Bardan. Dirasahakan hangat pipi Bardan. Dan Daruni nakal. Semakin nekat saja menempelkan dadanya dengan ketat di dada Bardan. Daruni bahagia. Daruni merasakan dibawa Bardan ke awang - awang. Daruni ingin berlama - lama. Daruni tidak ingin cepat sampai. Daruni memejamkan mata menikmati bopongan Bardan.Bardan berhenti melompat. Pandangannya ditebarkan ke sekeliling. Dirasa aman dengan sekali lompat Bardan dan Daruni yang ada di bopongan telah berada di gerumbul tanaman obat pondok Nyi Tambi. Bardan menurukan Daruni dari bopongannya. " Kang ... ?" Daruni ragu dan takut. Daruni masih erat memegangi tangan Bardan. " Terobos kebun obat ini. Kamu akan sampai di belakang pondok. Lihat itu pintu yang masih sedikit terbuka. Ketuk dan masuklah lewat pintu itu. Kepada siapa saja yang memberi pintu ke kamu, katakan kalau kamu harus ketemu Nyi Tambi. Cepat !" Bardan membentak dengan berbisik. Daruni segera meninggalkan Bardan. Tubuh mungilnya segera lenyap ditelan rimbunya kebun obat. Bardan terus mengawasi. Bardan melihat pintu dibuka. Cahaya terang menerangi sebagian kebun obat. Bardan membungkuk semakin dalam di rerimbunan tanaman. Tidak lama kemudian Bardan melihat pintu ditutup lagi. Kebun obat kembali gelap.


masih ada kelanjutannya ......................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar