Jumat, 13 Desember 2013

Candra Mawa

                                                                                          edohaput


29

Pondok Tambi kembali ramai di kunjungi orang - orang sakit yang perlu mendapat pertolongan. Beberapa waktu setelah digeruduk oleh Tumenggung Suro Blasah bersama para prajurit kepatihan dan para prajurit kademangan Sawang Argo, pondok Tambi sempat mencekam dan sepi dari orang. Mereka pada takut akan adanya serangan dari Suro Blasah dan para prajuritnya. Pondok Tambi kembali damai, sejuk dan membuat kerasan siapa saja yang mendatanginya. Celoteh para cantrik perawan yang tidak pernah berhenti saling ejek, saling poyok, saling melontarkan kata - kata jenaka dengan para cantrik perjaka selalu membuat suasana pondok Tambi ceria. 
Daruni yang sementara waktu diungsikan oleh Bardan juga telah kembali berbinar - binar dan selalu sibuk membantu Nyi Tambi dan Ki Tambi melayani pasien. Daruni juga tidak lepas dari olok - olok para cantrik. Daruni yang diungsikan oleh Bardan beberapa hari entah kemana selalu dipoyok para cantrik. Dan jika poyok - poyok sudah sampai kepada yang menjurus hubungan antara Daruni dan Bardan, Daruni hanya bisa tersipu, pipi memerah dan segera meninggalkan para cantrik yang tertawa renyah. Terkecuali Jambul. Jambul justru memberengut jika para cantrik menggoda Daruni. Dan godaan - godaan itu mengarah kepada hubungannya dengan Bardan. Jambul merasa ada yang sakit dan dongkol di hatinya. Pini yang tahu Jambul kekasihnya ini selalu cemburu jika Daruni di poyok - poyok dengan Bardan, justru semakin menjadi - jadi cara moyoknya Daruni. " Wah , selama mengungsi sama den Bardan jeng Runi pasti ... pasti diapa - apakan sama den Bardan ... ya enggak jeng Runi." Kalimat Pini yang disertai melirikkan mata ke arah Jambul ini, membuat Jambul sangat sakit. Dan Jambulpun segera angkat kaki dari kerumunan para cantrik. Pergi pindah tempat dengan membawa rasa cemburunya yang menyesak di dada.
Menjelang sore. Matahari redup. Daruni nampak kelelahan. Masih ada beberapa pasien yang harus dilayaninya. Keringat yang membasahi keningnya, hanya bisa dilap dengan kain lengan kebayanya karena jari - jari tangannya sibuk menakar obat. Bubuk biji benalu mangga harus ditakar dengan perbandingan yang pas dengan bubuk akar anggrek bulan, bubuk biji buah maja, bubuk akar pegagan dan bubuk daun wora - wari. Ramuan obat yang kemudian akan dicampur dengan madu tawon endhas ini akan segera diberikan kapada pasien yang perutnya membengkak keras. Sambil terus meracik obat, pikiran Daruni terus dan terus melayang ke Bardan. Bardan yang beberapa hari menyembunyikannya di dalam hutan. Bardan membuatkan gubuk yang hangat untuk berlindung. Bardan selalu menjaganya dari binatang buas hutan. Bardan menyarikannya buah - buahan segar untuk makannya. Di kala malam Bardan selalu dekat dengan gubuk yang di dalamnya ada dirinya. Bardan yang menungguinya dengan cara memunggunginya saat di mandi di  sungai. 
Daruni ingat betul bagaimana Bardan memperlakukan dirinya. Daruni yang menyintai Bardan dan sudah beberapa bulan merindukannya, tiba - tiba dibawanya ke hutan untuk bersembunyi, menjadi sangat senang bisa bersama Bardan. Rindu dendamnya memperoleh obat. Hanya saja yang diharapkan Daruni, Bardan memeluknya, menyentuhnya dan menyumbunya tidak terjadi. Dikala sedang membersihkan badan di pancuran yang dibuat Bardan, Daruni nekat melepaskan semua kainnya. Dan berteriak ada ular datang di dekatnya. Bardan yang berdiri agak jauh dan memunggunginya tidak bergeming. Menolehpun tidak. Rupanya Bardan tahu kalau dirinya berbohong. Daruni hanya bisa mendongkol. Bardan tidak mau memperhatikannya. Maksud hati dengan dirinya tanpa busana dan dilihat Bardan, Bardan akan mendekatinya. Kemudian memeluknya. Meraba seluruh tubuhnya. Dan dirinya bisa benar - benar melepas rindu dengan orang yang dicintainya. Dikala malam Daruni selalu merengek agar Bardan masuk ke dalam gubuk dan memeluknya. menghangatinya dari udara dingin yang menerobos masuk ke gubuk. Dan rengekannya tidak pernah digubris Bardan. Daruni ingin sekali Bardan masuk ke dalam gubuk kemudian memeluknya erat. Menyiumi pipi dan bibirnya yang memang sudah sangat disediakan untuk orang yang sangat dirindukannya. Daruni sudah sengaja mengendorkan kain bawahnya. Sudah sengaja membukai kancing kebayanya. Agar ketika Bardan masuk ke gubuk tidak ada kesulitan lagi untuk menggerayangi dirinya. Daruni berharap kenikmatan akan didapatkan dari orang yang dicintainya. Daruni juga berharap bisa memberikan segelanya bagi orang yang telah dengan rela dan tulus menolongnya. Daruni ingin dicengkeram tangan kuat Bardan. Daruni ingin tubuhnya luluh di pelukan orang yang dianggapnya sangat perkasa. Daruni sangat ingin tubuhnya bisa menyenangkan kekasihnya ini. Dirinya takut tubuhnya akan didahului digerayangi oleh orang yang bisa menguasainya. Daruni ingin menyerahkan segala kepada orang yang sangat selalu dirindukannya. Dirinya akan sangat senang bila malam begini ini bisa dinikmati bersama orang yang sangat dibanggakannya. Tubuhnya menjadi sangat kaku. Dan pikirannya menjadi sangat kacau ketika rengekannya tidak digubris. Angan - angannya yang sangat berharap kehangatan segera akan didapat, dan urung terjadi membuat daruni menjadi sangat gelisah. Matanya sulit terpejam. Dadanya terasa panas, keras dan kaku. Ini semua tiba - tiba menuntun tangannya untuk menelusur meraba dadanya. Gundukan gunung kembarnya dirabanya sendiri dan dibayangkan tangan Bardan yang sedang menelusurnya. Kemudian diremasnya sendiri. Dibayangkan tangan Bardan yang meremasnya. Sementara tangan kirinya terus berada di dadanya yang menggunung, tangan yang lain telah menelusur ke bawah. Daruni mendesah karena tubuhnya dirasuki rasa nikmat yang sangat menyenangkan. Terus dan terus Daruni melakukannya dan desahan demi desahan sengaja tidak ditahan agar didengar Bardan yang ada diluar gubuk. Desahan dan rintihan Daruni yang makin keras dan makin nekat ternyata tidak didengar Bardan. Karena begitu sekali mendengar Daruni mendesah dan memanggil namanya Bardan segera melompat ringan ke atas cabang pohon bersar dan segera merebahkan di cabang pohon yang besarnya hampir tiga kali lipat besar tubuhnya. Apa yang diharapkan Daruni sia - sia. Tetapi setidaknya tubuhnya terobati oleh ulahnya sendiri. Dan Daruni segera terlelap karena kelelahannya dan kepuasan tubuhnya yang kembali lemas dan lega. Ketika oleh Bardan dengus lembut napas Daruni terdengar oleh Bardan. Menandakan Daruni telah terlelap, tubuh Bardan meluncur ringan dari pohon dan kemudian beralaskan rumput dan anyaman daun kelapa Bardan merebahkan dirinya didekat gubuk yang di dalamnya ada perawan yang sangat disayanginya. Dan berharap kelak akan menjadi pendamping hidupnya.

masih ada kelanjutannya ................

Kamis, 28 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                            edohaput 

28

Lereng Merapi. Sore. Gerimis kecil turun dari langit. Matahari tertutup mendung. Dingin. Sarminah ada di depan tungku mengatur api agar air yang dijerang segera mendidih. Sarminah tahu jika udara dingin seperti ini Ki Poleng pasti segera akan berteriak minta dibuatkan teh kental manis dan panas. Api tungku yang berkilat - kilat menyilaukan matanya tidak dihiraukan. Matanya seolah tidak melihat api. Yang ada di pelupuk matanya adalah Tilem yang sedang menggelinjang nikmat di pangkuan Ki Poleng yang sedang mempermainkannya. Suara rintihan dan desahan Tilem terdengar jelas dari dapur. Dan seperti biasanya Tilem tidak malu - malu mendesah keras jika sedang menyapai nikmat. Dari suaranya yang terus merintih dan mendesah - desah Sarminah bisa menduga jika Tilem lagi dipangku oleh Ki Poleng dan diraba - raba seluruh lekuk tubuhnya. Sore yang gerimis, dingin,  sangat menyenangkan jika berhangat - hangat dengan tubuh. Sarminah tidak ingin melihat yang sedang terjadi di ruang tengah pondok Ki Poleng. Bagi Sarminah suara - suara sudah cukup. Dan lebih baik pikirannya saja yang membayangkang seiring dengan munculnya suara. Jika suara desahan Tilem keras dan setengah menjerit, dapat dipastikan milik Tilem sedang digerayangi Ki Poleng. Dulu ketika dirinya masih muda juga sudah pernah mengalami hal yang serupa. Apa yang dilakukan Ki Poleng terhadap Tilem sekarang pasti seperti ketika mempermainkan dirinya di waktu dulu. Kini karena dirinya sudah tidak lagi muda Ki Poleng tidak lagi suka dengan dirinya. Hanya ketika dirinya ingin Ki Poleng juga pasti memberinya. Tetapi tidak seperti dulu yang berlama - lama. Ki Poleng hanya sekedar memuaskan dirinya saja. 
Terdorong oleh rasa ingin segera bertemu dengan gurunya dan melaporkan kejadian yang membuat dirinya malu ketika dengan mudah dikalahkan oleh Nyi Tambi,  Tumenggung Suro Blasah tanpa permisi langsung membuka pintu pondok Ki Poleng. Kecuali pondok Ki Poleng adalah tempat yang sudah tidak asing lagi bagi dirinya, dan juga Suro Blasah sudah menganggap pondok Ki Poleng adalah rumah sendiri, maka tidak ragu - ragu Suro Blasah langsung menuju ruang tengah. Kedatangan Suro Blasah yang tiba - tiba sejenak membuat Ki Poleng kaget. Tangannya yang sedang berada di balik kain bawah Tilem ditariknya keluar. Tilem pun nampak kaget melihat Suro Blasah yang sudah tidak asing lagi di matanya. Kekagetan Tilem hanya sejenak. Dan segera kembali melendot di dada Ki Poleng yang memangkunya. Hanya sekilas dipandangnya Suro Blasah dan tanpa menyapanya. Begitu Juga Ki Poleng hanya sekejap saja kekagetannya atas kedatangan Suro Blasah. Kegiatannya dengan Tilempun segera diteruskan. Suro Blasah kemudian duduk di bawah beralas tikar dan matanya sesekali melirik sesuatu yang terjadi di depan matanya. Gurunya yang sudah tua. Berambut panjang beruban dan berjanggut putih. Dengan gigi - giginya yang hitam karena banyak makan sirih, sedang memangku perawan belia. Tilem. Tilem adalah keponakan Sarminah yang telah ditinggal mati kedua orang tuannya yang hanyut oleh lahar Merapi. Tilem kemudian mengikuti Sarminah mengabdi di Pondok Ki Poleng. Tilem  masih sangat belia, belum selayaknya diperlakukan demikian oleh Ki Poleng. Tetapi karena ternyata Tilem menikmati apa yang diperbuat Ki Poleng maka Sarminah membiarkannya. Mata Suro Blasah dengan sangat jelas bisa melihat kain atas Tilem yang sudah tidak sempurna terkenakan. Pundaknya telah tidak tertutup. Dan sebagia payudaranya yang masih kecil nampak sedikit menyembul dan sedang di genggam Ki Poleng. Dan remasan jari - jemari Ki Poleng membuat Tilem Mengejang - ngejangkan kakinya. " Tumben kau datang dengan tergopoh - gopoh, Blasah ... ada apa ?" Sambil menyapa Suro Blasah demikian, tangan Ki Poleng bergerak turun masuk di kain bawah Tilem yang sudah sangat kendor. Sebentar kemudian Tilem tambah mengejang sambil mendesah dan kedua tangannya merangkul leher Ki Poleng. Suro Blasah tidak segera menjawab yang ditanyakan Ki poleng. Malah pikirannya membayangkan tangan dan jari - jari Ki Poleng yang ada di balik kain bawah Tilem. Mulut Suro Blasah menjadi tersekat. Tombaknya menggeliat. Dan Suro Blasah memperbaiki posisi duduknya untuk memberi kesempatan tombak memuai. " Guru, aku benar - benar dipermalukan Nyi Tambi. Tidak aku kira jika perempuan tua itu sangat gesit, tidak bisa digerayang. Baru kali ini aku dipermalukan perempuan, guru. Hatiku sungguh sakit." Suro Blasah terbata - bata menyampaikan kalimat ini. Bukan karena terbata - bata oleh rasa sakit hati dan dendamnya, melainkan napasnya yang memburu menyekat tenggorokannya karena melihat gurunya membukai kain yang menutupi dada Tilem dan menempatkan mulutnya yang berkumis putih tepat di gundukkan dada Tilem. Dan Tilem meronta - ronta, tetapi tetap sambil menyedia - menyediakan buah dadanya disedot - sedot. Suara desahan Tilem seolah menindih suaranya yang terputus - putus. Tiba - tiba Ki Poleng menghentikan kegiatannya. " Sudah lama aku mendengar kalau Poyah ada di Tambi, Blasah. Pantas saja dia bisa mempermalukanmu. Dia bukan tandinganmu, Suro ... Poyah ... Poyah ... " Mengahkiri kalimatnya Kin poleng kembali mendekatkan mulutnya di dada Tilem yang memang sudah menunggu diperbuat. Tilem kembali mendesah, menggelijang dan meronta serta mengejangkan kakinya. Ciuman dan gigitan Ki Poleng di gundukan gunung kembar milik Tilem semakin menjadi. Dan tangan Ki Poleng yang ada di balik kain bawah Tilempun rupanya berkegiatan. Kain bawah Tilem yang sudah sangat kendor tiba - tiba terlepas dan terbuka. Suro Blasah bisa melihat Tilem telanjang bawah. Dan tangan Ki poleng ada di selangkangan Tilem. " Dan yang membuat aku sakit hati sebenarnya bukan karena aku dipermalukan guru, tetapi kata - kata Nyi Tambi yang menyumpahi. Jangankan kamu Blasah ... gurumu saja belum tentu bisa mengalahkan aku." Suro Blasah berbohong. Maksud kata - katanya ini adalah agar gurunya marah dan satu saat melabrak ke Tambi. Mendengar kalimat Suro Blasah ini, tiba - tiba wajah Ki Poleng mendongak menatap tajam ke arah Suro Blasah. Mukanya memerah, matanya melotot. Dan giginya gemeretak. Diangkatnya tubuh mungil Tilem dan dibawanya pergi meninggalkan Suro Blasah yang duduknya tidak tenang karena tombaknya memuai besar. Oleh Ki Poleng Tilem dibawa ke kamar di balik ruang tengah dimana Suro Blasah duduk. Yang terdengar kemudian suara kerengket dan derak ranjang bambu, dan desahan Tilem yang tidak berhenti dan lama - lama menjadi semakin keras. 
Sarminah masuk ke ruang tengah membawa minuman. Sarminah yang kain bawahnya tidak menutupi betisnya dilihat Suro Blasah yang pikirannya sudah sangat kacau. Begitu selesai menaruh minuman di meja Ki Poleng, tubuh Sarminah segera ditarik tangan Suro Blasah. Dan tanpa ampun segera dipeluk dan di gerayangi. " Aduh den ... den Tumenggung ini kenapa ?" Sarminah yang sedari tadi juga sudah terpengarus desahan Tilem, tidak bisa lain kecuali menerima apa yang diperbuat Suro Blasah. Dan tidak baru kali ini saja Suro Blasah meperlakukan dirinya begini. Dulu sudah sangat sering dirinya dan Suro Blasah sembunyi - sembunyi melakukannya jika Ki poleng sedang tidak berada di tempat. Bahkan Sarminah menjadi sangat merindukan jika sang murid Ki Poleng yang satu ini lama tidak mengganggunya. Sarminah menjadi sangat merindukan perlakuan kasar Suro Blasah, ketika Suro Blasah turun gunung dan jarang datang ke lereng Merapi. Sarminah menjadi sering bermimpi digumuli Suro Blasah. Sore ini yang dihiasi gerimis,  dingin kekes, dan basah, Sarminah menemukan yang lama dirindukannya.  Sarminah yang menyediakan dirinyapun segera terlucuti kainnya. Dan keduanya segera berguling - guling di lantai beralas tikar. Suara gaduhpun terdengar dari kamar ki Poleng dan dari ruang tengah dimana Sarminah sedang diperbuat oleh Suro Blasah dengan penuh gelegak.

masih ada kelanjutannya ...........


Selasa, 26 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                               edohaput

 27

Para prajurit dengan pedang tetap terhunus membuat lingkaran mengitari Tumenggung Suro Blasah dan Nyi Tambi. Suro Blasah dengan pedang besar di tangan bersiap untuk membuat Nyi Tambi tidak berdaya. " Baik saudara - saudaraku ... ! Jika aku kalah melawan Tumenggungmu, aku dan Ki Tambi bersedia dirangket. Sebaliknya jika Suro Blasah Tumenggung kalian ini kalah, Kalian harus segera meninggalkan Tambi dan tidak akan lagi mengganggu kehidupan di Tambi. Bagaimana Suro ? Kamu menerima ini ?" mengucapkan ini Nyi Tambi sambil terus menatap tajam Suro Blasah. Nyi Tambi kawatir Tumenggung Suro Blasah akan menyerangnya dengan pedang dengan tiba - tiba sebelum dirinya siap. " Omonganmu tidak berarti bagi aku perempuan gaek ! Hari ini aku mau merangketmu dan membawa kalian ke Mataram untuk dihukum, karena anakmu selalu membuat onar di Mataram ...!" Berkata demikian Suro Blasah sambil menggerak - gerakkan pedangnya dan kakinya bersiap menjejak tanah untuk menyerang Nyi Tambi. Melihat gelagat ini Nyi Tambipun bersiap menerima serangan yang bakal datang. Benar ... tiba - tiba Suro Blasah menjejak tanah tubuhnya segera terlempar ke depan ke arah Nyi Tambi sambil mengayunkan pedang mengarah ke leher Nyi Tambi. Dengan gesit Nyi Tambi surut selangkah ke belakang dan menundukkan kepalanya. Pedang besar tajam Suro Blasah mengenai ruang kosong di atas kepala dan membelah udara menimbulkan suara berdesis. Karena pedangnya yang diayun dengan penuh tenaga kemarahan hanya mengenai ruang kosong membuat tubuh Suro Blasah yang tinggi besar menjadi membungkuk. Keadaan ini dimanfaatkan oleh Nyi Tambi dengan mengangkat kaki kanan dan dijejakkan tepat di dada Suro Blasah. Dengan kekuatan penuh tumit Nyi Tambi mendorong dada Suro Blasah dengan kuat. Suro Blasah yang tidak mengira Nyi Tambi akan menendangnya kaget dadanya terkena sodokan tumit Nyi Tambi dengan kuat. Suro blasah limbung dan terjerembap di tanah. Dadanya terasa sesak. Malu untuk berlama - lama terjerembab di tanah, walaupun nyeri di dadanya sangat terasa Suro Blasah segera bangun. Melompat dan dengan kekuatan penuh pedangnya di ayun ke arah perut Nyi Tambi. Suro Blasa memperkirakan jika Nyi Tambi menghindari pedangnya dengan membungkuk lagi justru kepalanyalah yang akan kena pedangnya. Dan kepala Nyi Tambi akan terbelah. Dugaan Suro Blasah salah. Melihat pedang Suro Blasah datang ke arah perut, Nyi Tambi dengan ringannya melenting ke atas laksana terbang di udara. Pedang Suro Blasah bersiut lewat di bawah kakinya yang sedang mengambang di udara. Tubuh Suro Blasah yang dengan tenaga penuh mengayun pedang lagi - lagi menjadi terhuyung karena pedangnya hanya membelah udara. Nyi Tambi tidak menyia - nyiakan kakinya yang berada dekat dengan kepala Suro Blasah. Kembali tumit kakinya menjejak, dan kali ini mengenai pelipis kepala Suro Blasah. Suro Blasah limbung dan jatuh di tanah. Kepala terasa sangat pusing. Padangan matanya berkunang - kunang. Rasa pusing di kepalanya dan matanya yang berkunang dikalahkan oleh rasa marah dan rasa malu dengan mudah dipencundangi oleh Nyi Tambi. Kepalanya yang masih sangat pusing dan matanya yang berkunang - kunang dibawanya bangkit dan dengan membabi buta diayun - ayun, ditebas - tebaskannya, serta ditusuk - tusukkannya ke arah tubuh Nyi Tambi. Semua luput. Kecuali karena ngawur juga karena Nyi Tambi terus berkelit dengan gesit dan ringan. Sampai ahkirnya pedang Suro Blasah berpindah di tangan Nyi Tambi dan sekali lagi Suro Blasah bisa kena tendangan kaki Nyi Tambi. Dan tendangan terahkir Nyi Tambi mengenai dagu suro blasah. Membuat Suro Blasah terpental dan jatuh di tanah tidak bisa bangun lagi. Dengan tenang Nyi Tambi memndekati tubuh Suro Blasah yang terlentang jrebabah di tanah halaman pendopo pondok Nyi Tambi. Pedang di tangan Nyim Tambi di sodokkan di leher Suro Blasah. " Saudara - saudaraku para prajurit ! Apakah selayaknya saya menghabisi nyawa Suro Blasah ini ?" Kalimat Nyi Tambi ini didengar semua prajurit. " Jangan Nyi ... ampuni ... Ampuni Tumenggung kami Nyi ...!" Teriak salah satu prajurit, yang kemudian disusul suara gaduh. " Benar ...Nyi ... ampuni kami ... kami akan segera pergi. Ampuni Tumenggung Suro Blasah Nyi ... Maafkan Nyi ... Kami sudah merasa kalah ...!" Teriak para prajurit sambil menyarungkan pedang - pedang mereka di pinggang. Para Prajurit segera memapah tubuh Suro Blasah dan menaikkannya di atas punggung kuda. Dengan segera para prajurit segera memacu kuda - kuda mereka meninggalkan pondok Tambi. Bersamaan dengan ini tiba - tiba ada suara sorak - sorai dari para warga Tambi yang sejak dari tadi melihat peristiwa di halaman pondok dari balik  semak - semak yang ada di dekat halaman pondok Tambi. " Hidup Nyi Tambi ... hidup Nyi Tambi ... Hidup Nyi Tambi ... " Teriak warga sambil muncul dari balik semak - semak. 
Jambul dan para cantrik perjaka dan para cantrik perawan berlarian mendapati Nyi Tambi yang masih berdiri menyaksikan kepergian para prajurit yang membawa Suro Blasah pergi. Pini cantrik perawan pacar Jambul berlari di belakang jambul. Kain bawahnya di angkat tinggi - tinggi sehingga pahanya  bisa dilihat orang dengan jelas. Begitu juga yang dilakukan para cantrik perawan. Yang dilakukan oleh para cantrik perawan menjadi pemandangan indah orang - orang. Para cantrik kemudian mengikuti langkah Nyi dan Ki Tambi menuju pendopo. 
Lain lagi yang ada di pikiran jambul. Di benak Jambul terbayang Daruni. Alangkah senangnya Daruni jika dia ikut menyaksikan peristiwa tadi. Sayangnya Daruni tidak ada. Tiba - tiba rasa cemburunya menyesak di dada. Sedang apa Daruni sekarang. Pergi bersama Bardan. Sedang diapakan Daruni sekarang oleh Bardan. Terbayang pula di benak jambul, Daruni sedang berada di hutan yang sepi bersama Bardan. Daruni sedang peluk Bardan. Di atas rumputan yang terhampar di pinggir hutan Daruni sedang ditindih Bardan. Kain - kain Daruni satu - satu dilucuti Bardan. Daruni malah pasrah dan keduanya segera bergumul di atas rumputan beralas kain yang telah lepas dari tubuh Daruni. Membayangkan ini Jambul menjadi panas hati. Dadanya bagai terbakar bara. Matanya berkaca - kaca dan napasnya memburu. Giginya bergemeretak dan mulutnya berkomat - kamit. " Kang ... ayo kang ... sudah aman ... ayo kang !" Tangan Pini menarik tangan Jambul. Lamunan Jambul jadi membuyar. Jambul tidak sadar ketika tangannya terus ditarik Pini dan langkahnya berahkir di kamar Pini. " Kang ... ayo kang ... aku kepingin ... " Tangan Pini nakal menggerayangi milik Jambul. 

masih ada kelanjutannya ..............

Senin, 25 November 2013

Candra Mawa

                                                                                           edohaput

26

Pagi belum sempurna Tambi digegerkan oleh gemuruhnya suara lari kuda di jalanan. Orang - orang hanya bisa kaget dan melongo menyaksikan para prajurit penunggang kuda memacu kuda tunggangannya menuju pondok Tambi. Orang - orang yang berani menghentikan kegiatan di ladangnya dan segera berlari mengikuti kuda - kedu yang berpacu meninggalkan debu.
Sebentar kemudian pondok Nyi Tambi telah terkepung prajurit kepatihan dan prajurit kademangan Sawang Argo. Suasana menjadi sepi. Hanya satu - satu ringkikan kuda yang memecah kesunyian. Pondok Nyi Tambi bagai tidak ada kehidupan. Pendopo sepi. Rumah belakang tidak ada suara. Rumah samping begitu juga. Tumenggung Suro Blasah turun dari punggung kuda dan berjalan mendekati pendopo pondok. Ditatapnya pintu rumah induk di belakang pendopo yang terbuka lebar. Suro Blasah dengan gagahnya menaiki tangga pendopo. Mata tajamnya memperhatikan sekeliling. Sepi. Mengapa sunyi. Menurut cerita pondok Nyi Tambi selalu ramai. Banyak didatangi orang. Banyak cantrik - cantrik melayani pasien. Benarkah pondok sepi. Bersembunyikah mereka. Mengapa pintu sengaja dibuka lebar - lebar. Benarkah hari ini pondok tidak ada kegiatan. Tumenggung Suro Blasah mulai curiga.  Tumenggung Suro Blasah yang sudah tidak sabar untuk bisa melihat dan menangkap Daruni menjadi gusar. " Nyi Tambi ... ! Keluar kau ... !" Dengan urakan sekali Suro Blasah berteriak. Tidak ada sambutan sama sekali. " Ki Tambi .... Nyi Tambi ... keluar kalian ...kalau tidak akan aku robohkan pondok ini ... !" Suro Blasah semakin urakan. " Demange ... !" Suro Blasah mata melotot ke arah Demang Sawang Argo yang masih ada di punggung kuda. " Geledah pondok ini !" Tangan Suro Blasah menunjuk - nunjuk ke arah pintu rumah induk yang terbuka lebar. Demang Sawang Argo segera melompat turun dari kuda dan berlari ke arah pendopo di mana Suro Blasah berdiri. Rasa ayem menyelimuti hati Demang Sawang Argo. Pondok sepi. Berarti Legiman telah berhasil menyampaikan berita kepada Nyi Tambi. Ini artinya Daruni juga sudah dibawa Legiman jauh dari pondok. Daruni akan selamat dari cengkeraman Suro Blasah yang akan menyiksanya. Dalam hati Demang Sawang Argo tertawa gembira. Begitu kaki Demang Sawang Argo menginjak tangga pertama pendopo Tambi, muncul dari pintu yang terbuka lebar Nyi Tambi diikuti Ki Tambi di belakangnya. Langkahnya tenang mendekati Suro Blasah yang berdiri berkacak pinggang. Nyi Tambi yang biasanya berkain dan berkebaya dengan rambut di konde, muncul dengan celana dengan kain dililitkan di pinggang. Kepala diikat dengan ikat kepala agar rambut tidak terurai. Nyi Tambi nampak sebagai prajurit wanita yang siap berlaga. Begitu juga Ki tambi yang biasa berkain dan bagian tubuh atas selalu ditutup kain takuwo, kini muncul dengan celana dengan kain dililitkan di pinggang dan tubuh bagian atas dibiarkan telanjang. Ki Tambi bak petani yang mau turun ke sawah. Tonjolan otot - otot di bawah kulit tuanya nampak sangat nyata. Dengan begini Ki Tambi malah tampak sebagai orang tua yang kekar dan kokoh. Suro Blasah terkesima dengan pemandangan di depannya. Ternyata Nyi dan Ki Tambi sudah siap menghadapinya. Mengapa bisa begini. Seharusnya mereka terkejut dan minta ampun. Bukan malah menyambutnya dengan kain yang melambangkan siap melawan. Mengapa bisa begini. Apakah Nyi Tambi telah tahu akan kedatangannya. Suro Blasah menjadi semakin gusar. Bayangan Daruni yang cantik dan ketakutan ketika dirinya datang tidak terjadi. Rasa inginnya segera mencengkeram Daruni, menaikkan di punggung kudanya dan membawanya lari sambil meremas apa saja yang ada di tubuh Daruni, membuat Suro Blasah kehilangan akal. Pikirannya yang sudah membayangkan Daruni akan dibuka kainnya ketika di atas punggung kuda bersama dirinya. Dan menggerayangi tubuh Daruni di atas punggung kuda yang terus dipacu. Dan Daruni akan dibuatnya pingsan sehingga dengan mudah dirinya menggerayangi lekuk - lekuk tubuh Daruni walau di atas kuda yang lari kencang. Pikirannya ini membuat dirinya menjadi semakin ngawur. " Demange ... geledah pondok ! Cari anakmu ... dan bawa keluar ... !" Tangan Suro Blasah mendorong tubuh Demang Sawang Argo agar masuk ke rumah induk. Demang Sawang Argo yang tubuhnya terdorong ke depan, terhenti ketika tangan Nyi Tambi memberi tandan berhenti. " Jangan lakukan ! ... Jadi kamu Demang Sawang Argo ? ... Ki Demang anakmu sudah tidak berada di pondok ini. Daruni sudah bersama Bardan anakku. Jadi jangan kawatir Daruni akan selamat dari kejahatan ... !" Mengahkiri kalimat ini Nyi Tambi melirik ke Suro Blasah yang sangat kaget. Daruni sudah di bawa Bardan. Bardan lagi. Bardan lagi. Bibir Suro Blasah menjadi bergetar. Amarahnya membuat muka yang sudah merah menjadi semakin merah padam. Bertolak belakang dengan perasaan Demang Sawang Argo menjadi sangat tentram dan ayem. Daruni anaknya berada di tangan orang yang baik.
Suro Blasah yang menjadi sangat tersinggung dengan ucapan terahkir Nyi Tambi menjadi sangat marah. " Prajurit ... rangket Nyi Tambi ... !" Perintah Tumenggung Suro Blasah kepada para prajurit. Dengan sigap para prajurit berlompatan turun dari kuda - kuda tunggangannya dan segera menghunus pedang dang berlari ke arah pendopo dimana Ki dan Nyi Tambi berada. Lagi - lagi tangan Nyi Tambi menghentikan langkah - langkah gegas para prajurit. " Jangan lakukan ... ! ... Silahkan rangket aku dan Ki Tambi. Kalau memang Tumenggungmu ini bisa mengalahkan aku. Aku ingin Tumenggung kalian ini mengalahkan aku. Aku kira itu cukup adil. Begitu bukan Suro Blasah yang gagah berani ?" Kalimat Nyi Tambi ini membuat langkah gegas para prajurit terhenti dan surut mundur. " Bagaimana Suro Blasah ... ha ... !?" Nyi Tambi mengucapkan kalimat ini dengan tersenyum lebar. Suro Blasah yang tidak membayangkan ini bakal terjadi menjadi sangat kaget. Malu rasanya jika dirinya tidak menerima tantangan Nyi Tambi ini. Dimana mukanya mau ditaruh di depan para prajurit jika dirinya menolak tantangan Nyi Tambi. Apalagi Nyi Tambi adalah perempuan tua yang pada umumnya sudah menjadi rapuh. Walaupun di dalam hatinya ragu dan ada rasa kecut,  dengan galaknya diterimanya tantangan Nyi Tambi. " Perempuan tua tidak tahu diri ... apa yang kamu banggakan ... !?" Bentak Suro Blasah dibuat - buat untuk menurunkan keberanian Nyi Tambi. " Silahkan turun ke halaman Tumenggung urakan ... Aku ingin tahu seberapa kesombonganmu ... !" Nyi Tambi minta Suro Blasah turun dari pendopo menuju halaman pondok Tambi yang luas. 

masih ada kelanjutannya .............


Rabu, 13 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                              edohaput 


25

setelah sesiang Bardan memacu kudanya tanpa berhenti,  melewati jalan - jalan pedusunan yang sepi, karena tidak ingin bertemu dengan rombongan prajurit kepatihan yang telah lebih dulu berangkat dari Mataram, Bardan sampai di Tambi. Bardan memperlambat laju lari kudanya. Bardan sempat tertegun. Ternyata di Tambi tidak ada sesuatu yang istimewa. Di kiri kanan jalan menuju Tambi orang dengan tenang bekerja di tegalan. Tidak ada suasana mencurigakan. Bardan berpikir, pasukan dari Kepatihan belum masuk Tambi. Mengalir rasa tentram di perasaan Bardan. Bardan menghentikan kudanya dan turun dari pelana, memberi kesempatan kudanya minum dan menikmati rumput segar di pinggir jalan. Sengaja Bardan tidak segera memasuki desa Tambi. Sambil duduk di pinggir jalan mengawasi kudanya makan, Bardan mengamati suasana desa. Setelah yakin di desa tidak ada terjadi sesuatu, kembali Bardan berada di punggung kudanya dan berjalan memasuki desa. Bardan yang tidak mengenakan kain keprajuritan Kepangeranan, melainkan hanya mengenakan kain layaknya orang pedusunan lagi kepalanya ditutup dengan caping, kedatangannya di Tambi tidak mengundang perhatian warga. 
Di Pondok Tambi Daruni sedang sibuk dengan para pasien yang datang berobat. Daruni yang sibuk membuat tidak perhatian terhadap dirinya. Kain bawahnya yang banyak tersingkap karena banyak berjalan kesana kemari membuat pahanya yang bersih putih terlihat oleh mata orang yang di dekatnya. Untung saja yang berada dekat  Daruni adalah para pasien yang sedang menderita sakit. Seandainya yang di dekat orang - orang yang sedang sehat pasti akan memelototi tanpa berkedip paha Daruni. Juga kancing baju di bagian dada yang terlepas tidak diperhatikan oleh Daruni. Ini membuat keranuman payudara Daruni bisa diintip orang tatkala Daruni membungkuk. Pipi Daruni yang kemerah - merahan karena banyak bergerak menjadikan kecantikan Daruni di siang ini nampak sempurna. Tidak ada orang memperhatikan ini kecuali Jambul yang sedari saat Daruni sibuk selalu menyuri pandang. Jambul yang diminta Daruni membantunya melayani pasien hanya bisa terus deg degan. Jantung berdegup. Napasanya berdebur. Jambul menjadi tidak konsentrasi dan banyak melakukan kesalahan. Diminta membantu mengambil air hangat yang diambil pisau dapur. Diminta menyiapkan tikar untuk pasien berbaring yang disiapkan air dalam panci. Ini membuat Daruni marah. Kemarahan Daruni tidak membuat Jambul kecut, melainkan malah membuat Jambul semakin terpesona. Karena mulut mungil Daruni yang cemberut, dan pipi merah saat marah, serta mata bulat yang semakin membelalak membuat Daruni menjadi semakin nampak cantik saja. Jambul cantrik perjaka yang sudah menjalin cinta dengan Pini cantrik perawan paling cantik di pondok Tambi sejak kedatangan Daruni di pondok matanya tidak pernah mau lepas memandangi Daruni. 
" Mbok, orang itu menderita sesak napas, deg degan jantungnya pelan, kakinya bengkak - bengkak dan wajahnya pucat, dan matanya membasah." Dengan setengah membungkuk Daruni menyampaikan kalimat ini kepada Nyi Tambi yang juga sedang sibuk dengan pasien. Tanpa menoleh ke arah Daruni Nyi Tambi memberitahukan ramuan apa yang mesti diberikan kepada pasien. " Berikan ramuan serbuk benalu mangga, dan serbuk kulit kayu cemara dengan takaran lebih dan campurkan dengan serbuk biji pandan segara dengan takaran biasa. Sedu dengan madu bunga mawar dan air hangat." Sekejap saja Nyi Tambi melirik ke arah Daruni. Sempurna kecantikanmu Daruni. Setiap kali matannya menatap Daruni, Nyi Tambi tidak bisa tidak mengakui kecantikan Daruni yang begitu sempurna. Nyi Tambi bahkan pernah berpikir Daruni adalah bidadari yang sedang didekatkan kepada dirinya. Tanpa menunggu perintah agar dirinya segera pergi menyiapkan ramuan, Daruni segera membalikkan tubuh dan meninggalkan Nyi Tambi. Melangkah dengan tergesa menuju kamar obat, diikuti jambul yang Jambul yang melangkah tergopoh sambil hidungnya menyari - nyari bau wangi tubuh Daruni.
Matahari sudah miring ke barat. Cahayanya tidak lagi menyengat. Sinarnya yang menerobosi rimbunnya daun pepohonan jatuh di halaman pondok Nyi Tambi yang mulai sepi karena pasien yang telah terlayani meninggalkan pendopo pondok. Bardan yang tidak melepas capingnya, menuntun kudanya menuju pondok bagia belakang. Kedatangan Bardan tidak menarik perhatian orang - orang yang ada di pendopo pondok. Orang mengira Bardan adalah juga pasien yang baru datang. Sebentar kemudian terdengar suara gaduh dari rumah pondok belakang. Para cantrik perawan dan para cantrik perjaka ribut saling berteriak. " Den mas Bardan pulang ! Den mas Bardan pulang ! Nyi ... Ki ... Den mas Bardan pulang !" Suara gaduh ini didengar Daruni yang sedang berbenah diri sehabis mandi sore. Daruni menghentikan kegiatan dan telingannya di pasang untuk mendengarkan suara gaduh. Apa yang didengarnya tidak dipercaya oleh pikirannya. Kang Bardan pulang ? Daruni tidak bisa percaya. Tetapi suara gaduh semakin jelas. Daruni menjadi percaya. Daruni percaya kemudian berjingkrak. Kang Bardan pulang. Tanpa meperhatikan kainnya yang dikenakan belum sempurna Daruni segera keluar dari kamar. Dilihatnya oleh matanya yang berada pada antara percaya dan tidak Bardan sedang dikerumuni para cantrik. Daruni menjadi tidak sabar dibawanya tubuhnya berlari dan segera tanpa malu - malu ditubruknya tubuh Bardan. Daruni tidak bisa berkata - kata hanya air mata kegembiraannya yang tampak meleleh di pipinya. Mulutnya yang mungil tersenyum lebar menampakkan barisan giginya yang rapi. Daruni memeluk tubuh Bardan seolah tidak mau lepas. Menyaksikan tingkah Daruni, Jambul memberengut perasaannya tiba - tiba dialiri api yang membara membuat panas di dadanya. Pini cantrik perawan pacar Jambul tersenyum geli melihat Jambul memberengut cemburu. Pini bisa membayangkan betapa panas hatinya Jambul. Pini sangat gembira dengan kedatangan den mas Bardan. Karena dengan kedatangan den mas Bardan, Jambul pacarnya tidak akan lagi berusaha terus mendekati Daruni dan melupakan dirinya. 
Suasana rumah tengah yang merupakan rumah induk pondok tiba - tiba mencekam. Kecuali roman muka Nyi dan Ki Tambi yang tetap tenang, wajah - wajah tegang para cantrik sangat nampak pada hari menjelang petang ini. Tidak terkecuali wajah cantik Daruni yang berubah menjadi wajah yang menggambar kecemasan perasaannya. Selesai menuturkan akan datangnya para prajurit dari kepatihan yang akan merangket Nyi dan Ki Tambi Bardan yang duduk menghadap mbok dan bapaknya,  disampingnya duduk bersimpuh Daruni, dan di deretan belakangnya duduk para cantrik yang wajahnya hanya bisa menunduk, kemudian diam menunggu perintah dari mbok dan bapaknya. Setelah beberapa saat menjadi sunyi karena masing - masing diam. Dan di pikiran berkecamuk membayangkan apa yang bakal terjadi jika para prajurit kepatihan benar - benar datang. " Baik ... ! Bardan, Runi dan para cantrik. Dengarkan, camkan dan laksanakan !" Suara Nyi Tambi memecah keheningan. Suara Nyi Tambi yang terdengar begitu asing di telainga para cantrik. Nyi Tambi tidak pernah bersuara demikian. " Bardan ... Kamu bawa pergi Daruni. Aku percaya kamu bisa ! Jangan cemaskan bapa dan biyungmu ini. Pergilah menjauh dari pondok ! Kamu Jambul dan para cantrik ! Layani para pasien di rumah kalian. Jangan ada orang di pondok ini. Laksanakan sekarang jangan menunggu malam tiba !" Selesai dengan kalimat yang mencengangkan semua yang ada di ruang tengah pondok Tambi ini, Nyi Tambi berdiri dan berjalan menuju kamar diikuti langkah Ki Tambi di belakangnya. 
" Kang ... " Suara Daruni terdengar memelas. " Bungkus kainmu secukupnya. Kita segera pergi, Runi !" Bardan membimbing Daruni ke kamarnya agar segera membungkus beberapa kain. Jambul dan para cantrik segera terlibat dengan kesibukkannya untuk meninggalkan pondok. Pasien yang dirawat inap dipindahkan ke rumah jambul yang hanya berjarak beberapa ratus langkah dari pondok. Tidak ada kata, tidak ada bicara para cantrik sibuk bekerja. Di antara kesibukannya Jambul masih sempat panas hati ketika melihat Daruni dan Bardan di punggung kuda dan segera meninggalkan pondok. Jambul masih sempat melongo ketika disaksikannya di atas punggung kuda Daruni memeluk erat Bardan yang segera menarik kendali untuk memacu lari kudanya. 
Malam telah membuat halaman pondok Nyi Tambi gelap. Pondok begitu sepi setelah ditinggalkan para cantrik. Kedatangan Legiman disambut Nyi dan Ki Tambi di pendopo yang hanya diterangi cahaya redup lampu minyak. Legiman tanpa menunggu napasnya yang masih agak tersengal karena seharian di punggung kuda yang dipacu cepat segera menuturkan maksud kedatangannya. Memberitahu Nyi dan Ki Tambi tentang esuk akan datang prajurit kepatihan yang akan merangket Ki dan Nyi Tambi,  dan membawa Daruni ke kepatihan. Legiman meminta Nyi dan Ki Tambi mengijinkan Daruni akan dibawanya pergi untuk diselamatkan dari kekejaman Tumenggung Suro Blasah. " Trimakasih nak Legiman telah bersusah payah, jauh - jauh dari Sawang Argo datang ke Tambi. Yang benar kami sudah tahu semua. Dan Daruni sudah diungsikan oleh Bardan. Nak Legiman tidak perlu kawatir. Daruni sudah berada di tangan orang yang bisa melindunginya. Saranku saja nak Legiman ... Nak Legiman malam ini juga harus meninggalkan Tambi. Jika tidak nak Legiman akan menemui celaka, jika nanti ada yang tahu nak Legiman mengkhianti Tumenggung Suro Blasah." Mendengar tuturan Nyi Tambi ini Legiman menjadi sangat kecewa. Jasa baiknya kepada Nyi dan Ki Tambi menjadi tidak berharga. Kekecewaan yang berlebih - lebih adalah karena dirinya tidak bisa bersama Daruni. Sudah terbayangkan sebelumnya Daruni akan dibawa pergi jauh dari pondok. Juga jauh dari Sawang Argo. Legiman berketetapan membawa Daruni sampai ke ujung dunia dimana tidak ada lagi nama Suro Blasah. Tidak ada lagi ancaman - ancaman dari Mataram. Legiman akan membawa Daruni ke sebuah tempat yang sunyi dan menentramkan. Darunim akan dibahagiakannya. Legiman sudah berangan - angan Daruni akan sangat berterima kasih terhadap dirinya yang bisa menyelamatkan dari kekejaman Suro Blasah. Ahkirnya Daruni mau dan rela dicumbunya. Legiman akan berpuas - puas menciumi bibir mungil Daruni. Dirinya akan berpuas - puas memeluk - meluk tubuh lunglai yang pasrah untuk diperbuat apa saja. Dirinya akan terus dan terus mencumbu Daruni yang sangat dirindukan. Yang sangat disukainya. Daruni yang selalu terbayang di pelupuk matanya. Ranum dadanya, mulus kaki panjangnya, wangi rambutnya yang lepas terurai. Daruni yang hari ini membuatnya semplah, kecewa dan putus asa.

masih ada kelanjutannya .......................




Senin, 04 November 2013

Candra Mawa 

                                                                                             edohaput 


24

Matahari mulai meninggi. Orang - orang sudah sibuk dengan pekerjaan masing - masing. Giyem yang setengah berlari dari rumah dengan menaikkan kain setinggi paha agar bisa mempercepat langkahnya, karena akan melewati kerumunan orang di pasar kecil giyem menururunkan kainnya hingga di bawah lutut dan kemudian berjalan pelan. Giyem tidak ingin orang - orang yang melihatnya menjadi curiga. Begitu melewati pasar kecil di pinggir jalan yang dilewatinya, giyem kembali menaikkan kainnya setinggi paha dan kembali langkahnya dipercepat dengan cara setengah berlari. Tujuan langkah Giyem adalah gubuk kecil di tengah gerumbul rimbun di pinggiran kali Code dimana Bardan bersembunyi. 
" Tenang Yem ... tenang. Atur dulu napasmu. Jangan tergesa - gesa bicara." Sabar Bardan menerima Giyem yang datang dengan napas terengah. Dada besarnya sangat nampak naik turun. Mukanya merah. Dan di dahi ada titik - titik butiran keringat. Mendengar Bardan berkata sabar dan memintanya tidak segera bicara, maka Giyem mengurungkan niatnya segera menyampaikan kabar penting bagi Bardan. Kalau saja dirinya segera menyampaikan berita, justru nanti yang keluar dari mulutnya tidak jelas, tergagap dan salah - salah. Setelah beberapa kali mengambil napas panjang, giyem menjadi tenang. " Nah sekarang apa yang akan kamu katakan, katakan Yem. " Setelah Bardan melihat Giyem menjadi tenang dan tidak lagi gugup. " Begini den. Tadi, pagi - pagi Kanjeng Patih Danureja berbicara lantang di depan dua puluh prajurit berkuda. Ki Patih memerintahkan agar Nyi Tambi dan Ki Tambi di rangket. Ki Patih minta agar bisa merangket hidup - hidup Ki dan Nyi Tambi. Dan di antara para prajurit itu saya melihat Gimbal, den. Bukankan Gimbal adalah begundalnya Raden Tumenggung Suro Blasah ? Den, bukankah Ki dan Nyi Tambi itu orang tua den Bardan ?" Mendengar penuturan Giyem, Bardan menyoba tenang. Walau ada kekagetan yang sangat menyentak dadanya, Bardan tidak mau ini diketahui Giyem. Bardan tetap tenang. Bardan memang pernah bercerita banyak tentang dirinya. Termasuk kalau sebenarnya dirinya berasal dari Tambi, dan Nyi dan Ki Tambi adalah orang tuanya. " Terima kasih Yem. Terima kasih. Sudahlah kamu pulang saja sekarang. Jangan membuat orang curiga. Hindarkan orang tahu kalau kamu baru saja dari tempat ini." Kalimat ini diucapkan dengan tenang oleh Bardan sambil mengulurkan satu keping mata uang emas kepada Giyem. Giyem menerima kepingan emas. Mengangguk - anggukkan kepala dan segera meninggalkan Bardan.
Sepergi Giyem Bardan panik. Apa yang harus dilakukan. Mbok dan bapaknya harus diselamatkan. Lalu bagaimana dengan Daruni jika ternyata Suro Blasah sudah berada disana. Tanpa pikir panjang lagi Bardan segera meninggalkan gubuk tempat persembunyiannya dan melewati semak gerumbul menghidari bertemu orang langkahnya cepat dan kadang harus melenting di udara untuk menghindari semak belukar berduri yang tidak bisa diterabas. Bardan harus segera sampai di Kepangeranan Tegalreja tempat dirinya mengabdi kepada Pangeran Diponegoro yang kini telah ditangkap Belanda. Tujuannya adalah segera akan mengambil kuda dan dipacu menuju Tambi. Dirinya tidak boleh keduluan sampai di Tambi. Jika saja dirinya terlambat, apa jadinya nanti. 
Langkah Giyem yang ingin segera sampai di rumah dihentikan oleh seorang prajurit Kepatihan. " Brenti Yem !" Prajurit yang bertubuh gempal ini mencegat langkah Giyem. Giyem kaget. Tetapi segera dengan gaya kenesnya menutupi kekagetannya. " O ... den Gampar ... Ada apa den ?" Giyem menanggapi wajah seram prajurit Gampar dengan rada cengengesan.  " Dari mana kamu Yem, he !? Gampar melotot tajam. " Ya dari kali Code den. Ni aku ngambil daun kemangi sama daun luntas. Untuk lalapan makan, den. Segar lho den." Giyem semakin cengengesan untuk menutupi kegugupannya. " Jauh - jauh ke kali Code cuma untuk mengambil daun luntas dan kemangi !?" Mata Gampar mengawasi tubuh Giyem dari rambut sampai kaki. " Di pekaranganmu daun luntas ada, kemangi ada. Kenapa harus ke kali Code !?" Gampar semakin membuat Giyem gugup. Tetapi bukan Giyem jika tidak bisa bersandiwara. Giyem tahu persis prajurit Gampar inilah yang sedang ditugaskan dari kepatihan agar selalu mengawasi dirinya. Tadi ketika dirinya akan ke kali Code terlebih dahulu mengelabuhi Gampar dengan pura - pura menutup pintu rumah. Dan Giyem melewati jendela rumah melompat agar lepas dari pandangan Gampar yang selalu mondar - mandir di dekat rumahnya. Rumah Giyem hanya berbatas jalan dengan beteng Kepatihan. Apa yang sedang terjadi di Kepatihan Giyem selalu tahu. " Yang di pekarangan sudah pada tua, den. Tidak enak buat lalap. Sudah ya den, aku mau pulang makan." Giyem mau melangkahkan kakinya, tetapi tangan Gampar lebih cepat memegangi pundaknya. Giyem tidak bisa melangkah. " Baik Yem, sekarang kamu kembali ke kali Code. Aku kepingin tahu dimana kamu mengambil daun kemangi ini !?" Gampar melotot lebar dan mukanya yang merah menjadi semakin merah karena marah. Giyem kaget tidak mengira prajurit yang selalu dihindarinya ini ternyata tidak mudah percaya omongannya. " Baik den, ayo !" Giyem segera membalikkan badannya dan segera melangkah kembali menuju kali Code. Pikiran Giyem kacau. Daun luntas dan daun kemangi di tangannya ini tadi diambil dari dekat gubuk tempat persembunyian Bardan. Giyem melangkah cepat. Diam. Dan iterus berpikir bagaimana cara mengelabuhi prajurit Gampar. Di belakangnya prajurit Gampar melangkah dengan suara kaki yang keras menapaki tanah. Sampai di pinggiran kali, Giyem sempat bingung. Dan dengan cepat Giyem mengambil keputusan untuk melangkahkan kaki berlawanan arah dengan arah ke gubuk persembunyian Bardan. Langkah Giyem menuju gerumbul lebat di pinggiran kali. Giyem kehabisan akal. Dan hanya ini yang bisa dilakukan. Giyem pura - pura terpeleset dan jatuh terjerembab. Dan kemangi dan luntas yang dipeganginya berhamburan di tanah pasir. Melihat Giyem jatuh di depannya prajurit Gampar marah. " Matanya dipakai, Yem. Bangun ... !" Perintah prajurit Gampar kasar. " Aduh ... den ... sakit ... den...aduh ... !" Giyem pura - pura kesakitan. Dielus - elusnya kakinya sambil menaik - naikkan kainnya sampai ke paha. Sehingga paha Giyem menjadi telanjang. Dan Giyem menyoba mengangkang - ngangkang agar kainnya semakin naik dan tidak menutupi pahanya, dan dengan ngangkang - ngangkang Giyem bermaksud mata prajurit Gampar bisa melihat miliknya. Dan prajurit Gampar akan terangsang dan selesailah kebingungannya. Prajurit Gampar mendekati Giyem dan menarik kasar tubuh Giyen agar berdiri. " Aduh - aduh sakit ... sakit ...sakit ... den !" Giyem dengan cekatan mengendorkan kainnya. Tubuhnya yang ditarik tangan Gampar menjadi berdiri dan pura - pura tidak kokoh, kainnya melotrok ke bawah dan Giyem menjadi telanjang dari pusar sampai kaki. Tangan kokoh Gampar tetap menyengkeram pundak Giyem. Matanya memelototi milik Giyem yang tidak lagi ditutupi. Giyem pura - pura lemas tubuh dan kembali terduduk. Kemudian Giyem malah segera tiduran terelentang dan kangkang. Tangannya mengelus - elus kakinya dan mulutnya sambil meringis - meringis. Melihat Giyem demikian kelelakian Gampar menjadi berontak. Matanya tidak mau lepas dari pemandangan indah di depannya. Mata garang Gampar berubah menjadi sayu. Napasnya berdebur menderu. Giyem tahu ini. Maka pahanya semakin di kangkang - kangkangkan sehingga miliknya semakin menjadi pandangan sedap bagi mata Gampar. Giyem terus meringis merintih sambil sesekali melirik Gampar yang kebingungan. " Duh ... tolong den ... aduh ... tolong den ... !" Mulut Giyem merintih. Di batinya Giyem tertawa ngakak karena prajurit Gampar tidak segera menolongnya tetapi malah mennyopot celananya. Bersama dengan derunya napas Gampar malah segera berjongkok di dekat pahanya yang kangkang dan mengarahkan tombaknya ke miliknya. Dan tanpa banyak bicara prajurit gampar segera menindihnya dan melesakkan tombaknya di miliknya. Giyem segera merasakan miliknya disodok sampai amblas ke dalam oleh benda besar, hangat, kaku dan menyesak di kedalam miliknya. " Aaaaahhh ... den ...aduh ... !" Giyem merintih dan mendesah. Prajurit Gampar segera berpacu di antara paha Giyem. Tangangnya yang satu menyangga tubuhnya dan tangan yang lain menyoba membuka kancing kain Giyem yang menutupi dada. Tanpa malu - malu Giyem malah segera membuka kancing kain di depan dadanya. Buah dada Giyem segera menyembul dan segera menjadi santapan beringas prajurit Gampar. Prajurit Gampar menggeram - geram. Giyem merintih - rintih mendesah. Keduanya mulai bergerak - gerak menyari nikmat. Saling berpagut. Saling memeluk. Saling menekan dan menyangga. Semak - semak di dekat mereka bergumul semakin bergoyang. Giyem dan Gampar menjadi saling lupa siapa dirinya. Saling lupa sedang ada dimana. Yang ada hanya rasa yang tiada tara yang semakin lama semakin membuat masing - masing menjadi beringas dan bersuara keras tidak tertahankan. 

masih ada kelanjutannya .................. 

Rabu, 23 Oktober 2013

Candra Mawa

                                                                                              edohaput


23

Tumenggung Suro Blasah sudah beberapa hari berada di kademangan Sawang Argo. Menunggu kembalinya Gimbal begundalnya ke kademangan Sawang Argo yang diharapkan bersama dengan puluhan prajurit kepatihan yang dimintanya. Suro Blasah meminta bantuan prajurit kepatihan agar bisa membantunya mengepung pondok Nyi Tambi. Suro Blasah tidak mau gegabah dengan berani datang ke pondok Tambi tanpa bersama banyak prajurit. Yang ditakutkan Suro Blasah adalah Bardan. Jika ternyata Bardan ada di Tambi bukan tidak mungkin dirinyalah yang justru akan mendapat celaka. Suro Blasah sangat paham ilmu kanuragan yang dimilki Bardan. Bardan sudah berkali - kali menyederainya. Suro Blasah juga perhitungan. Bukan tidak mungkin Ki dan Nyi Tambi juga memiliki ilmu olah kanurugan yang justru melebihi yang dimiliki Bardan. Suro Blasah juga berpikiran, jangan - jangan ilmu yang dimiliki oleh Bardan itu berasal dari ajaran Ki dan Nyi Tambi. Dirinya tidak boleh gegabah. Dirinya yang belum pernah bertemu dengan Ki dan Nyi Tambi, tidak boleh menganggap enteng kedua orang tua Bardan ini. Tanpa dibantu puluhan prajurit yang tangguh Suro Blasah tidak akan berani datang ke Tambi.
Niatnya kali ini tidak boleh gagal. Ki dan Nyi Tambi harus bisa dirangket dan dibawa ke kepatihan untuk dipenjarakan. Dengan memenjarakan Ki dan Nyi Tambi akan memancing Bardan untuk muncul terang - terangan. Selama ini kemunculan Bardan bagai setan. Tiba - tiba muncul mengganggu, menyuri, menyederai prajurit, membebaskan tahanan dari penjara, mengobok - obok tangsi dan Kepatihan dan segera lenyap tidak berbekas. Suro Blasah berencana menangkap dan memenjarakan Ki dan Nyi Tambi di penjara Kepatihan. Jika Bardan bersedia berlutut dan menyerahkan diri kepada Ki Patih Danureja, sebagai gantinya Ki dan Nyi Tambi akan dibebaskan. Jika Bardan tidak bersedia Ki dan Nyi Tambi akan dipenggal lehernya. 
Yang membuat niatnya menggebu dan berelebih - lebih untuk segera mengepung pondok Tambi bukanlah keinginannya segera bisa merangket Ki dan Nyi Tambi, melainkan karena Daruni ada disana. Daruni harus bisa dibawanya. Angan - angannya untuk bisa segera melumat habis tubuh perawan Daruni menjadikannya panas bagai terbakar. Kerinduannya, kegemasannya, kegeregetannya kepada kecantikan dan kemolekan tubuh Daruni akan dilampiaskan dengan kobaran api birahi yang sudah tidak tertahankan. Daruni akan diterkam, dicengkeram, dilumat dan dilahap habis tanpa ampun. Daruni yang lunglai tidak berdaya akan terus digasak dan tidak akan dilepas dari cengkeraman sebelum basahnya kenikmatan membanjir - banjir. Daruni kemudian akan dijadikan simpanannya. Daruni akan disekapnya dan akan terus diperdaya setiap kali dirinya ingin. Daruni akan dijadikan boneka yang bisa diperbuat semaunya. Ditekuk - tekuk. Diangkat - angkat. Diguling - gulingkan. Dilumat, dilahap, dicengkeram, dihujam dan dipakai untuk bisa mengerang sepuas - puasnya. 
Di sisi lain Ki dan Nyi Demang Sawang Argo tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Betapa tidak. Daruni akan ditemukan Suro Blasah. Terbayang di benak Ki dan Nyi Demang betapa menderitanya anaknya berada di tangan Tumenggung Suro Blasah. Ki dan Nyi Demang yang sudah ayem karena ternyata Daruni berada di pondok Tambi dan pasti memperoleh perawatan yang baik dari Nyi Tambi, kembali galau, sangat gelisah dan sedih. Kesedihan Ki dan Nyi Demang membuat seluruh isi kademangan menjadi muram. Kesedihan dan kemuraman seisi kademangan hanya bisa disembunyikan manakala berada dihadapan Suro Blasah yang kesehariannya di kademangan hanya minta dilayani dan selalu mabuk oleh arak tuak yang selalu dimintannya. Bahkan tidak jarang Suro Blasah meminta begundalnya  merayu perawan - perawan kademangan agar mau melayani birahinya dengan iming - iming kepingan emas. Maksud ini tidak pernah kesampaian karena tidak ada perawan kademangan yang mau dirayu begundal Suro Blasah. Bahkan para perawan menjadi sangat jijik melihat kelakuan Suro Blasah yang melebihi binatang. Sebentar saja berada di kademangan Suro Blasah sudah membuat takut para perawan kademangan. Tajam matanya melihat, seakan menelanjangi yang dilihat. Mengamati dari ujung rambut sampai ke tumit pada setiap perawan yang dilihat. Kemudian menelan ludah dan segera menyeringai kepada perawan yang tampak di matanya. Para perawan kademangan menjadi sangat risih terhadap perilaku Tumenggung Suro Blasah.
Pikiran galau, kacau dan perasaan yang selalu sedih dan gelisah membuat Ki Demang Sawang Argo tidak bisa berpikir jernih, sampai satu saat secara rahasia Legiman menghadapnya. Legiman yang pernah jatuh cinta kepada Daruni, dan rasa cinta dan sayangnya pada Darunipun masih disimpannya rapat - rapat di relung kalbunya. Legiman tidak akan tega, dan tidak akan rela Daruni di perdaya Tumenggung Suro Blasah. Legiman tidak ingin Daruni dibawa Suro Blasah dan dijadikan barang mainannya. Dirinya harus berbuat sesuatu untuk menyelamatkan Daruni. " Ki, Daruni tidak boleh jatuh ke tangan Tumenggung Suro Blasah. Ki Demang harus segera mengirim utusan ke Tambi. Ki dan Nyi Tambi harus segera tahu kalau pondoknya akan dikepung prajurit. Ki, yang diincar Tumenggung Suro Blasah bukan Ki dan Nyi Tambi. Tetapi Darunilah, Ki. Yang menjadi tujuan utama Tumenggung." Kalimat ini seakan dibisikkan Legiman kepada Demang Sawang Argo. Mendengar tuturan Legiman, Ki Demang kemudian menengadahkan wajahnya melihat langit - langit ruangan. Menerawang kalimat - kalimat legiman. Sebentar kemudian menunduk dalam - dalam, seolah sedang mencari sesuatu yang ada di dalam bumi. " Leherku taruhannya Man, kalau Raden Tumenggung tahu ini. Tetapi memang tidak ada jalan lain Man, untuk menyelamat Daruni dari keberingasan Raden Suro Blasah. Atur baik - baik. Jalankan dengan sangat rahasia. Jangan ada orang tau selain kita." Berkata begitu Ki Demang bangkit dari duduk dan segera meninggalkan Legiman.
Legiman sudah siap mati demi Daruni. Tugas rahasia ini akan dijalankannya sendiri. Di dalam pikirannya setelah nanti Ki dan Nyi Tambi tahu maksud kedatangannya, Legiman segera akan mengajak Daruni lari sejauh - jauhnya dari kejaran Suro Blasah. Sampai ke ujung bumipun Legiman akan lakukan asal Daruni bisa bersama dirinya dan selamat dari kebiadaban Suro Blasah. Samirah yang sangat menyintai dan menyanginya tidak lagi ada dalam pikirannya. Samirah yang telah rela menyerahkan segalanya demi kesenangan dirinya dihapus dari alam benaknya. Tidak terbayang di pikiran Legiman kesedihan yang diderita Samirah jika dirinya tahu akan ditinggalkan. Tidak terbayang Samirah yang akan menangisi nasib dirinya yang cintanya tidak terbalas. Tidak terbayang pula rasa sesal Samirah yang telah rela menyerahkan tubuh perawannya dinikmatinya. Legiman tidak memikirkan itu. Yang ada dihatinya hanya Daruni. Daruni harus menjadi miliknya. Terbayang di pikiran Legiman, betapa akan bahagianya dirinya bisa selalu berdamping dengan Daruni. Runi yang cantik. Yang rambut panjangnya jika tergerai akan membuat paras cantiknya menjadi semakin ayu. Runi yang kulitnya putih bersih tiada cela yang menjadi memerah takkala sinar matahari menimpanya. Belum lagi mulut Runi yang selalu memerah basah dan ketika berceloteh membuat gemas perasaannya. Runi telah mempesonakan Legiman. Legiman tidak bisa melupakan Daruni. Senyuman Daruni yang menampakkan kemanjaannya selalu terbayang di mata Legiman. 
Di pendopo kademangan Tumenggung Suro Blasah mengumpulkan prajurit - prajurit kademangan untuk diberi penjelasan tentang rencana penyerangan ke Tambi. " Prajurit dari Kepatihan akan menginap semalam di kademangan ini. Dan kamu Demange, layani para prajurit Kepatihan dengan sebaiknya - baiknya. Jangan kecewakan mereka. Paling lambat besuk sore prajurit Kepatihan sudah akan masuk kademangan. Sambut mereka dengan arak tuak yang terbaik, Demange ! " Mata bulat Tumenggung Suro Blasah tajam memandang Ki Demang Sawang Argo yang duduk di deretan paling depan menghadap ke Suro Blasah. " Sendika dhawuh, Raden. Para prajurit Kepatihan tidak akan kecewa." Jawab Ki Demang Sawang Argo dengan tanpa melihat ke Suro Blasah. Ki Demang Sawang Argo menunduk, menyembunyikan wajah ketidak senangannya terhadap Suro Blasah. " Setengah hari perjalanan kita harus sudah sampai di Tambi. Pilih kuda - kuda yang bisa lari cepat. Setelah kita rangket Ki Tambi dan Nyi Tambi prajurit kademangan kembali ke kademangan. Dan Aku bersama prajurit Kepatihan akan terus kembali ke Mataram." Tumenggung Suro Blasah sengaja tidak menyebut nama Daruni. Walaupun yang ada di pikirannya adalah Daruni harus menjadi sasaran utama untuk dibawanya. 
Yang akan dilakukannya di Tambi adalah segera menangkap Daruni. Dan menaikkan di atas kuda dan segera membawanya pergi. Sedang Ki dan Nyi Tambi akan menjadi urusan para prajurit Kepatihan dan para prajurit kademangan. Dirinya terus akan memacu kudanya kembali ke Mataram. Dan Daruni yang meronta - ronta di cengkeramannya akan diperdaya di atas kuda yang terus dipacu cepat. Dan Daruni yang ketakutan akan pingsan dan lunglai. Disaat itulah dirinya akan memperlambat laju lari kudanya dan kemudian menikmati kemolekan tubuh Daruni di atas kuda yang berjalan melambat menyusuri jalan di pinggiran hutan. Dan para begundalnya yang mengiring di belakangnya akan menelan - nelan ludah menyaksikan Tumenggungnya yang sedang kesenangan menikmati kecantikan perawan yang selalu dirindukan.
Mata tajam Suro Blasah memandangi para prajurit kademangan yang duduk bersila di hadapannya. " Legiman dimana ?!" Kalimat  yang diucapkan Suro Blasah dengan nada keras ini membuat jantung Ki Demang Sawang Argo berdesir keras. " Legiman sedang sakit, Raden. Dirinya mohon ijin untuk tidak ikut berkumpul." Jawab Ki Demang tergagap. Ki Demang dan Legiman sudah mangatur jika nanti keberadaan Legiman ditanyakan Suro Blasah, akan dinyatakan Legiman sedang sakit. " Baik kalau memang sedang sakit sebaiknya Legiman tidak usah ikut ke Tambi. Jangan ada prajurit yang nantinya tidak ada gunanya di Tambi." Mendengar kalimat Tumenggung Suro Blasah yang terahkir ini hati Ki Demang kembali ayem. Ki Demang menjadi sangat takut jika Suro Blasah tahu rencananya. 

masih ada kelanjutannya ................




Rabu, 16 Oktober 2013

Candra Mawa

                                                                                            edohaput 


22

Matahari belum sepenggalah. Hangatnya menyapu sekitar pondok Nyi Tambi. Di pendopo pondok Nyi Tambi telah antri beberapa orang yang ingin segera sembuh dari sakit yang dideritanya. Sejak matahari belum terbit, orang - orang dari jauh sudah datang di pondok Nyi Tambi. Mereka takut akan mendapat antrian panjang untuk mendapat pelayanan pengobatan dari Nyi Tambi. Pondok Nyi Tambi tidak pernah sepi dari orang. Dari sore hingga petang bergiliran orang datang. Bahkan tidak sedikit pula yang harus menginap di pondok karena harus mendapatkan perawatan khusus dari Nyi Tambi. Disediakan oleh Nyi Tambi bilik - bilik kecil tempat orang yang harus dirawat inap. Terutama mereka yang datang dari jauh, dari pada bolak - balik datang lebih baik menginap. Dengan menginap akan mendapat perawatan lebih dari Nyi Tambi dan para cantriknya. 
Berkat bimbingan Nyi Tambi dan berkat modal kecerdasannya, Daruni cepat bisa menggantikan apa yang dilakukan Nyi Tambi. Dengan cara menanyai orang yang menderita, Daruni segera bisa mengenali pasien ini menderita sakit apa. Dan Daruni dengan cepat pula bisa menentukan ramuan jamu apa harus diberikan kepada penderita. Hanya dalam waktu singkat Daruni sudah bisa berbuat seperti yang dilakukan Nyi Tambi. Daruni mendapat kepercayaan dari Nyi Tambi untuk menggantikannya. 
Daruni tidak pernah meleset memperkirakan sakit yang diderita orang. Daruni menjadi selalu tepat memberikan ramuan jamu untuk penderita. Dan kesembuhanpun segera dirasakan oleh penderita. Nyi Tambi menjadi sangat gembira dengan ketrampilan Daruni yang mungkin telah melebihi cara mengusai katrampilan meramu jamu ketika dirinya masih perawan. Daruni cerdas, terampil, semangat, tidak jemu belajar untuk memperoleh pengalaman dan jika sudah bekerja tidak kenal lelah dan tidak mengenal waktu. Nyi Tambi percaya Daruni akan mampu menggantikannya.
Sejak diberikan kepercayaan untuk menjaga dan merawat ruang obat, dan diberikan pula kepercayaan oleh Nyi Tambi untuk meramu obat, Daruni terus tidak kenal waktu dan tidak kenal jemu dan tidak kena lelah terus mengembangkan diri untuk semakin mengenali berbagai penderitaan orang dan ramuan obat apa yang harus diberikannya. Daruni cepat mampu memahami berbagai ramuan obat. Bahkan dengan pengalaman dan kemampuannya memperkirakan kasiat satu ramuan obat Daruni menjadi lebih bisa membuat pasien cepat merasakan kesembuhan dengan ramuan yang dicobakan oleh Daruni.   
Daruni pernah dibuat terkejut dan rasa takut ketika seorang lelaki gagah tinggi besar, tetapi berwajah pucat meminta dilayani dirinya di tempat yang berbeda dari pasien - pasien yang lain. Daruni ragu. Ada apa satu orang ini minta dilayani dan harus di tempat yang rahasia. Rasa takut dan bimbangnya kemudian ditindihnya dengan keiingin tahuan mau apa lelaki satu ini minta dilayani tanpa orang lain tahu. Nyi Tambi dikesibukanya melayani pasien tersenyum geli melihat sikap Daruni. Seandainya saja tidak di depan para pasien mungkin tertawanya Nyi Tambi sudah meledak. Nyi Tambi sangat tahu siapa lelaki yang sedang diajak menyendiri oleh Daruni. Sangat sering satu lelaki ini datang berobat. Setelah berada di tempat yang hanya ditutupi kelambu Daruni mulai bertanya. Apa keluhannya. Mengapa harus jauh dari para pasien yang lain. Lelaki yang bertubuh tinggi besar dan berwajah pucat ini mulai mengaku. Tombaknya tidak pernah bisa berdiri. Semakin dipaksa semakin tidak bisa. Diceritakan pula kepada Daruni isterinya selalu marah - marah manakala dirinya selalu gagal mendirikan tombaknya. Daruni yang belum pernah punya pengalaman bingung. Pikirannya malah kemudian melayang kepada Bardan. Dirinya yang pernah saat di gumuk merasa pasrah untuk diperbuat oleh Bardan, tetapi Bardan tidak melakukannya. Jangan - jangan Bardan juga seperti orang ini. Tombaknya tidak bisa berdiri. Pikirannya juga melayang ke Tumenggung Suro Blasah yang jika melihat dirinya selalu menggerak - gerakkan pahanya seolah ingin memperbaiki posisi tombaknya yang berontak mendesak - desak. Dan Daruni tahu setiap kali Tumenggung Suro Blasah melihatnya Daruni sangat tahu Suro Blasah selalu menelan - nelan ludah dan napasnya memburu wajahnya memerah. Daruni meminta lelaki besar dihadapannya untuk membuka celana. Sejenak lelaki berwajah pucat ini ragu. Tetapi segera menuruti perintah Daruni. Sebentar kemudian Daruni bisa melihat tombak yang besar tapi nampak sangat loyo nglembereh tidak berdaya. Daruni sejenak meninggal lelaki sendirian dan kembali membawa bilah bambu. Dengan bilah bambu Daruni mengutik - untik tombak lelaki loyo ini sambil matanya terus menatap tombak. Tombak tidak reaksi. Hanya mulut lelaki pucat ini yang meringis - ringis ketika bilah bambu di tangan Daruni mengutik - untik dan membolak - balik tombaknya. Setelah beberapa saat Daruni memeriksa, dirinya menyuruh lelaki payah ini kembali mengenakan celananya dan kembali ke kerumunan para pasien. Daruni segera melangkah menuju ruang obat. Di ruang obat Daruni berpikir keras. Ramuan apa mesti diberikan untuk membuat tombak lelaki itu waras. Pikiran Daruni melayang kemana - mana. Ke sesuatu yang pernah didengarnya. Ke sesuatu yang pernah dilihatnya. Diingatnya celoteh para perempuan kademangan yang sering membicarakan para suaminya. Dari pikirannya yang melayang - layang Daruni memperoleh pencerahan. Daruni tersenyum dan kemudian sibuk membuka kendi - kendi yang berisi serbuk ramuan obat. Tidak seperti meramu obat untuk pasien yang penyakitnya tidak aneh seperti keluhan lelaki itu, tanpa dengan menakar Daruni segera mencampur bubuk merica, bubuk jahe, bubuk akar alang - alang, bubuk biji nyamplung, bubuk biji cukimai, bubuk kulit kayu kesemek, dan terahkir Daruni mencampurkan bubuk bunga dan kulit batang kayu randa noleh. Daruni tersenyum geli. Mudah - mudah ramuan ini membuat tombak loyo itu mampu menggeliat. Setelah membungkus ramuan Daruni segera kembali menjumpai lelaki payah yang duduk menyendiri dan murung. " Ramuan ini cukup untuk tujuh hari, kang. Sedu dengan arak tuak dicampur telur bebek mentah dan madu. Minum secangkir - secangkir tiap mau berangkat tidur dan sesudah makan ubi talas. Beri tahu saya kalau ramuan ini tidak manjur. Besuk aku buatkan ramuan yang lain." Daruni menatap lelaki murung dihadapannya yang nampak ada guratan kesedihan di wajahnya. 
Seminggu kemudian lelaki berwajah pucat datang lagi dengan disertai isterinya dan disertai pula oleh - oleh yang dibawa dengan keranjang besar. Wajahnya semringah merah. Mulutnya terhiasi senyum kebanggaan. Yang dicari bukan Nyi Tambi, melainkan Daruni. Di depan Daruni lelaki yang wajah murungnya telah lenyap berkata keras tanpa malu - malu : " Hebat kamu jeng Runi. Hebat. Punyaku bisa berdiri. Besar, panjang dan kaku banget, jeng. Hebat jeng, hebat !" Sambil menunjukkan wajah kebanggaannya. Isterinya yang ada disampingnya menyubit - nyubit lengan dan meminta agar tidak keras - keras sang suami bersuara. " Ah lha wong nyata kok tidak boleh diomongkan ya jeng Runi ! Kamu ini gimana. Lha wong kamu ya terus - terusan minta terus kok. Iya enggak ,hayo ?" Mendengar ini sang isteri hanya bisa tersipu - sipu. 
Nyi Tambi yang sedang duduk - duduk minum teh bersama Ki Tambi hanya bisa tersenyum mendengar percakapan. Dirinya yang belum bisa membuatkan ramuan  lelaki ini untuk kesembuhan tombaknya, diam - diam mengagumi ketrampilan Daruni. Sambil menyerutup teh panas Nyi Tambi melirik Daruni yang berdiri tadak jauh darinya. Pikirannya melayang kepada Bardan. Alangkah beruntungnya jika kelak anaknya bisa bersanding dengan perawan molek dan terampil ini. Ki Tambi berpura - pura tersedak untuk mengingatkan agar Nyi Tambi tidak terus melihat ke arah Daruni yang lagi memerah wajahnya tersipu malu karena pujian lelaki semringah dan isterinya. Daruni yang terus tersenyum lebar menampakkan giginya yang tersusun rapi, kelihatan semakin rupawan. Perawan cantik tiada cela. 

masih ada kelanjutannya ................

Selasa, 08 Oktober 2013

Candra Mawa 

                                                                                            edohaput

21

Rasa sakit hati terasa sangat menyesak di dada. Tumenggung Suro Blasah sangat tahu kalau perbuatan Bardan lah yang selalu menyebabkan dirinya kena marah Ki Patih Danureja. Perbuatan Bardan yang terahkir memasuki benteng tangsi Belanda dan menyuri kepingan emas ketika ada pesta peringatan berahkirnya perang Diponegoro, membuat  Suro Blasah memperoleh malu yang amat sangat. Ketika bibirnya ditendang Ki Patih yang marahnya tidak terkendali membuat dirinya sangat terhina. Ketika pentung kayu rotan dipukul - pukulkan Ki Patih di jidatnya membuat dirinya seolah binatang tidak berharga. Air ludah yang diludahkan  Ki Patih dengan rasa sinis dan jatuh di wajahnya membuat dirinya tidak lagi sebagai manusia yang patut hidup di muka bumi. Rasa sakit yang menyesak bagai meledakkan dadanya. Ingin rasanya Tumenggung Suro Blasah ketemu dengan Bardan dan mengayunkan pedangnya untuk menyacah - nyacah tubuh Bardan. Akan ditumpahkan dendamnya dengan sepuas - puasnya dengan menghajar Bardan. Tetapi kemana dirinya harus menyari Bardan. Bardan bagai setan yang bisa menghilang dan muncul  tiba - tiba. Bardan harus segera ditemukan dan dibunuh. Jika tidak satu saat pasti akan membuat dirinya lagi - lagi dihinakan oleh Ki Patih Danureja. Kalau terus menerus Bardan mengganggu hidupnya jangan - jangan lehernyalah yang akan dipenggal oleh pedang Ki Patih. Bardan galau. Pikiran Kacau. Bardan tidak punya pandom harus kemana pergi untuk menemukan Bardan. 
Pantai Glagah mendung. Gemuruh ombak yang berdebur bagai memukul - mukul dadanya. Turti yang duduk di belakang punggungnya dan menempelkan payudara di punggung, tidak dirasakan mesra. Turti yang menyelusupkan tangannya ke dalam celananya, tidak membuat tombaknya bergairah. Turti yang telah menghias dirinya cantik bagai ledhek pesinden tidak membuatnya terpesona. Turti yang tidak lagi mengenakan kain dalam dan memamer - mamerkan paha mulusnya tidak membuat dirinya terangsang. Pikiran Tumenggung Suro Blasah sumpek. Dendam membara di dadanya untuk menangkap dan mengahajar habis - habisan tubuh Bardan mengalahkan segalanya. Pikiran hanya bisa melayang ke Bardan yang membuat dirinya geram. Bayangan Bardan yang meledeknya dan menertawakannya membuat Tumenggung Suro Blasah menjadi sangat terhina. Merasa sangat dikecilkan, dilecehkan dan diinjak - injak harga dirinya. 
Kelima begundalnya yang duduk bersila di pasir di hadapannya dilihatnya hanya sebagai anjing - anjing yang tidak berguna. Yang tidak membantunya. Yang hanya bisa menjilat - njilat, rakus, tamak dan tidak bermanfaat. Selama ini kelima begundalnya hanya bisa mengikutinya kemana dirinya pergi, tanpa ada yang bisa memberi jalan keluar agar dirinya tidak lagi dihinakan Ki Patih. Para begundalnya tidak ada yang bisa membuat dirinya bangga. Mereka hanya sendika dhawuh, manut segala perintah, dan kadang tidak bisa menyelesaikan tugas yang diembannya dengan baik. Setiap kali tugas diberikan banyak pulang dengan tangan kosong. Hampa tanpa menghasilkan apa - apa. Tumenggung Suro Blasah merasa tidak berarti memiliki lima begundal yang masing - masing bertubuh besar, tetapi tidak punya otak cemerlang. Suka mereka hanya kalau diberi kepingan emas. Diajak minum arak tuak. Suka mereka hanya kalau diajak ke pantai Glagah untuk menemui perawan - perawan simpanannya. Jika menghadapi kesulitan mereka hanya berdiam dan menghindar. Tumenggung Suro Blasah merasa sangat kecewa memelihara para begundalnya dengan gelimangan kepingan emas. " Apakah tidak sebaiknya kita ke Sawang Argo, Raden. Kita minta kepada Ki Demang agar mengerahkan prajuritnya menyertai kita untuk menyerang Tambi. Nyi Tambi dan Ki Tambi ditangkap. Mereka dipenjarakan. Bardan akan terpancing, Raden. Kita jebak Bardan yang pasti akan muncul menyelamatkan orang tuanya." Gimbal salah seorang begundal mengucapkan kalimatnya dengan nada takut sambil kedua telapak tangannya dikatupkan di depan hidungnya. Kalimat Gimbal ini diikuti manggut - manggutnya kepala keempat bengundal lainnya sambil menatap mata Tumenggung Suro Blasah yang mencereng menatap Gimbal yang terus bersembah takut kalimatnya tidak disetunjui tuannya dan akan mendapat dampratan kemarahan. Tumenggung Suro Blasah mengerutkan dahinya, alisnya yang tebal bertemu di atas pangkal hidungnya yang besar. Sorot matanya tidak menampakkan tanda - tanda akan terjadi kemarahan. Melihat tanda - tanda ini Sampil begundal yang bertubuh tinggi besar dan di pinggangnya selalu terselip senjata kapak besar tajam memberanikan berbicara : " Benar kata kang Gimbal, Raden. Akan mudah menangkap Ki Tambi dan Nyi Tambi. Selama ini tidak terdengar kalau Ki dan Nyi Tambi memiliki kekuatan. Mereka hanya hidup dengan para cantrik peramu jamu. Dan kalau ada warga Tambi yang akan menghalangi sayalah yang akan menghabisinya, Raden." Kalimat ini diahkiri dengan Sampil mengangkat dadanya yang tidak tertutup kain sehingga bulu - bulu dadanya tampak di mata Tumenggung Suro Blasah. Masing - masing begundal saling pandang dan saling menganggukkan kepala. Tiba - tiba kelima begundal ini melihat wajah cerah tuannya. Ada rasa bangga di masing - masing hati para begundal. Roman muka tuannya cerah tanda menyetujui saran dan usulan yang dikemukakan. " Baik sebelum matahari ada di tengah kita ke Sawang Argo !" Berkata begitu Tumenggung Suro Blasah sambil beranjak dari duduknya di atas lincak bambu. Ditariknya tangan Turti yang sedari tadi duduk lengket di punggungnya. Turti tertatih - tatih mengikuti langkah Tumenggung Suro Blasah yang menariknya dan berjalan menuju bilik di dalam rumah. Para begundal mendengar pintu bilik ditutup keras. Dan sebentar kemudian terdengar pula di telinga mereka Turti menjerit kesenangan. Di pikiran para begundal pasti tuannya sedang dengan tergesa - gesa dan kasar melucuti kain Turti sambil tangannya nakal meremas - remas tubuh Turti yang kecil semampai. Telinga para begundalpun segera mendengar mulut Turti yang tanpa malu - malu menjerit - njerit keenakan. Para begundal tahu pasti Turti sedang di gemasi tuannya. Tangan tuannya pasti sedang meremas kuat payudara Turti yang mungil tetapi begitu menggunung. Dari suara jeritan yang semakin hilang dan yang terdengar kemudian hanya ah uh, para begundal tahu pasti kalau bibir Turti pasti sedang dilahap tuannya sambil tangan tuannya meraba dan mempermainkan milik Turti yang ada di selangkangannya. Dan dari suara amben bambu yang berderak para begundal tahu kalau Turti pasti sedang polah karena ulah tangan dan bibir tuannya yang menuju ke segala penjuru tubuh telanjang Turti yang bersih mulus dan gemulai. Terdengar pula tuannya menggeram - geram. Napasnya yang keluar dari hidungnya yang besar bagai gemuruhnya gelombang laut. Dan kerengkat - kerengket amben bambu pun mulai terdengar gaduh di telinga para begundal. Di pikiran para begundal tubuh besar tuannya pasti sudah berada di atas tubuh mungil Turti. Dan dengan kuatnya tubuh besar itu pasti sedang bergerak menyodok, memepet, dan membolak - balik tubuh Turti. Sementara tangan - tangan besarnya pasti terus menggemasi buah dada mungil kenyal milik Turti. Lenguhan - lenguhan, jeritan dan desahan - desahan Turtipun semakin jelas tanpa ditahan. Yang terjadi kemudian mereka saling pandang. Saling tersenyum. Dan tanpa komando mereka segera bangkit dari duduk dan berlari menuju arah yang sama. Mereka akan mendapati perawan - perawan simpanannya yang sedang menunggu di bilik dengan kain yang sudah pada kendor.

masih ada kelanjutannya ...........

Senin, 07 Oktober 2013

Candra Mawa 

                                                                                   edohaput

20

Tumenggung Suro Blasah mendapat marah habis - habisan dari  Patih Danureja. Dua kali wajahnya mendapat tendangan kaki Patih Danureja. Wajahnya diludahi. Tumenggung Suro Blasah tidak bisa berbuat apa - apa, kecuali semakin takut akan mendapat hujaman keris Nagapala yang terselip di punggung patih Danureja. Tidak sedikitpun Tumenggung Suro Blasah berani mengangkat wajah. Ketika suara keras  bentakan - bentakan dan hardikan dari Patih Danureja terdengar Suro Blasah hanya bisa menunduk semakin dalam dan kedua telapak tangannya dirapatkan dan diposisikan di depan hidung. Hatinya menjadi semakin ciut. " Tidak tahu diuntung kamu, Blasah ... ha ... !" Kalimat ini diucapkan Patih Danureja dengan mata yang sangat melotot, tetapi tidak dilihat Tumenggung Suro Blasah. Seandainya saja Suro Blasah melihat lototan mata merah Patih Danureja, bukan tidak mungkin Suro Blasah akan pingsan saking takutnya. " Aku sudah wanti - wanti ta, Suro. Amankan benteng ketika tuan - tuan Walanda itu sedang berpesta. Tidak boleh ada yang mengganggu. Tidak boleh ada maling. Nyatanya ?! Kamar harta di dalam benteng bisa dibuka maling. Kamu dimana Suro, haaa ?!" Saking marahnya sampai - sampai kalimat ini terlontar dari mulut Ki Patih disertai semprotan ludah. Lagi - lagi Suro Blasah hanya bisa menghujamkan pandangan ke lantai tempat dirinya bersila ketakutan. Suro Blasah sangat menyesali perbuatannya malam itu. Kenapa dirinya begitu bernafsu melihat jongos perempuan yang berjalan melewatinya. Mengapa malam itu dirinya tiba - tiba dirasuki birahi. Sehingga cekatan tangannya segera menarik tubuh perempuan jongos dan dilepasi kainnya dan digarapnya habis - habisan. Memang kenikmatan luar biasa dirasakannya malam itu. Milik perawan jongos yang sangat jarang dipakai, terasa begitu sempit dan mencengkeram. Payudara jongos perawan yang kenyal keras membuat mulutnya membabi buta menciumi. Belum lagi desah, lenguh dan gelinjangan perawan jongos yang terucap dari bibirnya yang merah basah bagai teroles madu. Itu semua membuat Suro Blasah melupakan tugasnya mengamankan benteng. Suro Blasah sangat menyesali. Sesal kemudian memang tiada berguna. Apa lacur semua sudah terjadi. Kini dirinya menerima resiko yang harus dipikulnya. Mulutnya ditendang Ki patih sampai berdarah. Pentungan di tangan Ki patih dipukul - pukulkan di jidatnya. Ludah Ki Patih berkali - kali hinggap di kepala dan wajahnya. Tumenggung Suro Blasah merasa sangat hina. Tumenggung Suro Blasah merasa pantas dirinya mendapat hinaan ini. Suro Blasah merasa sangat bersalah. " Temukan malingnya Suro ... !"  Ki Patih memukul - mukulkan tongkat rotan di kepala Suro Blasah. " Jika tidak lehermu taruhannya. Ngerti, Blasah ?!" Ki Patih Danureja menyolok - nyolokkan pentungan di mata Suro Blasah yang sedikitpun tidak berani melirik ke arah Patih Danureja. Suro Blasah hanya bisa bersembah - sembah.
Matahari sudah mulai panas ketika dengan laku dhodhok Tumenggung Suro Blasah menuruni anak tangga pendopo Kepatihan. Berpasang - pasang mata abdi dalem kepatihan menyaksikan dengan rasa iba langkah Suro Blasah yang tertunduk meninggalkan dalem kepatihan.  Tetapi banyak juga abdi dalem kepatihan yang malah tertawa - tawa di dalam hati dan merasa senang melihat Tumenggung Suro Blasah mendapat marah. Setelah keluar dari regol kepatihan, Suro Blasah segera naik di punggung kudanya. Dengan perasaan galau dipacunya kudanya ke arah selatan. Kelima begundalnya yang sejak pagi menunggu dengan setia di depan regol kepatihan tidak mengerti yang dialami tuannya. Yang dilihatnya tuannya segera di punggung kudanya, memacunya, tanpa mengacuhkan para begundalnya. Yang dilakukan para begundalnya hanya bisa saling pandang penuh tanda tanya dan masing - masing segera di punggung kuda - kudanya dan berpacu mengejar tuannya ke arah selatan.
Suasana pantai Glagah sunyi. Tumenggung Suro Blasah tiduran tengkurap dan punggungnya yang lebar sedang mendapat pijatan jari - jari lentik Turti perawan simpanannya. Minuman arak tuak yang disajikan Turti sejak kedatangannya tadi belum disentuhnya. Sunset matahari yang sebentar lagi akan masuk ke laut membuat suasana semakin redup. Tangan Turti terus memijiat dari pungung ke kaki, dan dari kaki ke punggung Suro Blasah. Para Begundal yang hafal dengan sikap Tumenggungnya hanya bisa menyingkir bersama dengan para perempuan - perempuannya menjauh dari rumah di mana tuannya sedang bersama Turti. Para begundalnya mengerti kalau juragannya diam membisu dan mukanya cemberut pasti sedang dirundung persoalan. Para begundal tidak berani mendekat. 
Turti menyulut lampu minyak. Karena Gelap telah mengisi ruangan. Turti juga paham kalau kekasihnya ini sedang dirundung duka. Maka dirinya hati - hati meladeninya. Turti yang sudah mengendorkan kain bawahnya, dan membuka kancin - kancing kain yang menutupi dadanya tidak segera merajuk. Dirinya hanya bisa memijit dan memijit tubuh kekasihnya tanpa bicara. Turti sangat tahu, kalau juragan yang menyimpannya ini sedang dirundung duka akan sangat mudah marah dan  salah - salah malah akan memebentak - bentaknya dan membuyarkan suasana yang diharapkan. Turti selalu rindu, selalu mengharapkan cumbuan Suro Blasah yang kasar. Kekasaran Suro Blasah dirasakan Turti sebagai suatu kenikmatan yang tiada tara. Cara Suro Blasah meremas kuat buah dadanya kadang dirasakan sakit, tetapi diujung rasa sakit ada rasa nikmat yang tidak ditemukan oleh remasan tangan lelaki - lelaki yang pernah memainkan dadanya. Belum lagi cara Suro Blasah yang usianya terpaut lebih tua lima belas tahun dengan dirinya ini ketika meggigiti puting susunya. sebentar puting susunya dirasakan perih oleh gigi - gigi Suro Blasah, tetapi sebentar kemudian berujung pada rasa geli yang membuatnya menjerit - njerit minta dihentikan. Juga jari - jari besar Suro Blasah yang amat kasar memperlakukan miliknya. Meremas keras, mengelus, mengobok - obok, dan tidak jarang mencubitinya dirasakan sangat luar biasa. Membuat dirinya menendang - nendang dan berjumpalitan di pelukan dan cengkeraman lelaki bertubuh besar dan berbulu ini. Apalagi kalau lelaki berbulu dada lebat ini telah mabuk berat. Dirinya akan dilumat, ditekuk - tekuk, lemas tidak berdaya tetapi akan terus dilumer, dibolak - balik, digenjot - genjot, dan diapakan sampai - sampai dirinya tidak tahu sedang diapakan. Hanya rasa melayang dan hilang sadar yang ada. Dan dari semua itu akan berahkir dengan peluh dan pejuh yang membasahi, dan melumuri tubuhnya yang tidak lagi bisa bangkit dari bale - bale bambu tempat ajang pertarungan. Turti selalu merindukan itu terjadi. Sejak disimpan Suro Blasah Turti tidak lagi suka dengan lelaki lain. Yang ada dipikirannya hanya Suro Blasa yang kumis tebalnya sangat menggelikan leher jenjangnya. Turti kecewa. Suro Blasah yang dirindukannya dan sedang dipijat - pijat punggungnya malah segera terdengar dengkur kerasnya. 

masih ada kelanjutannya .................


Rabu, 02 Oktober 2013

Candra Mawa 

                                                                                          edohaput 

19

Begitu hari gelap Bardan segera keluar dari rumah Giyem. Berjalan cepat. Clingukan. Melipir di antara rumah - rumah. Mengendap - endap agar tidak diketahui orang. Sampai di sisi belakang benteng yang di dalamnya ada bangunan besar tangsi tempat para Belanda tinggal, Bardan segera dengan mudahnya memanjat pohon beringin yang tumbuh tinggi melebihi tingginya benteng. Bardan bertengger dan beristirahat di dahan besar. Matanya dengan leluasa bisa mengamati apa yang sedang terjadi di dalam benteng. 
Di dalam benteng meriah. Lampu - lampu besar dipasang dan menyala menerangi halaman depan rumah besar. Hiasan balon dan kertas warna - warni membuat tambah semaraknya suasana. Bardan tahu dari Giyem malam ini akan diselenggarakan pesta kegembiraan untuk merayakan telah berahkirnya perang. Dan telah dapat ditangkapnya Pangeran Diponegoro. Belanda melaksanakan perayaan ini dengan penuh suka cita. Betapa tidak, dengan barahkirnya perang, beban biaya yang harus ditanggung menjadi sangat berkurang. Dan yang paling membuat para petinggi Belanda suka adalah hilangnya ancaman - ancaman dari Pangeran Diponegoro yang membuat kecut hati. Juga telah sirnanya penghalang  Belanda untuk membuat Ngayogyakarta Hadiningrat semakin tunduk dengan segala aturan yang dibuat. Dengan demikian keinginan - keinginan Belanda dengan mudah diterapkan di Ngayogyakarta. 
Setelah pidato -  pidato para petinggi Belanda yang bahasa tidak dimengerti oleh Bardan dan selalu dihisai dengan tepuk tangan yang meriah berahkir, yang ditunggu Bardan muncul. Musik dansa dari gramaphone mulai mengumandang. Para Belanda dan Noni - Noninya mulai turun untuk berdansa. Jongos - jongos pribumi laki - laki mulai dengan sopan dan selalu dengan membungkuk - bungkuk membagikan minuman di gelas berkaki panjang dan makanan - makanan kecil yang lidah Bardan belum pernah mencicipinya. Bardan tahu seiring dengan larutnya malam Belanda - Belanda itu pasti akan pada mabuk. Dan para prajurit Kepatihan yang diperintahkan untuk mengamankan suasana di luar bentengpun akan ikut - ikutan mabuk, karena mereka juga akan mendapat jatah minuman penghangat tubuh itu. 
Beberapa lampu di dalam benteng dipadamkan untuk membuat suana syahdu para pendansa. Suasana redup mengiringi mereka yang saling peluk saat berdansa. Mata Bardan bahkan menangkap para Belanda dan para Noni yang mulai saling berciuman di tengah - tengah dansa mereka. Para jongos mulai membuka botol - botol berisi minuman penghangat tubuh. Musik dari gramaphone terus mengalun merdu merayu. Langkah - langkah gontaipun mulai dilihat oleh Bardan. Saat inilah yang ditunggu Bardan. 
Tubuh Bardan meluncur turun dari dahan beringin dan kakinya menyentuh tanah tanpa menimbulkan suara. Berlari mengendap - endap tubuhnya segera ditempelkan di tembok beteng yang kokoh kuat tebal. Matanya yang tajam bagai mata kucing mengawasi sekeliling. Sepi dan gelap. Dengan mengambil sikap agak berjongkok dan dengan sekali hentakkan tubuh Bardan melambung dan hinggap di atas tembok benteng. Bardan segera menebarkan pandangan matanya di suasana keremangan di dalam benteng bagian belakang ini. Bagian belakang dalam benteng ini dihubungkan oleh lorong menuju dapur tangsi tempat para jongos perempuan bekerja. Bardan sangat hafal dengan tempat ini, karena sudah beberapa kali dilewatinya ketika dirinya harus melakukan pencurian demi orang - orang yang sengsara karena beratnya pajak. Tujuan Bardan kali inipun sama. Bardan harus bisa masuk ke salah satu kamar tempat penyimpanan harta. Bardan akan meraup sekantong kepingan uang emas. Dan pada saat yang tepat akan dibagikannya kepada rakyat menderita. 
Dari atas tembok benteng mata Bardan terus mengawasi ke bawah di dalam benteng yang temaram remang - remang dan hanya ada satu lampu kecil di sudut bangunan. Tiba jantung Bardan berdesir keras ketika matanya menangkap pemandangan di sudut tembok bangunan yang suasananya lebih remang. Seorang lelaki bertubuh tinggi besar sedang berusaha melepasi kain yang dikenakan seorang perempuan. Bardan berjongkok dan berhati - hati berjalan di atas tembok benteng menyari posisi agar bisa lebih dekat melihat siapa orang ini. Untuk kedua kalinya Bardan terkesiap dan kembali jantungnya berdesir, ketika tahu yang dilihatnya ini adalah Tumenggung Suro Blasah. Dan rupanya yang sedang dilepasi kainnya oleh Suro Blasah adalah jongos  perempuan. Sebentar saja seluru kain yang menempel di tubuh bedinde terlepas dan berserakan di lantai pojok tembok gedong yang remang. Perempuan bedinde yang telah telanjang segera dipepetkan oleh Suro Blasah di dinding. Dengan posisi berdiri perempuan bedinde disergap buas oleh Suro Blasah. Nampak di mata Bardan dengan buasnya Suro Blasah meremasi dengan jari - jarinya yang besar dan menciuminya dengan mulutnya yang berkumis lebat gunung kembar bedinde perempuan ini. Rintihan dan desahan terdengar jelas di telinga Bardan. Bardan tidak ingin berlama - lama menyaksikan adegan ini. Dirinya segera harus turun dan mengendap menuju kamar penyimpanan harta yang pernah dimasukinya. Posisi Suro Blasah yang berdiri memunggunginya menguntungkan. Kerana  ketika dirinya meluncur turun dari atas tembok beteng, Suro Blasah tidak akan melihatnya. Bardan tahu Tumenggung Suro Blasah pasti ditugaskan oleh Kepatihan sebagai tetunggul prajurit untuk menjaga benteng. Sebelum Bardan meluncur turun dari atas tembok benteng matanya masih sempat menangkap Suro Blasah mengangkat tubuh bendinde telanjang itu dan mengangkangkan kaki bedinde dan tepat kangkangan paha bedinde itu dihadapkan pada bagian tubuh bawahnya. Dan sempat pula telinga Bardan mendengar bedinde itu melenguh - lenguh agak keras ketika Suro Blasah memepetkan pantat bendinde yang telah digendongnya di dinding gedung. 
Bardan meluncur turun. Tanpa menimbulkan suara. Mengendap - endap dan cepat segera bisa menemukan kamar penyimpanan harta. 

masih ada kelanjutannya ..............